BAB
II
ISLAM SEBAGAI OBJEK KAJIAN
ISLAM SEBAGAI OBJEK KAJIAN
A. Pengertian Metodologi dan Studi Islam.
Metodologi studi Islam terdiri dari dua kata
yaitu Metodologi dan studi Islam. Pada bahasa Arab
Metodologi studi Islam dipahami sebagai dirosah Islamiyah, pada bahasa Inggris
dipahami sebagai Islamic Studies, pada istilah Jerman dipahami sebagai Islam
Wissenschaft.
Metodologi asal kata dari bahasa Latin methodologia, methodus
logia dan logy. Istilah ini
pertama kali digunakan pada tahun 1800. Makna metodologi adalah sistem yang luas dari prinsip atau aturan
metode atau prosedur yang khusus diturunkan untuk menafsirkan atau
memecahkan berbagai masalah dalam lingkup tertentu pada disiplin ilmu.
Metodologi bukanlah rumus tetapi satu set praktek. Sedangkan studi Islam
dipahami sebagai kajian yang bersifat ilmiah dan objektif memahami tentang
Islam.
Studi Islam merupakan upaya yang bersifat aspektual, polimetodis,
pluralistik dan tanpa batas. Studi Islam bersifat aspektual bahwa Islam harus
diperlakukan sebagai salah satu aspek yang eksistensi. Studi Islam bersifat
polimetodis bahwa berbagai metode atau disiplin yang berbeda digunakan untuk
memahami Islam, oleh karena itu perlu memahami Islam dengan metode sejarah,
penyelidikan sosiologis, fenomenologis, dan sebagainya. Studi Islam bersifat
pluralistik karena ada banyak agama-agama dan tradisi lain disamping Islam.

Menurut Mukti Ali bahwa :
Islam terdiri dari
dua elemen yaitu aqidah dan syari’ah lalu mendekatinya dengan metode filosofis
doktriner, berbeda dengan metodologi yang dipergunakan ulama sebelumnya yang
menyatakan bahwa Islam terdiri dari aqidah dan muammalah, sedangkan muammalah
terbagi menjadi dua yaitu mammalah yang
berhubungan dengan tuhan dan muammalah yang berhubungan dengan manusia
mendekatinya dengan metode doktriner saja[1].
Selanjutnya study Islam di
Barat secara sederhana dikatakan sebagai usaha untuk mempelajari hal-hal yang
berhubungan dengan agama Islam, dengan perkataan lain sebagai usaha sadar dan
sistematis untuk mengetahui dan memahami serta membahas secara mendalam tentang
seluk beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam baik melalui
ajaran, sejarah, maupun praktik yang pelaksanaannya secara nyata pada kehidupan
sehari-hari.
Usaha mempelajari agama Islam
bukan hanya dilaksanakan oleh kalangan umat Islam saja, melainkan juga
dilaksanakan oleh orang-orang diluar kalangan umat Islam. Study keIslaman
dikalangan umat Islam tujuan dan motifasinya berbeda dengan yang dilakukan oleh
orang-orang diluar kalangan Islam, dikalangan umat Islam, study keIslaman
bertujuan untuk mendalami dan memahami serta membahas ajaran-ajaran Islam agar
dapat melaksanakan dan mengamalkannya dengan benar. Sedangkan diluar kalangan
umat Islam, study keIslaman bertujuan untuk mempelajari seluk beluk agama dan
praktek keagamaan yang berlaku dikalangan umat Islam, yang semata-mata sebagai
ilmu pengetahuan.
Selanjutnya secara harfiyah
studi Islam adalah kajian tentang hal-hal yang berkaitan dengan keIslaman.
Spesifikasi pengertian terminologis tentang studi Islam dalam kajian ini yaitu
kajian secara sistematis dan terpadu untuk mengetahui memahami dan menganalisis
secara mendalam hal-hal yang berkaitan dengan agama Islam baik yang menyangkut
sumber-sumber ajaran Islam, pokok ajaran Islam, sejarah Islam, maupun realitas
pelaksanaannya dalam kehidupan.
Secara teoritis Islam adalah
agama yang ajaran-ajarannya di wahyukan tuhan kepada manusia melalui Muhammad
sebagai rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran yang bukan hanya mengenai
satu segi, tetapi mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia.
Selanjutnya memahami dan
mengkaji Islam dalam konteks pemaknaan yang sebenarnya bahwa Islam merupakan
agama yang mengarahkan pemeluknya pada dimensi teologis, humanis, dan
keselamatan baik di dunia maupun di akhirat.
Selain daripada itu sumber
ajaran Islam berfungsi pula sebagai pokok ajaran Islam. Islam sebagai sumber
ajaran mengindikasikan bahwa ajaran Islam berasal dari sesuatu yang dapat
digali dan di pergunakan untuk kepentingan operasionalisasi ajaran Islam dan
pengembangannya sesuai dengan kebutuhan dan tantangan yang di hadapi umat
Islam.
B. Studi Islam Dalam Peta Kajian
Ilmiah
Pembelajaran ilmu agama Islam berusaha mendudukkan Islam sebagai objek
studi yang perlu dikaji dan dianalisis secara
analisis kritis-rasional, objektif, historis-empiris dan sosiologis.
Mengkaji Islam melalui nalar dan historis empiris terhadap nilai-nilai agama
Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadist harus disertai pendekatan
keagamaan agar terbangun sikap dan
perilaku yang memiliki komitmen, konsentrasi dan dedikasi terhadap
Islam sebagai agama yang diyakini kebenarannya atas dasar wawasan keilmuan
keIslaman yang dimilikinya.[2]
Studi Islam pada peta kajian ilmiah adalah upaya
pengkajian Islam dengan menerapkan metode ilmiah, khususnya dalam
konteks sosial sains. Objek ilmiah studi Islam diistilahkan dengan “Islam pada
tiga tingkatan yaitu Islam sebagai wahyu, Islam sebagai pemahaman atau
pemikiran dan Islam sebagai pengamalan dalam masyarakat”
Islam sebagai wahyu adalah hal sudah tetap, yakni Islam
seperti halnya yang tersebut dalam al-Quran, memahami Islam sebagai wahyu
melalui studi tafsir al-Qur’an al-Karim .
Konsep kajian Islam sebagai pemikiran atau pemahaman
adalah kajian yang berangkat dari sumber-sumber yang diakui sebagai
sumber-sumber Islam, seperti al-Quran al-Karim, Hadist, Ijma’ dan lain
sebagainya, mengkaji Islam pada tataran ini memberikan ruang untuk mengkaji
Islam sebagaimana dipahami oleh masyarakat, seperti “konsep wihdatul wujud dalam
Tarikat Naqsyabandiah, atau “syari’ah menurut MUI” dan sebagainya. Kajian Islam
sebagai pemahaman akan menyediakan ruang studi yang sangat luas, seluas agama
Islam menyebar di dunia.
Sedangkan Islam pada tataran terakhir, yakni Islam
sebagai pengamalan, juga memberikan ruang kajian ke-Islaman yang sungguh luas.
Salah satu perbedaan antara Islam sebagai pemahaman dengan Islam pada
pengamalan adalah aktualisasiya pada kehidupan. Karena bisa saja suatu
pemahaman tentang Islam tidak teraplikasikan dalam pengamalan, atau malah
bertentangan dengan fakta. Objek kajian studi Islam ini juga memenuhi
persyaratan yang diterapkan kepada ilmu-ilmu pengetahuan lainnya, dapat di
observasi, dapat diteliti kembali kebenarannya, dapat diuji intersubjektif dan
interdisipliner.
Studi Islam mempunyai kerangka kerja, kerangka teoritis,
pembahasan masalah, penyelesaian masalah, inquiry, hipotesis dan kesimpulan.
Perangkat langkah-langkah metodologis yang merupakan syarat keilmiahan sebuah
kajian telah dipenuhi oleh studi Islam. Studi Islam telah memenuhi
syarat-syarat ilmiah artinya studi Islam telah menempati jajaran dan peta
kajian-kajian ilmiah lainnya. Diharapkan para pengkaji ke-Islaman bisa
mempertahankan keilmiahan kajiannya, hingga Islam bisa dipahami dengan lebih
objektif, universal dan humanis. Dari hasil pengamatan dan kajian peristiwa kehidupan sebagai laboratorium studi Islam pada gilirannya akan terjadi proses internalisasi
nilai-nilai agama keimanan dan akidah
untuk selanjutnya dapat menumbuhkan motivasi
dalam diri seseorang menjalankan
dan mentaati nilai-nilai dasar agama yang telah terinternalisasikan dalam dirinya. [3]
Meski demikian, beberapa kendala menurut beberapa
golongan yang mengakibatkan studi-studi ke-Islaman pada beberapa kajian tidak
bisa dipandang sebagai ilmiah, dan tentu pendapat mereka itu juga disanggah
oleh beberapa golongan lainnya. Seperti studi sastra Islam yang memang juga
merupakan problem yang dihadapi oleh studi sastra pada umumnya, misalnya
kajian-kajian tentang sastra dipandang tidak bisa mempertahankan keilmiahannya
karena tidak bisa melengkapi syarat-syarat keilmiahan intersubjektif .
Selain itu, bagi para pengkaji
Islam yang shaleh-shaleh dalam pengertian tradisional dalam beberapa objek
terdapat keterasingan dalam mengkaji Islam bila ingin menjadikan kajian
tersebut memenuhi syarat ilmiah yang diajukan oleh para sarjanawan ilmu-ilmu
lain, seperti sejarah Islam bagi pengkaji muslim, sejarah Islam tidak bisa
dilepaskan dari wahyu, bahwa kepintaran dan kebijakan Muhammad tidak
semata-semata hasil dari usahanya dalam bermasyarakat akan tetapi juga merupakan
bimbingan tuhan. Disinilah persoalan kemudian muncul karena syarat “keilmiahan”
sebuah kajian tidak bisa menerima sesuatu tanpa ada sumber yang bisa
dibuktikan, khususnya dalam pemahaman sejarawan Barat.

Akan tetapi tentu saja hal ini dapat dibantah karena
kerangka dan langkah-langkah metodologi kajian tidak harus sama dengan kajian
lainnya. Islam mengakui wahyu, ilham dan intuisi sebagai sumber pengetahuan
sementara aliran rasionalis tidak mengakuinya. Aliran rasionalis harus lebih
rendah hati dan sadar bahwa mengkaji Islam dalam segala aspeknya tidak akan
bisa dilepaskan secara total dari wahyu, agar sebuah kajian keIslaman dapat
menghasilkan kesimpulan yang lebih mendekati kebenaran.
Karena studi Islam berobjek kepada tiga tataran objek
kajian yaitu Islam sebagai wahyu, Islam sebagai pemahaman atau pemikiran dan
Islam sebagai pengamalan dalam masyarakat, maka dapat diartikan bahwa
kebanyakan studi Islam masuk dalam bagian ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora.
C. Tujuan Mempelajari Metodologi Studi Islam
Studi Islam adalah salah satu studi yang mendapat
perhatian dikalangan ilmuwan. Jika ditelusuri secara mendalam, nampak bahwa
studi Islam mulai banyak dikaji oleh para peminat studi agama dan studi-studi
lainnya. Dengan demikian, studi Islam layak untuk dijadikan sebagai salah satu
cabang ilmu favorit. Artinya, studi Islam telah mendapat tempat dalam percaturan
dunia ilmu pengetahuan.
Islam sebagai agama tidak hanya mencakup persoalan
yang trasedental akan tetapi mencakup pula berbagai persoalan seperti
ekonomi, sosial, budaya, dan dimensi-dimensi lain dalam kehidupan manusia. Jika
tinjau dari perkembangan Islam masa awal ajaran Islam telah mengalami
perkembangan, terkait erat dengan persoalan-persoalan historis kultural.
Perkembangan tersebut dapat diamati dari praktek-praktek keagamaan diberbagai
wilayah Islam, dimana antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lain
berbeda-beda dalam praktek sosial keagamaan, sehingga benang merah yang
memisahkan antara wilayah agama dan wilayah sosial dan budaya yang telah
menyatu dengan agama itu sendiri menjadi tidak jelas.
Studi Islam
yang dilakukan oleh kebanyakan sarjana-sarjana Barat nonmuslim
disebut Islamic Studies. Islam bukan lagi sebagai otoritas mutlak bagi umat pemeluknya dalam pengkajiannya, namun terbuka bagi kalangan mana saja untuk melakukan kajian Islam, baik secara
selintas maupun mendalam. [4]
Islam seperti agama-agama lainnya pada level
historis empiris sarat dengan berbagai kepentingan yang menempel dalam ajaran
dan batang tubuh ilmu-ilmu keagamaan itu sendiri. Campur aduk terkait “agama”
dengan berbagai “kepentingan” sosial kemasyarakatan menambah rumitnya
mengatasi persoalan agama.

Perjalanan panjang sejarah Islam yang terhitung
mulai dari abad 7 H sampai dengan abad ke 15 H dewasa ini, menjadikan Islam
sebagai agama yang merambah keberbagai wilayah didunia, karena sesuai dengan
misinya sebagai agama rahmatan lil alamin. Islam pun pernah menjadi kekuatan
dan bagian penting dalam sejarah peradaban dunia.
Salah satu persoalan mendesak untuk segera
dipecahkan adalah masalah metodologi. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama,
kelemahan dikalangan umat Islam dalam mengkaji Islam secara komperehensif
adalah tidak menguasai metodologi. Kelemahan ini semakin terasa manakala umat
Islam, khususnya di Indonesia, tidak menjadi produsen pemikiran akan tetapi
konsumen pemikiran. Jadi kelemahan umat Islam bukan terletak pada kurangnya
penguasaan materi namun pada cara-cara penyajian materi yang dikuasai.
Kedua, ada anggapan bahwa studi Islam dikalangan
ilmuwan telah merambah ke berbagai wilayah, memasuki ke studi kawasan filologi,
dialog, agama, antropologi, arkeologi, dan sebagainya. Disamping itu
juga, perbedaan bentuk ekspresi dan karakteristik Islam antara satu wilayah
dengan yang lainnya membuka wacana mengenai hubungan antara hal-hal yang
bersifat normatif dan historis dari agama. Atas dasar itu, pemahaman terhadap
persoalan hubungan antara normativitas dan historisitas sangat penting dalam
rangka menguraikan esensi atau substansi dari ajaran yang nota benenya sudah
terlembagakan, apalagi dalam konteks saat ini. Selain itu, untuk menghindari
terjadinya pemahaman yang bersifat campur aduk tidak dapat menunjukkan secara
distingtif mana wilayah agama dan mana wilayah tradisi atau budaya. Bila pencampuradukan
itu terjadi, selanjutnya tidak akan bisa dihindari munculnya pemahaman yang
distortif terhadap konsep kebenaran, antara yang absolut dan relatif.
D. Manfaat Mempelajari Metodologi Studi Islam
Dengan mempelajari metodologi studi Islam memberikan
ruang dalam pemikiran yang lebih kritis terhadap persoalan agama, sehingga
tidak menganggap bahwa ajaran Islam klasik dianggap sebagai taken for
granted, hal ini didasari atas adanya pujian paradoksal terhadap
dunia Islam. Dikatakan, salah satu penyebab kegagalan Islam dewasa ini justru
disebabkan oleh keberhasilannya yang gilang gemilang pada masa lalu, baik
karena keyakinan akan ajarannya yang sudah mutlak sempurna serta warisan budaya
masa lalu yang amat kaya dan menakjubkan, seakan tidak ada lagi ruang bagi umat
Islam untuk melakukan inovasi, yang ada adalah melakukan konservasi,
revitalisasi, dan kembali kepada kaidah-kaidah lama yang dipersepsikan sebagai
zaman keemasan. Kuatnya memori of the past yang kemudian menjadi semacam
ideologi yang disakralkan, maka dunia Islam secara psikologis merasa memiliki
dunia tersendiri. Sikap ketertutupan ini pada urutannya membatasi kita untuk
bisa melihat dan menerima realita dunia baru. Bahwa dunia pada abad lalu
bukanlah dunia yang kita huni hari ini. Mengimbangi alur pemikiran
keagamaan seringkali menonjolkan warna pemikiran keagamaan yang bersifat
teologis-partikularistik. Hampir semua pengamatan sosial keagamaan sepakat
bahwa pemikiran teologi, seringkali membawa kearah ketersekatan’ umat.
Ketersekatan dan keterkotak-kotakan yang tidak dapat terhindarkan.[5]
Menurut Amin Abdullah,” ada dua ciri menonjol corak
pemikiran teologis. Pertama, pemikiran teologis menekankan perlunya
personal commitment terhadap ajaran agama yang dipeluknya. Agama adalah
persoalan hidup dan mati. Pemeluk agama tertentu akan mempertahankan
ajaran-ajaran agamanya dengan gigih hingga rela berkorban. Di sini agama erat
kaitannya dengan emosi. Kedua, ‘bahasa” yang digunakan pemeluk agama
adalah bahasa seorang pelaku” atau pemain” (actor) bukan bahasa pengamat atau
peneliti dari luar (spectator). Karenanya kesetiaan pada agama
berimplikasi menyeluruh terhadap kehidupannya untuk dapat mendialogkan ilmu
humaniora klasik seperti Fikih, Hadits, Kalam, Ulumul Qur’an dengan ilmu-ilmu
humaniora kotemporer sehingga Islam dapat dijadikan sebagai ajaran yang mampu
menjadi obat mujarab dalam mengatasi masalah kekinian.
- Objek Pembahasan Metodologi Studi Islam
Islam sebagai agama tidak datang ke
dalam “ruangan” dan kondisi yang kosong. Islam hadir kepada suatu
masyarakat yang sudah sarat dengan keyakinan, tradisi dan praktik-praktik
kehidupan. Masyarakat saat itu bukan tanpa ukuran moralitas tertentu, namun
sebaliknya inheren di dalam diri mereka tentang standar nilai dan moralitas.
Dalam perjalanan panjang Islam mengalami asimilasi,
perkembangan-perkembangan akibat adanya berbagai macam pemahaman yang
dikembangkan oleh para tokoh-tokoh agama, ulama, pemikir-pemikir Islam. Menurut
pendapat tokoh agama pada istilah wahyu ketika dilangit bersifat maskulin
(tunggal), namun ketika membumi bersifat feminis. Hal ini berarti bahwa
penafsiran terhadap wahyu al-Qur’an mengalami perkembangan tidak hanya
tekstual tetapi memahami wahyu al-Qur’an secara kontekstual. Oleh sebab itu,
obyek kajian dalam Islam tidak hanya membahas tentang persoalan trasedental
namun membahas hal lain yang menyangkut persoalan-persoalan ketika agama
membumi. Berikut obyek kajian dalam studi Islam :
a)
Komunitas setiap tradisi memiliki suatu komunitas keagamaan (gereja,
masjid, ummah) yang memiliki beragam cabang dan yang membawa umat beriman ke
dalam suatu konteks global.
b)
Ritual yang dapat dipahami dalam tiga aspek penyembahan yang terus
menerus, sakramen, dan upacara-upacara. Sakramen berkaitan dengan perjalanan
kehidupan yang luar biasa, kelahiran, inisiasi (upacara tapabrata), perkawinan
dan kematian. Upacara-upacara sering merayakan tanggal kelahiran atau
peristiwa-peristiwa besar lainnya dari kehidupan tokoh-tokoh-tokoh besar
seperti Yesus, Musa, Muhammad, Krishna dan Budha. Aktivitas penyembahan, sangat
beragam dari segi frekuensi, watak, dan signifikansinya namun seluruh agama
memilikinya.
c)
Etika, seluruh tradisi memiliki keinginan mengkonseptualisasikan dan
membimbing kearah kehidupan yang baik, dan semua menyepakati persoalan
dasar seperti keharusan menghindari kebohongan, mencuri, pembunuhan, membawa
aib keluarga, mengingkari cinta. Tradisi monoreistik menyerukan agar mencintai
manusia dan Tuhan, sedang tradisi-tradisi timur lebih cendrung menyerukan
concernetis kepada alam.
d)
Keterliban sosial dan politis, komunitas-komunitas keagamaan merasa
perlu terlibat dalam masyarakat yang lebih luas untuk mempengaruhi,
mereformasi, atau beradaptasi dengannya kecuali jika agama dan masyarakat
saling terpisah seperti dalam agama-agama primal.
e)
Kajian teks dan kitab suci, termasuk mite atau sejarah suci atau tradisi
oral yang dengannya masyarakat hidup, dengan mengesampingkan agama-agama
primal, kebanyakan tradisi memiliki kitab-kitab sebagai suatu canon (peraturan-peraturan)
[6].
f)
Konsep atau doktrin
g)
Estetika, dalam tingkat akar rumput di sepanjang
sejarah, estetika merupakan hal yang signifikan. Ikonografi di Tajmahal dan
permadani di Persia
h)
Spiritualitas yang menekankan sisi dalam batin
dari agama [7]. Spritualitas muslim
dalam makna luas dengan jelas mengekpresikan dirinya dalam berbagai cara dan
bentuk yang sangat berbeda, dari kesalehan yang lebih tradisional kepada
bentuk-bentuk pengalaman mistik pribadi, dalam berbagai ekspresinya yang
berbeda, dari pengalaman Hadits kepada puisi yang mengisyaratkan pada yang
absolut. Meskipun selalu ada banyak referensi bagi ‘’isyarat-isyarat” tuhan,
isyarat-isyarat tersebut memainkan peran yang sangat berbeda dalam berbagai
cara yang berbeda pula.
F. Islam Sebagai Objek Kajian
Dari fenomena sosial yang terjadi di dalam
masyarakat, Islam memang menarik untuk dijadikan sebagai objek kajian dan dalam
mengkaji Islam, tentu kita harus berpedoman pada dua sumber otentiknya yakni
al-Quran dan al-Hadits. Orang yang memeluk agama Islam, yang disebut muslim adalah
orang yang bergerak menuju ketingkat eksistensi yang lebih tinggi. Demikian
yang tergambar dalam konotasi yang melekat dalam kata Islam apabila kita
melakukan suatu kajian tentang arti Islam itu sendiri. Untuk memecahkan masalah
yang timbul dalam masyarakat, maka seorang muslim mengadakan suatu penafsiran
terhadap al-Quran dan al-Hadits sehingga
timbullah pemikiran Islam, baik yang bersifat tekstual maupun kontekstual.
Islam sebagai agama, pemikiran atau penafsiran al-Quran dan al-Hadits juga
sebagai objek kajian sebuah sistem yang hidup dan dinamis. Sistem ini meliputi
sebuah matriks mengenai nilai dan konsep yang abadi, hidup dan realistis
sehingga memberikan karakter yang unik bagi peradaban. Karena Islam merupakan
suatu sistem total, maka nilai dan konsep ini menyerap setiap aspek kehidupan
manusia.
Islam disebut sebagai agama teologis juga merupakan
agama pengetahuan yang melahirkan beragam pemikiran, lahirnya pemikiran ini
memberi indiksi yang kuat bahwa pada dataran pemahaman dan aktualisasi nilai
Islam merupakan suatu wujud keterlibatan manusia dalam Islam, dan bukan berarti
mereduksi atau mentransformasikan doktrin esensialnya. Ajaran Islam yang berbentuk universal hanya bisa ditangkap
dalam bentuk nilai, sehingga ketika ia turun dan jatuh ke tangan manusia, ia
baru menjadi bentuk.
Jadi, ketika pemikiran hendak masuk dalam wilayah
Islam untuk dikaji dengan beragam intensi dan motif, sudut pandang atau
perspektif, metodologi dan berbagai aspeknya maka dalam proses dan bentuknya
kemudian Islam dapat dipandang sebagai pemikiran. Islam yang ditunjuk di sini
tentu bukan saja apa yang terdapat dalam al-Quran dan al-Hadits (tekstual
dan skriptual) tetapi mencakup juga Islam yang berupa pemahaan dan
pengejawantahan nilai-nilainya.[8]
Islam berbentuk nilai-nilai, jika pemikiran
dilibatkan dalam proses memahami dan mengaktualisasikannya dalam sejarah
pemikiran Islam terpotret bagaimana pemikiran peminat studi Islam memberi andil
kreatif dan signifikan terhadap bangunan pemahaman ajaran Islam dalam berbagai dimensinya
yang melahirkan berbagai jenis pengetahuan Islam (ulumul Islam) seperti
teologis, filsafat Islam, ulumul Quran dan hadits, ilmu-ilmu syariah dan
sebagainya.
Jadi, mengkaji Islam sebagai pemikiran berarti
mempelajari apa yang dipahami oleh pemikir-pemikir yang telah mengkaji
ajaran-ajaran Islam yang melahirkan bentuk pemahaman atau kajian tertentu.
Selanjutnya Islam sebagai objek
kajian senantiasa menarik seiring dengan berkembangnya pendekatan, disiplin ilmu dan metodologi.
Oleh karena itu pengkajian Islam yang
dilakukan oleh para ilmuwan Islam baik
dari kalangan sarjana muslim sendiri maupun
maupun sarjana Barat tidak akan berhenti. Ketertarikan para peneliti
tampaknya lebih merupakan kedinamisan
Islam dan masyarakatnya, dan karena banyaknya tantangan yang dihadapi umat
muslim dalam mengaktualisasikan
ajaran-ajarannya, kajian dari kalangan insider lebih dalam lagi
karena ingin memberikan tantangan Islam
dari kalangan kontemporer.[9]
G. Islam Normatif Dan
Islam Historis
Islam normatif adalah Islam pada dimensi sakral
yang diakui adanya realitas transendental yang bersifat mutlak dan universal,
melampaui ruang dan waktu atau sering disebut realitas ketuhanan.[10] Kajian Islam normatif melahirkan tradisi teks :
tafsir, teologi, fiqih, tasawuf, filsafat sebagai berikut:
a) Tafsir : tradisi penjelasan dan pemaknaan kitab suci
b) Teologi : tradisi pemikiran
tentang persoalan ketuhanan
c) Fiqh : tradisi pemikiran dalam
bidang yurisprudensi (tata hukum)
d) Tasawuf: tradisi pemikiran dan
laku dalam pendekatan diri pada tuhan
e) Filsafat: tradisi pemikiran
dalam bidang hakikat kenyataan, kebenaran
Islam historis adalah Islam
yang tidak bisa dilepaskan dari kesejarahan dan kehidupan manusia yang berada
dalam ruang dan waktu. Islam yang terangkai dengan konteks kehidupan
pemeluknya. Oleh karenanya realitas
kemanusiaan selalu berada dibawah realitas ketuhanan.
Dalam pemahaman kajian Islam
historis, tidak ada konsep atau hukum Islam yang bersifat tetap. Semua bisa
berubah. Mereka berprinsip bahwa pemahaman hukum Islam adalah produk pemikiran
para ulama yang muncul karena konstruk sosial tertentu. Mereka menolak
universalitas hukum Islam. Akan tetapi, ironisnya pada saat yang sama, kaum
gender ini justru menjadikan konsep kesetaraan gender sebagai pemahaman yang
universal, abadi, dan tidak berubah. Paham inilah yang dijadikan sebagai
barometer dalam menilai segala jenis hukum Islam, baik dalam hal ibadah, maupun
muamalah.[11]
Islam historis merupakan unsur
kebudayaan yang dihasilkan oleh setiap pemikiran manusia dalam interpretasi
atau pemahamannya terhadap teks, maka Islam pada tahap ini terpengaruh bahkan
menjadi sebuah kebudayaan. Dengan semakin adanya problematika yang semakin
kompleks, maka kita yang hidup pada era saat ini harus terus berjuang untuk
menghasilkan pemikiran-pemikiran untuk mengatasi problematika kehidupan yang
semakin kompleks sesuai dengan latar belakang kultur dan sosial yang melingkupi
kita, yaitu Indonesia saat ini. Kita perlu pemahaman kontemporer yang terkait
erat dengan sisi-sisi kemanusiaan-sosial-budaya yang melingkupi kita.
Perbedaan dalam melihat Islam
yang demikian itu dapat menimbulkan perbedaan dalam menjelaskan Islam itu
sendiri. Ketika Islam dilihat dari sudut normatif, maka Islam merupakan agama
yang di dalamnya berisi ajaran tuhan yang berkaitan dengan urusan akidah dan
mu’amalah. Sedangkan ketika Islam dilihat dari sudut historis atau sebagaimana
yang nampak dalam masyarakat, maka Islam tampil sebagai sebuah disiplin ilmu.
Kajian Islam historis melahirkan disiplin ilmu studi empiris yaitu antropologi
agama, sosiologi agama, psikologi agama.
a) Antropologi Agama: disiplin
ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia beragama dalam hubungannya dengan
kebudayaan.
b) Sosiologi Agama: disiplin
ilmu yang mempelajari sistem relasi sosial masyarakat dalam hubungannya dengan
agama.
c) Psikologi Agama:disiplin ilmu
yang mempelajari aspek kejiwaan manusia dalam hubungannya dengan agama.
Hubungan antara ketiganya dapat membentuk
hubungan dialektis dan ketegangan. Hubungan dialektis terjadi jika ada dialog
bolak balik yang saling menerangi antara teks dan konteks, sebaliknya akan
terjadi hubungan ketegangan jika salah satu menganggap yang lain sebagai
ancaman.
Menentukan bentuk hubungan yang pas antara
historis dan disiplin studi empiris merupakan separuh jalan untuk mengurangi
ketegangan antara kedua corak pendekatan tersebut. Ketegangan bisa terjadi,
jika masing-masing pendekatan saling menegaskan eksistensi dan menghilangkan
manfaat nilai yang melekat pada pendekatan keilmuan yang dimiliki oleh
masing-masing tradisi keilmuan.
Menurut ijtihad, Amin Abdullah bahwa
hubungan antara historis dan disiplin
studi empiris adalah ibarat sebuah koin dengan dua permukaan. Hubungan antara
keduanya tidak dapat dipisahkan, tetapi secara tegas dan jelas dapat dibedakan.
Hubungan keduanya tidak berdiri sendiri-sendiri dan berhadap-hadapan, tetapi
keduanya teranyam, terjalin dan terajut sedemikian rupa sehingga keduanya
menyatu dalam satu keutuhan yang kokoh dan kompak. Walaupun
secara realitas studi Islam keberadaannya tidak terbantahkan, tetapi
dikalangan para ahli masih terdapat perdebatan di sekitar permasalahan apakah
studi Islam dapat dimasukkan ke dalam bidang ilmu pengetahuan, mengingat sifat
dan karakteristik antara ilmu pengetahuan dan agama berbeda. Pembahasan di sekitar
permasalahan ini banyak dikemukakan oleh para pemikir Islam dewasa ini. Amin
Abdullah mengatakan jika penyelenggaraan dan penyampaian Islamic Studies, Studi
Islam, atau Dirasah Islamiyah hanya mendengarkan dakwah keagamaan di kelas,
lalu apa bedanya dengan kegiatan pengajian dan dakwah yang sudah ramai
diselenggarakan di luar bangku kuliah.
Merespon sinyalemen tersebut menurut Amin
Abdullah, pangkal tolak kesulitan pengembangan scope wilayah kajian studi Islam
atau Dirasah Islamiyah berakar pada kesukaran seorang agamawan untuk membedakan
antara yang bersifat normative dan histories. Pada tataran normative kelihatan
Islam kurang pas kalau dikatakan sebagai disiplin ilmu, sedangkan untuk dataran
histories nampak relevan.[12]
[2] Muhaimin, Rekonstruksi
Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajagrafindo 2009) h. 284
[3] Muhaimin, Rekonstruksi
Pendidikan Islam h. 266
[5]Amin Abdullah, Studi
Agama, Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h 50
[6] Jackues Waardenburg, Studi Islam di Jerman, dalam Azim Nanji, Peta
Studi Islam (Yogyakarta: Fajar Baru , 2003) h 3
[7] Frank Whaling, Pendekatan
Teologis, Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: LKIS, 1999) h 321
[11] Muqowim, Pengantar Studi Islam. (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN
Sunan Kalijaga 2005) h. 20
2 komentar:
izin copy
Izin copy
Posting Komentar