Kamis, 23 Oktober 2014

BAB II ISLAM SEBAGAI OBJEK KAJIAN


BAB II
ISLAM SEBAGAI OBJEK KAJIAN


A.   Pengertian Metodologi dan Studi Islam.
Metodologi studi Islam terdiri dari dua kata yaitu Metodologi dan studi Islam. Pada bahasa Arab Metodologi studi Islam dipahami sebagai dirosah Islamiyah, pada bahasa Inggris dipahami sebagai Islamic Studies, pada istilah Jerman dipahami sebagai Islam Wissenschaft.
Metodologi asal kata dari bahasa Latin methodologiamethodus logia dan logy. Istilah ini pertama kali digunakan  pada tahun 1800. Makna metodologi adalah  sistem yang luas dari prinsip atau aturan metode atau prosedur yang khusus  diturunkan untuk menafsirkan atau memecahkan berbagai masalah dalam lingkup tertentu pada disiplin ilmu. Metodologi bukanlah rumus tetapi satu set praktek.  Sedangkan studi Islam dipahami sebagai kajian yang bersifat ilmiah dan objektif memahami tentang Islam.
Studi Islam merupakan upaya yang bersifat aspektual, polimetodis, pluralistik dan tanpa batas. Studi Islam bersifat aspektual bahwa Islam harus diperlakukan sebagai salah satu aspek yang eksistensi. Studi Islam bersifat polimetodis bahwa berbagai metode atau disiplin yang berbeda digunakan untuk memahami Islam, oleh karena itu perlu memahami Islam dengan metode sejarah, penyelidikan sosiologis, fenomenologis, dan sebagainya. Studi Islam bersifat pluralistik karena ada banyak agama-agama dan tradisi lain disamping Islam.  
Studi Islam mulai dikembangkan di Indonesia oleh Mukti Ali pada akhir dekade tahun 70-an. Kajian masih bersifat stadium awal, terfokus pada persoalan praktis menyangkut penataan, pembinaan dan pengembangan hubungan antar pemeluk agama di Indonesia. Memasuki dasawarsa tahun 80-an, studi Islam memasuki fase baru yang segar dimana mulai muncul kajian-kajian yang secara tematik lebih variatif dan secara kualitatif lebih intensif. Situasi ini disebabkan oleh perkembangan dunia pendidikan, teknologi komunikasi yang secara langsung membantu perkembangan internal kajian Islam .
Menurut Mukti Ali bahwa :
Islam terdiri dari dua elemen yaitu aqidah dan syari’ah lalu mendekatinya dengan metode filosofis doktriner, berbeda dengan metodologi yang dipergunakan ulama sebelumnya yang menyatakan  bahwa Islam terdiri dari  aqidah dan muammalah, sedangkan muammalah terbagi menjadi dua  yaitu mammalah yang berhubungan dengan tuhan dan muammalah yang berhubungan dengan manusia mendekatinya dengan metode doktriner saja[1].

Selanjutnya study Islam di Barat secara sederhana dikatakan sebagai usaha untuk mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam, dengan perkataan lain sebagai usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan memahami serta membahas secara mendalam tentang seluk beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam baik melalui ajaran, sejarah, maupun praktik yang pelaksanaannya secara nyata pada kehidupan sehari-hari.
Usaha mempelajari agama Islam bukan hanya dilaksanakan oleh kalangan umat Islam saja, melainkan juga dilaksanakan oleh orang-orang diluar kalangan umat Islam. Study keIslaman dikalangan umat Islam tujuan dan motifasinya berbeda dengan yang dilakukan oleh orang-orang diluar kalangan Islam, dikalangan umat Islam, study keIslaman bertujuan untuk mendalami dan memahami serta membahas ajaran-ajaran Islam agar dapat melaksanakan dan mengamalkannya dengan benar. Sedangkan diluar kalangan umat Islam, study keIslaman bertujuan untuk mempelajari seluk beluk agama dan praktek keagamaan yang berlaku dikalangan umat Islam, yang semata-mata sebagai ilmu pengetahuan.
Selanjutnya secara harfiyah studi Islam adalah kajian tentang hal-hal yang berkaitan dengan keIslaman. Spesifikasi pengertian terminologis tentang studi Islam dalam kajian ini yaitu kajian secara sistematis dan terpadu untuk mengetahui memahami dan menganalisis secara mendalam hal-hal yang berkaitan dengan agama Islam baik yang menyangkut sumber-sumber ajaran Islam, pokok ajaran Islam, sejarah Islam, maupun realitas pelaksanaannya dalam kehidupan.
Secara teoritis Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya di wahyukan tuhan kepada manusia melalui Muhammad sebagai rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi, tetapi mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia.
Selanjutnya memahami dan mengkaji Islam dalam konteks pemaknaan yang sebenarnya bahwa Islam merupakan agama yang mengarahkan pemeluknya pada dimensi teologis, humanis, dan keselamatan baik di dunia maupun di akhirat.
Selain daripada itu sumber ajaran Islam berfungsi pula sebagai pokok ajaran Islam. Islam sebagai sumber ajaran mengindikasikan bahwa ajaran Islam berasal dari sesuatu yang dapat digali dan di pergunakan untuk kepentingan operasionalisasi ajaran Islam dan pengembangannya sesuai dengan kebutuhan dan tantangan yang di hadapi umat Islam.




  B. Studi Islam Dalam Peta Kajian Ilmiah
Pembelajaran ilmu agama Islam  berusaha mendudukkan Islam sebagai objek studi yang perlu dikaji dan dianalisis secara  analisis kritis-rasional, objektif, historis-empiris dan sosiologis. Mengkaji Islam melalui nalar dan historis empiris terhadap nilai-nilai agama Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadist harus disertai pendekatan keagamaan agar terbangun  sikap dan perilaku  yang memiliki  komitmen, konsentrasi dan dedikasi terhadap Islam sebagai agama yang diyakini kebenarannya atas dasar wawasan keilmuan keIslaman yang dimilikinya.[2]
Studi Islam pada peta kajian ilmiah adalah upaya pengkajian Islam dengan menerapkan metode ilmiah,  khususnya  dalam konteks sosial sains. Objek ilmiah studi Islam diistilahkan dengan “Islam pada tiga tingkatan yaitu Islam sebagai wahyu, Islam sebagai pemahaman atau pemikiran dan Islam sebagai pengamalan dalam masyarakat”
Islam sebagai wahyu adalah hal sudah tetap, yakni Islam seperti halnya yang tersebut dalam al-Quran, memahami Islam sebagai wahyu melalui studi tafsir al-Qur’an al-Karim .
Konsep kajian Islam sebagai pemikiran atau pemahaman adalah kajian yang berangkat dari sumber-sumber yang diakui  sebagai sumber-sumber Islam, seperti al-Quran al-Karim, Hadist, Ijma’ dan lain sebagainya, mengkaji Islam pada tataran ini memberikan ruang untuk mengkaji Islam sebagaimana dipahami oleh masyarakat, seperti “konsep wihdatul wujud dalam Tarikat Naqsyabandiah, atau “syari’ah menurut MUI” dan sebagainya. Kajian Islam sebagai pemahaman akan menyediakan ruang studi yang sangat luas, seluas agama Islam menyebar di dunia.
Sedangkan Islam pada tataran terakhir, yakni Islam sebagai pengamalan, juga memberikan ruang kajian ke-Islaman yang sungguh luas. Salah satu perbedaan antara Islam sebagai pemahaman dengan Islam pada pengamalan adalah aktualisasiya pada kehidupan. Karena bisa saja suatu pemahaman tentang Islam tidak teraplikasikan dalam pengamalan, atau malah bertentangan dengan fakta. Objek kajian studi Islam ini juga memenuhi persyaratan yang diterapkan kepada ilmu-ilmu pengetahuan lainnya, dapat di observasi, dapat diteliti kembali kebenarannya, dapat diuji intersubjektif dan interdisipliner.
Studi Islam mempunyai kerangka kerja, kerangka teoritis, pembahasan masalah, penyelesaian masalah, inquiry, hipotesis dan kesimpulan. Perangkat langkah-langkah metodologis yang merupakan syarat keilmiahan sebuah kajian telah dipenuhi oleh studi Islam. Studi Islam telah memenuhi syarat-syarat ilmiah artinya studi Islam telah menempati jajaran dan peta kajian-kajian ilmiah lainnya. Diharapkan para pengkaji ke-Islaman bisa mempertahankan keilmiahan kajiannya, hingga Islam bisa dipahami dengan lebih objektif, universal dan humanis. Dari hasil pengamatan  dan kajian peristiwa kehidupan  sebagai laboratorium studi Islam pada  gilirannya akan terjadi proses internalisasi nilai-nilai agama  keimanan dan akidah untuk selanjutnya dapat menumbuhkan motivasi  dalam diri seseorang  menjalankan dan  mentaati  nilai-nilai dasar agama  yang telah terinternalisasikan  dalam dirinya. [3]
Meski demikian, beberapa kendala menurut beberapa golongan yang mengakibatkan studi-studi ke-Islaman pada beberapa kajian tidak bisa dipandang sebagai ilmiah, dan tentu pendapat mereka itu juga disanggah oleh beberapa golongan lainnya. Seperti studi sastra Islam yang memang juga merupakan problem yang dihadapi oleh studi sastra pada umumnya, misalnya kajian-kajian tentang sastra dipandang tidak bisa mempertahankan keilmiahannya karena tidak bisa melengkapi syarat-syarat keilmiahan intersubjektif . Selain itu, bagi para pengkaji Islam yang shaleh-shaleh dalam pengertian tradisional dalam beberapa objek terdapat keterasingan dalam mengkaji Islam bila ingin menjadikan kajian tersebut memenuhi syarat ilmiah yang diajukan oleh para sarjanawan ilmu-ilmu lain, seperti sejarah Islam bagi pengkaji muslim, sejarah Islam tidak bisa dilepaskan dari wahyu, bahwa kepintaran dan kebijakan Muhammad tidak semata-semata hasil dari usahanya dalam bermasyarakat akan tetapi juga merupakan bimbingan tuhan. Disinilah persoalan kemudian muncul karena syarat “keilmiahan” sebuah kajian tidak bisa menerima sesuatu tanpa ada sumber yang bisa dibuktikan, khususnya dalam pemahaman sejarawan Barat.
Akan tetapi tentu saja hal ini dapat dibantah karena kerangka dan langkah-langkah metodologi kajian tidak harus sama dengan kajian lainnya. Islam mengakui wahyu, ilham dan intuisi sebagai sumber pengetahuan sementara aliran rasionalis tidak mengakuinya. Aliran rasionalis harus lebih rendah hati dan sadar bahwa mengkaji Islam dalam segala aspeknya tidak akan bisa dilepaskan secara total dari wahyu, agar sebuah kajian keIslaman dapat menghasilkan kesimpulan yang lebih mendekati kebenaran.
Karena studi Islam berobjek kepada tiga tataran objek kajian yaitu Islam sebagai wahyu, Islam sebagai pemahaman atau pemikiran dan Islam sebagai pengamalan dalam masyarakat, maka dapat diartikan bahwa kebanyakan studi Islam masuk dalam bagian ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora. 




C.  Tujuan Mempelajari Metodologi Studi Islam
Studi Islam adalah salah satu studi yang mendapat perhatian dikalangan ilmuwan. Jika ditelusuri secara mendalam, nampak bahwa studi Islam mulai banyak dikaji oleh para peminat studi agama dan studi-studi lainnya. Dengan demikian, studi Islam layak untuk dijadikan sebagai salah satu cabang ilmu favorit. Artinya, studi Islam telah mendapat tempat dalam percaturan dunia ilmu pengetahuan.
Islam sebagai agama tidak hanya mencakup persoalan yang trasedental akan tetapi mencakup pula berbagai persoalan seperti  ekonomi, sosial, budaya, dan dimensi-dimensi lain dalam kehidupan manusia. Jika tinjau dari perkembangan Islam masa awal ajaran Islam telah mengalami perkembangan, terkait erat dengan persoalan-persoalan historis kultural. Perkembangan tersebut dapat diamati dari praktek-praktek keagamaan diberbagai wilayah Islam, dimana antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lain berbeda-beda dalam praktek sosial keagamaan, sehingga benang merah yang memisahkan antara wilayah agama dan wilayah sosial dan budaya yang telah menyatu dengan agama itu sendiri menjadi tidak jelas.
Studi Islam  yang dilakukan oleh kebanyakan sarjana-sarjana Barat  nonmuslim  disebut Islamic Studies. Islam bukan lagi  sebagai otoritas mutlak  bagi umat pemeluknya  dalam pengkajiannya, namun terbuka  bagi kalangan mana saja  untuk melakukan kajian Islam, baik secara selintas maupun mendalam. [4]
Islam seperti agama-agama lainnya pada level historis empiris sarat dengan berbagai kepentingan yang menempel dalam ajaran dan batang tubuh ilmu-ilmu keagamaan itu sendiri. Campur aduk terkait “agama” dengan berbagai “kepentingan” sosial kemasyarakatan menambah rumitnya mengatasi persoalan agama.
Perjalanan panjang sejarah Islam yang terhitung mulai dari abad 7 H sampai dengan abad ke 15 H dewasa ini, menjadikan Islam sebagai agama yang merambah keberbagai wilayah didunia, karena sesuai dengan misinya sebagai agama rahmatan lil alamin. Islam pun pernah menjadi kekuatan dan  bagian penting dalam sejarah peradaban dunia.
Salah satu persoalan mendesak untuk segera dipecahkan adalah masalah metodologi. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, kelemahan dikalangan umat Islam dalam mengkaji Islam secara komperehensif adalah tidak menguasai metodologi. Kelemahan ini semakin terasa manakala umat Islam, khususnya di Indonesia, tidak menjadi produsen pemikiran akan tetapi konsumen pemikiran. Jadi kelemahan umat Islam bukan terletak pada kurangnya penguasaan materi namun pada cara-cara penyajian materi yang dikuasai.
Kedua, ada anggapan bahwa studi Islam dikalangan   ilmuwan telah merambah ke berbagai wilayah, memasuki ke studi kawasan filologi, dialog, agama, antropologi, arkeologi, dan sebagainya.  Disamping itu juga, perbedaan bentuk ekspresi dan karakteristik Islam antara satu wilayah dengan yang lainnya membuka wacana mengenai hubungan antara hal-hal yang bersifat normatif dan historis dari agama. Atas dasar itu, pemahaman terhadap persoalan hubungan antara normativitas dan historisitas sangat penting dalam rangka menguraikan esensi atau substansi dari ajaran yang nota benenya sudah terlembagakan, apalagi dalam konteks saat ini. Selain itu, untuk menghindari terjadinya pemahaman yang bersifat campur aduk tidak dapat menunjukkan secara distingtif mana wilayah agama dan mana wilayah tradisi atau budaya. Bila pencampuradukan itu terjadi, selanjutnya tidak akan bisa dihindari munculnya pemahaman yang distortif terhadap konsep kebenaran, antara yang absolut dan relatif.

D.  Manfaat Mempelajari Metodologi Studi Islam
Dengan mempelajari metodologi studi Islam memberikan ruang dalam pemikiran yang lebih kritis terhadap persoalan agama, sehingga tidak menganggap bahwa ajaran Islam klasik dianggap sebagai taken for granted, hal ini didasari atas adanya  pujian paradoksal terhadap dunia Islam. Dikatakan, salah satu penyebab kegagalan Islam dewasa ini justru disebabkan oleh keberhasilannya yang gilang gemilang pada masa lalu, baik karena keyakinan akan ajarannya yang sudah mutlak sempurna serta warisan budaya masa lalu yang amat kaya dan menakjubkan, seakan tidak ada lagi ruang bagi umat Islam untuk melakukan inovasi, yang ada adalah melakukan konservasi, revitalisasi, dan kembali kepada kaidah-kaidah lama yang dipersepsikan sebagai zaman keemasan. Kuatnya memori of the past yang kemudian menjadi semacam ideologi yang disakralkan, maka dunia Islam secara psikologis merasa memiliki dunia tersendiri. Sikap ketertutupan ini pada urutannya membatasi kita untuk bisa melihat dan menerima realita dunia baru. Bahwa dunia pada abad lalu bukanlah dunia yang kita huni hari ini.  Mengimbangi alur pemikiran keagamaan seringkali menonjolkan warna pemikiran keagamaan yang bersifat teologis-partikularistik. Hampir semua pengamatan sosial keagamaan sepakat bahwa pemikiran teologi, seringkali membawa kearah ketersekatan’ umat. Ketersekatan dan keterkotak-kotakan yang tidak dapat terhindarkan.[5]
Menurut Amin Abdullah,” ada dua ciri menonjol corak pemikiran teologis. Pertama, pemikiran teologis menekankan perlunya personal commitment terhadap ajaran agama yang dipeluknya. Agama adalah persoalan hidup dan mati. Pemeluk agama tertentu akan mempertahankan ajaran-ajaran agamanya dengan gigih hingga rela berkorban. Di sini agama erat kaitannya dengan emosi. Kedua, ‘bahasa” yang digunakan pemeluk agama adalah bahasa seorang pelaku” atau pemain” (actor) bukan bahasa pengamat atau peneliti dari luar (spectator). Karenanya kesetiaan pada agama berimplikasi menyeluruh terhadap kehidupannya untuk dapat mendialogkan ilmu humaniora klasik seperti Fikih, Hadits, Kalam, Ulumul Qur’an dengan ilmu-ilmu humaniora kotemporer sehingga Islam dapat dijadikan sebagai ajaran yang mampu menjadi obat mujarab dalam mengatasi masalah kekinian.

  1. Objek Pembahasan Metodologi Studi Islam
          Islam sebagai agama tidak datang ke dalam “ruangan” dan kondisi yang kosong. Islam hadir kepada suatu masyarakat yang sudah sarat dengan keyakinan, tradisi dan praktik-praktik kehidupan. Masyarakat saat itu bukan tanpa ukuran moralitas tertentu, namun sebaliknya inheren di dalam diri mereka tentang standar nilai dan moralitas.
Dalam perjalanan panjang Islam mengalami asimilasi, perkembangan-perkembangan akibat adanya berbagai macam pemahaman yang dikembangkan oleh para tokoh-tokoh agama, ulama, pemikir-pemikir Islam. Menurut pendapat tokoh agama pada istilah wahyu  ketika dilangit bersifat maskulin (tunggal), namun ketika membumi bersifat feminis. Hal ini berarti bahwa penafsiran terhadap wahyu al-Qur’an mengalami perkembangan  tidak hanya tekstual tetapi memahami wahyu al-Qur’an secara kontekstual. Oleh sebab itu, obyek kajian dalam Islam tidak hanya membahas tentang persoalan trasedental namun membahas hal lain yang menyangkut persoalan-persoalan ketika agama membumi. Berikut obyek kajian dalam studi Islam :
a)      Komunitas setiap tradisi memiliki suatu komunitas keagamaan (gereja, masjid, ummah) yang memiliki beragam cabang dan yang membawa umat beriman ke dalam suatu konteks global.
b)      Ritual yang dapat dipahami dalam tiga aspek penyembahan yang terus menerus, sakramen, dan upacara-upacara. Sakramen berkaitan dengan perjalanan kehidupan yang luar biasa, kelahiran, inisiasi (upacara tapabrata), perkawinan dan kematian. Upacara-upacara sering merayakan tanggal kelahiran atau peristiwa-peristiwa besar lainnya dari kehidupan tokoh-tokoh-tokoh besar seperti Yesus, Musa, Muhammad, Krishna dan Budha. Aktivitas penyembahan, sangat beragam dari segi frekuensi, watak, dan signifikansinya namun seluruh agama memilikinya.
c)      Etika, seluruh tradisi memiliki keinginan mengkonseptualisasikan dan membimbing kearah kehidupan yang baik, dan  semua menyepakati persoalan dasar seperti keharusan menghindari kebohongan, mencuri, pembunuhan, membawa aib keluarga, mengingkari cinta. Tradisi monoreistik menyerukan agar mencintai manusia dan Tuhan, sedang tradisi-tradisi timur lebih cendrung menyerukan concernetis kepada alam.
d)     Keterliban sosial dan politis, komunitas-komunitas keagamaan merasa perlu terlibat dalam masyarakat yang lebih luas untuk mempengaruhi, mereformasi, atau beradaptasi dengannya kecuali jika agama dan masyarakat saling terpisah seperti dalam agama-agama primal.
e)      Kajian teks dan kitab suci, termasuk mite atau sejarah suci atau tradisi oral yang dengannya masyarakat hidup, dengan mengesampingkan agama-agama primal, kebanyakan tradisi memiliki kitab-kitab sebagai suatu canon (peraturan-peraturan) [6].
f)       Konsep atau doktrin
g)      Estetika, dalam tingkat akar rumput di sepanjang sejarah, estetika merupakan hal yang signifikan. Ikonografi di Tajmahal dan permadani di Persia
h)     Spiritualitas yang menekankan sisi dalam batin dari agama [7]. Spritualitas muslim dalam makna luas dengan jelas mengekpresikan dirinya dalam berbagai cara dan bentuk yang sangat berbeda, dari kesalehan yang lebih tradisional kepada bentuk-bentuk pengalaman mistik pribadi, dalam berbagai ekspresinya yang berbeda, dari pengalaman Hadits kepada puisi yang mengisyaratkan pada yang absolut. Meskipun selalu ada banyak referensi bagi ‘’isyarat-isyarat” tuhan, isyarat-isyarat tersebut memainkan peran yang sangat berbeda dalam berbagai cara yang berbeda pula.

F.   Islam Sebagai Objek Kajian
Dari fenomena sosial yang terjadi di dalam masyarakat, Islam memang menarik untuk dijadikan sebagai objek kajian dan dalam mengkaji Islam, tentu kita harus berpedoman pada dua sumber otentiknya yakni al-Quran dan al-Hadits. Orang yang memeluk agama Islam, yang disebut muslim adalah orang yang bergerak menuju ketingkat eksistensi yang lebih tinggi. Demikian yang tergambar dalam konotasi yang melekat dalam kata Islam apabila kita melakukan suatu kajian tentang arti Islam itu sendiri. Untuk memecahkan masalah yang timbul dalam masyarakat, maka seorang muslim mengadakan suatu penafsiran terhadap  al-Quran dan al-Hadits sehingga timbullah pemikiran Islam, baik yang bersifat tekstual maupun kontekstual. Islam sebagai agama, pemikiran atau penafsiran al-Quran dan al-Hadits juga sebagai objek kajian sebuah sistem yang hidup dan dinamis. Sistem ini meliputi sebuah matriks mengenai nilai dan konsep yang abadi, hidup dan realistis sehingga memberikan karakter yang unik bagi peradaban. Karena Islam merupakan suatu sistem total, maka nilai dan konsep ini menyerap setiap aspek kehidupan manusia.
Islam disebut sebagai agama teologis juga merupakan agama pengetahuan yang melahirkan beragam pemikiran, lahirnya pemikiran ini memberi indiksi yang kuat bahwa pada dataran pemahaman dan aktualisasi nilai Islam merupakan suatu wujud keterlibatan manusia dalam Islam, dan bukan berarti mereduksi atau mentransformasikan doktrin esensialnya. Ajaran Islam  yang berbentuk universal hanya bisa ditangkap dalam bentuk nilai, sehingga ketika ia turun dan jatuh ke tangan manusia, ia baru menjadi bentuk.
Jadi, ketika pemikiran hendak masuk dalam wilayah Islam untuk dikaji dengan beragam intensi dan motif, sudut pandang atau perspektif, metodologi dan berbagai aspeknya maka dalam proses dan bentuknya kemudian Islam dapat dipandang sebagai pemikiran. Islam yang ditunjuk di sini tentu bukan saja apa yang terdapat dalam al-Quran dan al-Hadits (tekstual dan skriptual) tetapi mencakup juga Islam yang berupa pemahaan dan pengejawantahan nilai-nilainya.[8]
Islam berbentuk nilai-nilai, jika pemikiran dilibatkan dalam proses memahami dan mengaktualisasikannya dalam sejarah pemikiran Islam terpotret bagaimana pemikiran peminat studi Islam memberi andil kreatif dan signifikan terhadap bangunan pemahaman ajaran Islam dalam berbagai dimensinya yang melahirkan berbagai jenis pengetahuan Islam (ulumul Islam) seperti teologis, filsafat Islam, ulumul Quran dan hadits, ilmu-ilmu syariah dan sebagainya.
Jadi, mengkaji Islam sebagai pemikiran berarti mempelajari apa yang dipahami oleh pemikir-pemikir yang telah mengkaji ajaran-ajaran Islam yang melahirkan bentuk pemahaman atau kajian tertentu.
Selanjutnya Islam sebagai objek kajian  senantiasa menarik  seiring dengan berkembangnya  pendekatan, disiplin ilmu dan metodologi. Oleh karena itu pengkajian Islam  yang dilakukan oleh para ilmuwan Islam  baik dari kalangan sarjana muslim sendiri maupun  maupun sarjana Barat tidak akan berhenti. Ketertarikan para peneliti tampaknya lebih  merupakan kedinamisan Islam dan masyarakatnya, dan karena banyaknya tantangan yang dihadapi umat muslim dalam mengaktualisasikan  ajaran-ajarannya, kajian dari kalangan insider lebih dalam lagi karena  ingin memberikan tantangan Islam dari kalangan kontemporer.[9]

G. Islam Normatif Dan Islam Historis
            Islam normatif adalah Islam pada dimensi sakral yang diakui adanya realitas transendental yang bersifat mutlak dan universal, melampaui ruang dan waktu atau sering disebut realitas ketuhanan.[10] Kajian Islam normatif melahirkan tradisi teks : tafsir, teologi, fiqih, tasawuf, filsafat sebagai berikut:
a)      Tafsir   : tradisi penjelasan dan pemaknaan kitab suci
b)      Teologi : tradisi pemikiran tentang persoalan ketuhanan
c)      Fiqh : tradisi pemikiran dalam bidang yurisprudensi (tata hukum)
d)     Tasawuf: tradisi pemikiran dan laku dalam pendekatan diri pada tuhan
e)      Filsafat: tradisi pemikiran dalam bidang hakikat kenyataan, kebenaran
Islam historis adalah Islam yang tidak bisa dilepaskan dari kesejarahan dan kehidupan manusia yang berada dalam ruang dan waktu. Islam yang terangkai dengan konteks kehidupan pemeluknya. Oleh karenanya realitas kemanusiaan selalu berada dibawah realitas ketuhanan.
Dalam pemahaman kajian Islam historis, tidak ada konsep atau hukum Islam yang bersifat tetap. Semua bisa berubah. Mereka berprinsip bahwa pemahaman hukum Islam adalah produk pemikiran para ulama yang muncul karena konstruk sosial tertentu. Mereka menolak universalitas hukum Islam. Akan tetapi, ironisnya pada saat yang sama, kaum gender ini justru menjadikan konsep kesetaraan gender sebagai pemahaman yang universal, abadi, dan tidak berubah. Paham inilah yang dijadikan sebagai barometer dalam menilai segala jenis hukum Islam, baik dalam hal ibadah, maupun muamalah.[11]
Islam historis merupakan unsur kebudayaan yang dihasilkan oleh setiap pemikiran manusia dalam interpretasi atau pemahamannya terhadap teks, maka Islam pada tahap ini terpengaruh bahkan menjadi sebuah kebudayaan. Dengan semakin adanya problematika yang semakin kompleks, maka kita yang hidup pada era saat ini harus terus berjuang untuk menghasilkan pemikiran-pemikiran untuk mengatasi problematika kehidupan yang semakin kompleks sesuai dengan latar belakang kultur dan sosial yang melingkupi kita, yaitu Indonesia saat ini. Kita perlu pemahaman kontemporer yang terkait erat dengan sisi-sisi kemanusiaan-sosial-budaya yang melingkupi kita.
Perbedaan dalam melihat Islam yang demikian itu dapat menimbulkan perbedaan dalam menjelaskan Islam itu sendiri. Ketika Islam dilihat dari sudut normatif, maka Islam merupakan agama yang di dalamnya berisi ajaran tuhan yang berkaitan dengan urusan akidah dan mu’amalah. Sedangkan ketika Islam dilihat dari sudut historis atau sebagaimana yang nampak dalam masyarakat, maka Islam tampil sebagai sebuah disiplin ilmu. Kajian Islam historis melahirkan disiplin ilmu studi empiris yaitu antropologi agama, sosiologi agama, psikologi agama.
a)      Antropologi Agama: disiplin ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia beragama dalam hubungannya dengan kebudayaan.
b)      Sosiologi Agama: disiplin ilmu yang mempelajari sistem relasi sosial masyarakat dalam hubungannya dengan agama.
c)      Psikologi Agama:disiplin ilmu yang mempelajari aspek kejiwaan manusia dalam hubungannya dengan agama.
      Hubungan antara ketiganya dapat membentuk hubungan dialektis dan ketegangan. Hubungan dialektis terjadi jika ada dialog bolak balik yang saling menerangi antara teks dan konteks, sebaliknya akan terjadi hubungan ketegangan jika salah satu menganggap yang lain sebagai ancaman.
      Menentukan bentuk hubungan yang pas antara historis dan disiplin studi empiris merupakan separuh jalan untuk mengurangi ketegangan antara kedua corak pendekatan tersebut. Ketegangan bisa terjadi, jika masing-masing pendekatan saling menegaskan eksistensi dan menghilangkan manfaat nilai yang melekat pada pendekatan keilmuan yang dimiliki oleh masing-masing tradisi keilmuan.
      Menurut ijtihad, Amin Abdullah bahwa hubungan  antara historis dan disiplin studi empiris adalah ibarat sebuah koin dengan dua permukaan. Hubungan antara keduanya tidak dapat dipisahkan, tetapi secara tegas dan jelas dapat dibedakan. Hubungan keduanya tidak berdiri sendiri-sendiri dan berhadap-hadapan, tetapi keduanya teranyam, terjalin dan terajut sedemikian rupa sehingga keduanya menyatu dalam satu keutuhan yang kokoh dan kompak. Walaupun secara realitas studi Islam keberadaannya tidak terbantahkan, tetapi dikalangan para ahli masih terdapat perdebatan di sekitar permasalahan apakah studi Islam dapat dimasukkan ke dalam bidang ilmu pengetahuan, mengingat sifat dan karakteristik antara ilmu pengetahuan dan agama berbeda. Pembahasan di sekitar permasalahan ini banyak dikemukakan oleh para pemikir Islam dewasa ini. Amin Abdullah mengatakan jika penyelenggaraan dan penyampaian Islamic Studies, Studi Islam, atau Dirasah Islamiyah hanya mendengarkan dakwah keagamaan di kelas, lalu apa bedanya dengan kegiatan pengajian dan dakwah yang sudah ramai diselenggarakan di luar bangku kuliah.
Merespon sinyalemen tersebut menurut Amin Abdullah, pangkal tolak kesulitan pengembangan scope wilayah kajian studi Islam atau Dirasah Islamiyah berakar pada kesukaran seorang agamawan untuk membedakan antara yang bersifat normative dan histories. Pada tataran normative kelihatan Islam kurang pas kalau dikatakan sebagai disiplin ilmu, sedangkan untuk dataran histories nampak  relevan.[12]



[1] Mukti Ali. Metode Memahami Agama Islam (Jakarta: Bulan Bintang 1999). h 25
[2] Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajagrafindo 2009) h.  284
[3] Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam  h.  266
[4] Jamali Sahrodi, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Pustaka Setia 2008)  h 180
[5]Amin Abdullah, Studi Agama, Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999),   h  50
[6] Jackues Waardenburg, Studi Islam di Jerman, dalam Azim Nanji, Peta Studi Islam (Yogyakarta: Fajar Baru , 2003) h  3
[7] Frank Whaling, Pendekatan Teologis, Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: LKIS, 1999) h 321
[8] Mukti Ali, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam. (Bandung: Mizan, 1993)  h. 15
[9]Jamali Sahrodi, Metodologi Studi Islam,  h  182
[10]Amin Abdullah, Studi Agama, Normativitas atau Historisitas,  h  5
[11] Muqowim, Pengantar Studi Islam. (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga 2005) h. 20
                [12] Amin Abdullah, Studi Agama, Normativitas atau Historisitas, h 106

2 komentar:

Posting Komentar