BAB III
INTEGRASI
ISLAM (AGAMA) DAN FILSAFAT (SAINS)
A. Integrasi
Islam (Agama ) dan Filsafat (Sains)
Ketika kita mendengar kata ”sains” dan ”agama, serta merta orang akan
berpikir akan sejarah hubungan seru di antara keduanya. Dalam catatan sejarah
perjumpaan agama dengan sains tidak hanya berupa pertentangann belaka, tetapi
juga orang berusaha untuk mencari hubungannya antara keduanya pada posisi yaitu
sains tidak mengarahkan agama kepada jalan yang dikehendakinya dan agama juga
tidak memaksanakan sains untuk tunduk pada kehendaknya. Memang, science and
religion merupakan wacana yang selalu menarik perhatian di kalangan
intelektual. Hingga kini, masih saja ada anggapan yang kuat dalam masyarakat
luas yang mengatakan bahwa ”agama”dan ”ilmu” adalah dua entitas yang tidak
dapat dipertemukan. Keduanya mempunyai wilayah masing-masing, terpisah antara
satu dan lainnya, baik dari segi objek formal material, metode penelitian,
kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan. Ungkapan lain, ilmu
tidak memperdulikan agama dan agamapun tidak memperdulikan ilmu[1].

Apakah agama bertentangan dengan sains?
Sains
dan agama bukan merupakan isu baru dan bahkan banyak pemikir yang yakin bahwa
agama tidak akan pernah dapat didamaikan dengan sains[4]. Pertarungan antara sains dan agama seolah-olah tak pernah berhenti.
Katakan saja, di satu pihak ada kelompok saintis yang tak pernah dianggap
sebagai intelektual. Tetapi kerjanya yang berpijak pada dunia empiris secara
nyata yang telah mengubah dunia seperti yang kita lihat sekarang ini. Sementara
di sisi lain, para agamawan yang dikategori sebagai kelompok tradisional,
mengklaim dan menyebut dirinya sebagai kaum yang berhak berbicara semua hal
tentang kebenaran. Kedua kelompok tersebut seolah-olah tak pernah berhenti
untuk saling klaim bahwa merekalah yang berhak menentukan kehidupan.
Agama
dan sains, merupakan dua bagian penting dalam kehidupan sejarah umat manusia.
Bahkan pertentangan antara agama dan sains tak perlu terjadi jika kita mau
belajar mempertemukan ide-ide spiritualitas agama dengan sains yang sebenarnya
sudah berlangsung lama. Kerinduan akan tersintesisnya agama dan sains pernah
diurai Charles Percy Snow dalam ceramahnya di Universitas Cambridge yang
dibukukan dengan judul The Two Cultures yang menyorot kesenjangan
antar budaya, yaitu antara kelompok agamawan yang mewakili budaya literer dan
kelompok saintis yang mewakili budaya ilmiah[5].
Pihak
skeptis ilmiah selalu menuduh bahwa agama hanya bergantung pada asumsi-asumsi apriori
atau sesuatu yang hanya didasarkan pada keyakinan. Selain itu, kelompok
sains juga tidak dapat menerima begitu saja segala sesuatu sebagai kebenaran.
Kaum teolog (agamawan) kemudian banyak menuai kritik karena terlalu
bertumpu pada “imajinasi liar”, sementara para saintis harus berdasarkan
fakta secara empiris. Ini adalah tantangan yang dihadapi dan apabila “pemahaman
yang kurang tepat mengenai persoalan ini dapat menjebak umat beragama pada
upaya-upaya yang tak produktif atau bahkan kontra produktif”[6].
Selain
itu, beberapa kritik menunjukkan bahwa hubungan sains dengan agama terlalu
komplek dan terlalu bebas-konteks untuk dihimpun di bawah skema klasifikasi
mana pun. Mereka mengklaim bahwa interaksi di antara keduanya sangatlah beragam
di sepanjang periode sejarah yang berbeda dan disiplin ilmu yang berbeda untuk
menunjukkan pola-pola umum manapun[7]. Kaum materialisme dan literalisme biblikal sama-sama
mengklaim bahwa “sains” dan “agama” memberikan pertanyaan yang berlawanan dalam
domain yang sama sehingga orang harus memilih satu di antara dua. Mereka
percaya bahwa orang tidak dapat mempercayai evolusi dan tuhan sekaligus. Memang
perkembangan selama ini, menunjukkan bahwa sains didominasi oleh aliran
positivisme, sebuah aliran yang sangat menuhankan metode ilmiah dengan
menempatkan asumsi-asumsi metafisis, aksiologis dan epistemologis. Penganut
aliran ini mengatakan bahwa sains mempunyai reputasi tinggi untuk menentukan
kebenaran dan sains merupakan “dewa” dalam beragam tindakan (sosial, ekonomi,
politik, dan lain-lain). Sedangkan menurut mereka, agama hanyalah merupakan
hiasan belaka ketika tidak sesuai dengan sains, begitu kira-kira kata kaum
positivisme.
Dengan
demikian, upaya untuk menghubungkan dan memadukan antara sains dan agama, tak
harus berarti menyatukan atau bahkan mencampuradukkan, karena identitas atau
watak dari masing-masing kedua identitas itu tak mesti hilang, atau sebagian
orang bahkan akan berkata, harus tetap dipertahankan. Jika tidak, mungkin saja
yang diperoleh dari hasil hubungan itu “bukan ini dan bukan itu”, dan tak jelas
lagi apa fungsi dan manfaatnya. Integrasi yang diinginkan adalah integrasi yang
“konstruktif”, hal ini dapat dimaknai sebagai suatu upaya integrasi yang
menghasilkan konstribusi baru untuk sains dan agama yang dapat diperoleh jika
keduanya terpisahkan[8].
Ian G. Barbour, membahas tentang hubungan sains dan agama. Menurut
fisikawan-cum-agamawan, dalam bukunya, Juru Bicara Tuhan antara Sains dan
Agama dari judul asli When Science Meets Relegion: Enemies, Strangers,
or Partuers menerangkan bahwa perpaduan antara sains dan agama merupakan
salah satu tipologi. Ian G. Barbour, mengusulkan empat hubungan yaitu konflik,
perpisahan, dialog perbincangan dan
integrasi perpaduan[9]. Pententangan antara sain dan agama menurut Ian G. Barbour, adalah
hubungan yang bertelingkah dan dalam kasus yang ekstrim bahkan bermusuhan.
Perpisahan berarti ilmu dan agama berjalan sendiri-sendiri dengan bidang
garapan, cara, tujuannya masing-masing tanpa saling mengganggu atau
memperdulikan. Dialog atau perbincangan ialah hubungan yang saling terbuka dan
saling menghormati, karena kedua belah pihak ingin memahami persamaan dan
perbedaan mereka. Perpaduan atau integrasi adalah hubungan yang bertumpu pada
keyakinan bahwa pada dasarnya kawasan telaah, rancangan penghampiran, dan
tujuan ilmu dan agama adalah sama dan satu[10].
Perpaduan menurut Ian G. Barbour, dapat diusahakan dengan bertolak dari
sisi ilmu, atau dari sisi agama. Alternatifnya adalah berupaya menyatukan
keduanya di dalam bingkai suatu sistem kefilsafatan, misalnya Process
Philosophy. Maka Barbour sendiri secara pribadi cenderung mendukung usaha
penyatuan melalui Theology of Nature yang digabungkan dengan penggunaan Process
Philoshofy secara berhati-hati. Selain itu, Barbour, juga sepakat dengan
pendekatan dialog atau perbincangan. Akan tetapi tidak jelas apakah dukungannya
terhadap perpaduan atau integrasi lebih kuat, atau apakah pandangannya justru
lebih berat pada dialog atau perbincangan.
Bagaimana mengintegrasikan ”sains dan agama”?

Dari empat pandangan tipologi di atas, Ian G. Barbour lebih berpihak pada
dua pandangan terakhir dan khususnya integration. Lebih khusus lagi,
integrasi Barbour adalah integrasi teologis. Teori-teori ilmiah mutakhir
dicari implikasi teologinya, lalu suatu teologi baru dibangun dengan
memperhatikan teologi tradisonal sebagai salah satu sumbernya. Dengan demikian,
“integrasi” ala Barbour, memiliki makna yang sangat spesifik, yang bertujuan
menghasilkan suatu reformasi teologi dalam bentuk theology of nature.
Barbour, membedakannya dari natural theory, yang tujuan utamanya untuk
membuktikan kebenaran agama berdasarkan temuan-temuan ilmiah. Ketika berbicara
tentang agama, perhatian Barbour nyaris terbatas pada teologi. Dan ketika
berbicara tentang sains, perhatiannya terutama tertumpu pada isi teori-teori
paling mutakhir dalam ilmu alam.[13]
Pandangan yang mirip tetapi tak sama dengan Ian G. Barbour, yaitu John F.
Haught, yang membagi pendekatan sains dan agama, menjadi pendekatan konflik,
pendekatan kontras, pendekatan kontak, dan pendekatan konfirmasi.
Keempat pandangan ini dapat dilihat sebagai semacam tipologi seperti
yang dibuat Barbour, tetapi Haught juga melihatnya sebagai semacam perjalanan.
Untuk itu, secara singkat membahas empat pemikiran Haught tentang hubungan
sains dan agama, sebagai berikut :
Pendekatan Konflik, suatu keyakinan bahwa pada
dasarnya sains dan agama tidak dapat dirujuk atau dipadukan, banyak pemikir (saintis)
yang memandang bahwa agama tidak akan pernah dapat didamaikan dengan sains.
Masing-masing berada pada posisi yang berbeda, sains menguji semua hipotesis
dan semua teorinya berdasarkan pengalaman, sedangkan agama berdasarkan
keyakinan[14].
Kaum skeptis ilmiah sering
mengatakan agama dilandaskan pada asumsi apriori atau “keyakinan”,
sedangkan sains tidak mau menerima begitu saja segala sesuatu sebagai benar.
Menurut kaum saintis, memandang agama terlalu bersandar pada imajinasi yang
liar, sedangkan sains bertumpuk pada fakta yang dapat diamati. Agama terlalu
emosional, penuh gairah dan subjektif, sedangkan sains berusaha untuk tidak
memihak, tidak terlalu bergairah, dan objektif .
Jadi, pertautan antara keduanya tidak dengan mudah dapat dilakukan.
Keduanya memiliki perbedaan mendasar sehingga upaya menyandingkan keduanya
dalam satu ”kotak” tentu akan memicu beberapa persoalan, terutama terkait dengan
benturan-benturan konseptual, metodologis dan ontologis antara ”sains” dan
”agama”. Secara tegas dapat dikatakan, bahwa dalam sejarah, sikap
”ekspansionis” agama maupun ”sains” menolak pengaplingan wilayah masing-masing.
Keduanya sulit dipaksa berdiam dalam kotak-kotak tertentu, tetapi ingin
memperluas wilayah signifikansinya ke kotak-kotak lain. Maka, ketika satu
”kotak” didiami oleh dua entitas ini, terbukalah peluang terjadinya konflik
antara keduanya.
Pendekatan kontras, suatu pernyataan bahwa tidak ada
pertentangan yang sungguh-sungguh, karena agama dan sains memberi tanggapan
terhadap masalah yang sangat berbeda. Banyak ilmuwan dan agamawan (teolog)
tidak menemukan adanya pertentangan antara agama dan sains. Menurut kubu
kontras, ”agama” dan ”sains” sangatlah berbeda sehingga secara logis tidak
mungkin ada konflik di antara keduanya. Agama dan sains sama-sama absah (valid)
meskipun hanya dalam batas ruang penyelidikan mereka sendiri yang sudah jelas.
Kita tidak boleh menilai agama dengan tolok ukur sains, begitu juga sebaliknya,
oleh karena itu keduanya harus dipisahkan antara satu dan lainnya. Jika agama
dan sains sama-sama mencoba untuk mengerjakan pekerjaan yang sama, tentu saja
mereka akan bertentangan. Sains dan agama benar-benar mempunyai tugas-tugas
yang tidak sama dan tetap menjaga agar sains dan agama berada dalam wilayah
yurisdiksinya masing-masing. Jadi, agama dan sains tidak
perlu mencampuri urusan satu sama lain.[15]
Pendekatan Kontak, suatu pendekatan yang
mengupayakan dialog, interaksi dan kemungkinan adanya ”penyesuaian” antara
sains dan agama, dan terutama mengupayakan cara-cara bagaimana sains ikut
mempengaruhi pemahaman religius dan teologis. Cara untuk menghubungkan agama
dengan sains, sebab Haught, tidak rela membiarkan dunia ini terpilah-pilah
menjadi dua ranah (dikotomik). Tetapi ia juga tidak setuju pada harmoni
yang dangkal dalam pendekatan peleburan. Maka menurutnya, pendekatan ini setuju
bahwa sains dan agama jelas berbeda secara logis dan linguistik, tetapi dalam
dunia nyata, mereka tidak dapat dikotak-kotakan dengan mutlak, sebagaimana
diandaikan oleh kubu pendekatan kontras. Kata Haught, bagaimanapun di dunia
Barat, agama telah membantu membentuk sejarah sains, dan pada gilirannya
kosmologi ilmiah pun telah mempengaruhi teologi.
Pendekatan kontak mengemukakan bahwa pengetahuan ilmiah dapat memperluas
”cakrawala keyakinan relegius” dan bahwa perspektif keyakinan religius dapat
memperdalam pemahaman kita tentang alam semesta. Memang sains, tidak berusaha
membuktikan kebenaran tuhan berdasarkan sains, tetapi sudah merasa puas kalau
menafsirkan penemuan-penemuan ilmiah di dalam kerangka makna keagamaan. Begitu
juga agama, tidak berusaha untuk menopang ajaran-ajaran keagamaan dengan
mengacu pada konsep-konsep ilmiah yang pada permukaannya, boleh jadi menunjuk
secara langsung kepada desainer Ilahi. Untuk itu, agama dan sains harus saling
berbagi secara timbal-balik dalam keterbukaan secara kritis terhadap apa yang
nyata. Dengan dasar inilah, akan menjadi landasan bagi adanya ”kontak” sejati
antara sains dan agama.
Pendekatan Konfirmasi, suatu perspektif yang lebih
tenang, tetapi sangat penting, perspektif ini menyoroti cara-cara agama, pada
tataran yang mendalam, mendukung dan menghidupkan segala kegiatan ilmiah.[16] Pendekatan konfirmasi, menyarankan agama dan sains agar saling
mengukuhkan. Artinya, agama dapat memainkan peran dalam pengembangan sains yang
lebih bermakna. Begitu pula, temuan-temuan sains dapat memperkaya dan memperbarui pemahaman teologis.
Dengan demikian, posisi “agama memperkuat dorongan yang dapat memunculkan
sains. Agama dengan suatu cara yang sangat mendalam, mendukung seluruh upaya
kegiatan ilmiah”. Maka dapat dikatakan bahwa, “pendekatan konfirmasi adalah
“memperkuat” atau “mendukung”. Jadi, agama dapat mendukung sepenuhnya dan
bahkan melandasi upaya ilmiah dalam memberi makna kepada alam semesta.
Haught, mengatakan iman dalam artian kepercayaan mendasar akan rasionalitas
yang luas dari realitas, tidaklah bertentangan dengan sains, melainkan justru
merupakan sumbernya. Sains, sebagaimana halnya semua pengetahuan manusia,
mempunyai apa yang oleh Michael Polanyi menyebutnya sebagai aspek ”kepercayaan”
(fuduciary), dari kata Latin, fideo yang artinya mempercayai[17]. Maka tanpa unsur kepercayaan ini, kiranya tidak bakal
ada juga rangsangan untuk mengupayakan kebenaran melalui sains.
Keempat pandangan Haught ini, dapat dilihat sebagai semacam tipologi
seperti yang dibuat Berbour, tetapi Haught sendiri, melihatnya semacam ”perjalanan”.
Tetapi secara lebih spesifik, Smith, menyebut upaya-upaya para ilmuwan
”teologi” tersebut sebagai ”kolonialisasi teologi oleh sains”.[18]
Konflik antara sains dan agama yang terjadi akibat pengaburan batas-batas
sains dan agama, sebab keduanya dianggap bersaing dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang sama, sehingga orang harus memilih salah satunya.
Maka dari pandangan Haught ini, langkah pertama yang harus dilakukan adalah
“menarik garis pemisah secara jelas sebagai penunjuk kontras keduanya. Langkah
berikutnya, setelah perbedaan kedua bidang itu jelas, baru dapat dilakukan
kontak. Langkah ini didorong oleh dorongan psikologis yang kuat bahwa
bagaimanapun bidang ilmu yang berbeda-beda perlu dibuat koheren.
Pada posisi ini, implikasi teologi teori ilmiah ditarik ke wilayah
teologis, bukan untuk “membuktikan” doktrin keagamaan, melainkan sekedar menafsirkan
temuan ilmiah dalam kerangka makna keagamaan demi memahami teologi dengan lebih
baik. Dasar dari pandangan ini adalah keyakinan bahwa apa yang dikatakan sains
mengenai alam memiliki relevansi dengan pemahaman keagamaan[19].
Pandangan dan gerakan Haught, melangkah lebih jauh pada konfirmasi
dengan upaya mengakarkan sains beserta asumsi metafisisnya pada
pandangan dasar agama mengenai realitas yang setidaknya dalam tiga agama monoteistik
(Yahudi, Kristen, dan Islam) pada dasarnya berakar pada Wujud yang disebut
“tuhan”. Maka, asumsi metafisis sains yang disebut Haught di antaranya bahwa
alam semesta adalah suatu “keteraturan” (“tertib wujud”) yang rasional.
Menurut Haught, tanpa ini sains sebagai upaya pencarian intelektual tak dapat
melakukan langkah pertamanya sekalipun.
Pandangan ini, dapat dibayangkan semacam “premis awal” aristotelian
yang sifatnya apriori, yang diperlukan untuk menggerakkan silogisme pertama.
Maka, bagi kaum beragama, “premis awal” ini merupakan objek “keimanan”.
Seorang fisikawan muslim, Mehdi Golshani yang pandangannya dalam soal
“strategi” pemaduan sains dan agama, tampaknya memiliki kesamaan dengan Haught
yang berteologi Kristen, meskipun ada banyak perbedaan. Dalam mengemukakan pandangannya,
mereka bahkan menggunakan “metafora” yang sama “akar”. Katakan saja,
Haught, berupaya untuk “mengakarkan” sains pada pandangan agama mengenai
realitas. Bagi Golshani, ketika menyebut perbedaan antara apa yang disebutnya “Islamic
science” dan “sains sekuler”, Golshani mengatakan, ” tampak pada
wilayah-wilayah, yaitu Pertama, praanggapan metafisis dalam sains sering
kali “berakar” pada pandangan dunia “religius”. Kedua, pandangan
religius efektif dalam memberikan otoritas yang layak dari penerapan sains[20].

B. Studi Islam Kontemporer : Devine Science Dalam Studi
Filsafat Islam
Kajian tentang sumber ilmu dalam filsafat adalah masuk dalam rumpun epistemologi.
Dalam perjalanan sejarah pemikiran manusia, kajian tentang epistemologi telah
dilakukan sejak zaman Yunani kuno. Dalam dunia Islam, pembahasan tentang
epistemologi ilmu sudah dilakukan sejak masa al-Kindi (796-873 M). Secara khusus, kajian tentang epistemologi ini dilakukan dalam kajian
filsafat ilmu.[21]
Dalam kajian epistemologi di Barat,
pembahasan tentang sumber ilmu melahirkan tiga mazhab utama, yaitu
rasionalisme, empirisme dan fenomenalisme Kant.[22] Keberatan Islam terhadap ketiga
mazhab ini sebagaimana akan ditunjukkan nanti, terutama karena pengingkarannya
terhadap wahyu sebagai objek ilmu pengetahuan. Dalam Islam, kajian terhadap
sumber ilmu memadukan bahan-bahan empirikal (kealaman) dan spiritual (kewahyuan).
Pemaduan kedua bahan inilah yang akan memunculkan konsep epistemologi Islam
yang berbeda dengan konsep epistemologi Barat. Konsep tentang sumber ilmu
selanjutnya akan berimplikasi terhadap perumusan isi kurikulum dalam pendidikan
Islam. Sebagaimana disinggung di atas, kajian yang pokok tentang Devine Science
(sumber ilmu) diwakili oleh tiga mazhab utama, yaitu rasionalisme, empirisme
dan fenomenalisme Kant. Berikut dijelaskan ketiga mazhab dimaksud, baru
kemudian akan menjelaskan pandangan Islam tentang sumber pengetahuan sebagai
berikut:
a) Rasionalisme
Mazhab ini berasal dari para filosof Eropa seperti Rene Descartes
(1596-1650) dan Immanuel Kant (1724-1804), dan lain-lain yang populer disebut
sebagai teori rasional.[23] Menurut teori ini ada dua sumber bagi pengetahuan (konsepsi). Pertama, penginderaan (sensasi).
Menurut teori ini, konsepsi manusia tentang panas, cahaya, rasa dan suara
karena penginderaan terhadap hal-hal itu. Kedua,
adalah fitrah, dalam
arti bahwa akal manusia memiliki pengertian-pengertian dan konsepsi-konsepsi
yang tidak muncul dari indera, tetapi ia sudah ada dalam lubuk fitrah. Dalam pengertian yang
terakhir ini, jiwa menggali gagasan-gagasan tertentu dari dirinya sendiri. Rene
Descartes berpandangan konsepsi-konsepsi fitri ini adalah ide “tuhan”, jiwa,
perluasan dan gerak serta pemikiran-pemikiran yang mirip dengan semuanya itu
dan bersifat sangat jelas dalam akal manusia. Tetapi bagi Kant, semua
pengetahuan manusia adalah fitri, termasuk dua bentuk ruang dan waktu serta
duabelas kategori Kant.[24]
Menurut mazhab ini, indera adalah sumber pemahaman terhadap
konsepsi-konsepsi dan gagasan-gagasan sederhana. Hanya saja indera bukan
satu-satunya sumber. Di samping indera, ada fitrah
yang mendorong munculnya sekumpulan konsepsi pada akal.
Baqir Ash-Shadr pada teori rasionalis mengatakan bahwa:
Konsepsi manusia tidak mendapatkan alasan munculnya sejumlah gagasan dari
indera, karena memang ia bukan konsepsi-konsepsi inderawi, maka harus digali
secara esensial dari lubuk jiwa, dari sini jelas bahwa motif filosofis bagi
perumusan pada teori rasional akan hilang sama sekali, jika dapat
menjelaskan secara meyakinkan konsepsi mental, tanpa perlu mengandalkan gagasan
fitrah[25].
Selanjutnya menurut Harun Nasution
pada teori Descartes bahwa:
Secara metodologi ilmu pengetahuan harus mengikuti jejak ilmu pasti,
meskipun ilmu pasti bukanlah metode ilmu yang sebenarnya. Ilmu pasti hanya
boleh dipandang sebagai penerapan yang paling jelas dari metode ilmiah. Metode
ilmiah itu sendiri lebih umum. Segala konsepsi dan gagasan baru bernilai benar
jika secara metodologi dikembangkan dari intuisi yang murni (fitrah). [26]
Lebih
lanjut Harun Nasution menuturkan, teori Descartes dipengaruhi oleh berbagai
pertentangan pemikiran filsafat pada zamannya. Pertentangan ini menyebabkan ia
bersikap meragukan segala sesuatu. Dalam konteks ini hanya ada satu hal yang
tidak dapat diragukan, yaitu bahwa aku
ragu-ragu (aku meragukan segala sesuatu). Sifat meragukan ini bukan
khayalan, melainkan suatu kenyataan. Aku ragu-ragu, atau aku berpikir, dan oleh karena
aku berpikir maka aku ada (cogito ergo sum). Memang menurut
teori Descartes, apa saja yang dipikirkan bisa saja merupakan suatu khayalan,
akan tetapi bahwa kegiatan berpikir bukanlah khayalan. Dalam hal ini “tiada
seorangpun yang dapat menipu saya, bahwa saya berpikir, dan oleh karena itu di
dalam hal berpikir ini saya tidak ragu-ragu, maka aku berada.”[27]
b) Empirisme
Istilah
empirik berasal dari kata Yunani emperia,
yang berarti pengalaman inderawi. Kaum empiris telah memberi tekanan kepada empirik
(pengalaman), baik pengalaman lahiriah maupun batiniah sebagai sumber
pengetahuan. Dengan demikian, empirisme bertentangan dengan rasionalisme. Di
antara tokohnya adalah Thomas Hobbes (1588-1679) dan John Locke (1632-1704).[28]
Teori
ini berpendapat bahwa penginderaanlah satu-satunya yang membekali akal manusia
dengan berbagai konsepsi dan gagasan, dan bahwa potensi mental akal budi adalah
potensi yang tercermin dalam berbagai persepsi inderawi. Jadi ketika manusia
mengindera sesuatu, ia akan dapat memiliki suatu konsepsi tentangnya, yakni
menangkap form dari
sesuatu itu dalam akal budi. Adapun tentang gagasan-gagasan yang tidak
terjangkau oleh indera, menurut aliran ini, tidaklah dapat diciptakan oleh
jiwa, demikian pula jiwa tidak dapat membangunnya secara esensial dalam bentuk
yang berdiri sendiri.[29]Akal budi berdasarkan teori ini, hanyalah berfungsi mengelola konsepsi dan
gagasan inderawi. Hal itu dilakukan dengan cara menyusun konsepsi-konsepsi dan
membagi-baginya.
Baqir Ash-Shadr mengatakan bahwa:
Mengonsepsikan “sebungkah gunung emas” atau membagi-bagi “pohon” kepada
potongan-potongan dan bagian-bagian atau dengan abstraksi dan universalisasi,
misalnya dengan memisahkan sifat-sifat dari bentuk itu, dan mengabstraksikan
bentuk itu dari sifat-sifatnya yang tertentu agar darinya akal dapat membentuk
suatu gagasan universal. Hal ini dapat dicontohkan dengan upaya mengkonsepsikan
Zayd, dan mengurungkan setiap kekhasan yang membedakannya dari ‘Umar. Dengan
proses substraksi (pengurangan) ini, akal menyarikan suatu gagasan abstrak yang
berlaku, baik atas Zayd maupun ‘Umar[30]
Senada
dengan Baqir Ash-Shadr selanjutnya Harun
Nasution pada teori Thomas Hobbes
mengatakan bahwa, aliran empirisme di Inggris pada abad ke-17 telah membangun
suatu sistem filsafat yang lengkap mengenai “yang ada” secara mekanis, yang
menjadi pijakan dasar filsafat empirisme. Ia adalah seorang materialis pertama
dalam filsafat modern[31].
Lebih lanjut menurut Harun Nasution, segala yang ada bersifat bendawi.
Bendawi dimaksudkan ialah segala sesuatu yang tidak bergantung kepada gagasan
kita. Ia juga mengajarkan bahwa segala kejadian adalah gerak, yang berlangsung
karena keharusan. Realitas segala yang bersifat bendawi terliput di dalam
gerak itu. Segala obyektifitas di dalam dunia luar bersandar kepada suatu
proses tanpa pendukung yang berdiri sendiri. Ruang atau keluasan tidak memiliki
eksistensi atau keber-“ada”-an sendiri. Ruang justru gagasan tentang hal yang
ber-“ada” itu. Sedangkan waktu adalah gagasan tentang gerak.[32]
Konsistensi gagasannya juga terlihat dalam pandangannya tentang manusia. Ia
memandang manusia tidak lebih dari pada suatu bagian alam bendawi yang
mengelilinginya. Oleh karena itu, segala sesuatu yang terjadi pada manusia
dapat dijelaskan sebagaimana kejadian alamiah bendawi lainnya secara mekanis.
Jiwa itu sendiri menurutnya adalah kompleks dari proses-proses mekanis dalam
tubuh. Akal bukanlah pembawaan, melainkan hasil perkembangan karena kerajinan.
Seperti di singgung di atas, pengenalan atau pengetahuan diperoleh karena pengalaman.
Pengalaman adalah awal segala pengetahuan. Pengenalan dengan akal hanya
memiliki fungsi mekanis, karena pengenalan dengan akal pada hakikatnya
mewujudkan suatu proses penjumlahan dan pengurangan. Pengenalan dengan akal
dimulai dengan pemakaian kata-kata (pengertian-pengertian), yang hanya
mewujudkan tanda-tanda menurut adat-kebiasaan saja, dan yang menjadikan jiwa
manusia dapat memiliki gambaran yang diucapkan dengan kata-kata itu.
Selanjutnya, hal ini akan membentuk pengalaman (empirik). Isi pengalaman itu
adalah keseluruhan atau totalitas segala pengamatan yang disimpan di dalam
ingatan dan digabungkan dengan suatu pengharapan masa depan, sesuai dengan apa
yang telah diamati pada masa lampau.[33]
c) Fenomenalisme Kant

Dari penjelasan di atas dengan jelas terlihat bahwa syarat “adanya kuman
tipus” dan “demam tipus” mesti ada sebelum disimpulkan bahwa kuman tersebut
menyebabkan demam. Karena boleh jadi “seorang yang dalam dirinya ada kuman tipus”
tapi tidak menderita demam. Bagaimanapun, pengamatan mengungkapkan kepada kita
tentang kuman tersebut dan juga tentang orang yang sehat atau yang sakit.
Tetapi pengamatan, betapapun juga banyaknya tidak dapat menunjukkan kepada kita
kuman yang menyebabkan
penyakit tersebut. Bagaimanakah kita dapat memperoleh pengetahuan bahwa
kuman itulah yang menyebabkan penyakit tersebut. Ditinjau dari sudut pandangan
empiris, Hume menolak bahwa kita akan dapat mengetahui sebab akibat sebagai
suatu hubungan yang bersifat niscaya. Jika melihat seekor kucing dan kemudian
kita memukulnya, kita tidak dapat mengatakan bahwa kucing itulah yang
menyebabkan kita memukulnya, meskipun kita lakukan berkali-kali. Dalam kedua
peristiwa di atas tidak tampak hubungan sama sekali. Maka mengapakah kita bila
melihat kuman dan kemudian melihat orang sakit, kita lalu mengatakan bahwa
kuman itulah yang menyebabkan penyakit.
Indera hanya dapat memberikan data indera, data itu ialah warna, cita rasa,
bau, rasa dan sebagainya. Memang benar, kita mempunyai pengalaman, tetapi sama
benarnya juga bahwa untuk mempunyai pengetahuan (artinya menghubungkan
hal-hal), maka kita harus keluar dari atau menembus pengalaman, kata Kant.
Jika dalam memperoleh pengetahuan kita menembus pengalaman, maka jelaslah, dari
suatu segi pengetahuan itu tidak diperoleh melalui pengalaman, melainkan
ditambahkan pada pengalaman.
Jika orang tidak dapat membayangkan berupa apakah suatu “rasa yang
bersahaja” dengan “suatu bunyi yang kasar”, maka jelaslah bahwa data indera
yang murni tidaklah merupakan pengetahuan. Pengetahuan terjadi bila akal
menghubungkan, untuk memperoleh fakta bahwa tekanan terhadap sesuatu
menyebabkan terjadinya bunyi. Hubungan merupakan cara yang dipakai oleh akal
untuk mengetahui suatu kejadian, hubungan itu tidak alami. Hubungan ialah bentuk pemahaman kita, dan bukan isi pengetahuan.[35]
C. Human
Science Dalam Studi Filsafat Islam
Manusia menempati posisi yang sangat sentral dalam
filsafat Islam. Para filsuf muslim memandang manusia sebagai ukuran bagi semua
hal (mi’yar kulli syai), persis seperti yang dikatakan kaum filosofis
Yunani beberapa abad sebelumnya. Abd al-Karim al-Jilli
menganggapnya sebagai ‘makhluk sempurna’ (insan kamil), sementara Ibn
Arabi memandangnya sebagai ‘pusat alam raya’ (markaz al-kawn). Berbeda
dengan teologi yang mempertentangkan antara tuhan dan manusia, filsafat Islam
menganggap manusia sebagai perluasan dari wujud tuhan. Al-Farabi memandang
manusia sebagai kulminasi dari proses emanasi (al-fayd) yang ruwet.
Manusia tidak diciptakan seperti kita menciptakan kendi dari tanah liat, tapi
melewati proses kontemplasi akal murni dari satu jenjang ke jenjang lain.[36]
Akal adalah daya (quwwah)
yang membedakan manusia dari makhluk lain. Dengan akalnya manusia mampu
mengetahui yang baik dan yang buruk, yang salah dan yang benar. Dengan akalnya
pula manusia berusaha mencari kesenangan dan kebahagiaan. Menurut al-Farabi,
kebahagiaan yang sempurna tidak bisa diwujudkan secara individual, tapi harus
melibatkan orang lain. Secara alamiah, manusia adalah makhluk sosial yang
saling bekerjasama dan tolong-menolong untuk merealisasikan kebahagiaan itu.[37]
a) Fasilitas/Alat Mendapatkan Ilmu
Dalam
al-Qur`an dijumpai 49 kali kosa kata yang berakar kata a-q-l dalam berbagai bentuk.
Sebarannya sebagai berikut: kata (‘aqaluh)
dijumpai dalam 1 ayat, kata (ta’qilun)
24 ayat, (na’qil) 1
ayat, (ya’qiluha) 1
ayat, dan (ya’qilun)
22 ayat. Makna kosa kata itu dalam arti paham dan mengerti. Sebagai contoh
dapat dilihat pada ayat-ayat berikut:
tbqãèyJôÜtGsùr& br& (#qãZÏB÷sã öNä3s9 ôs%ur tb%x. ×,Ìsù öNßg÷YÏiB tbqãèyJó¡o zN»n=2 «!$# ¢OèO ¼çmtRqèùÌhptä .`ÏB Ï÷èt/ $tB çnqè=s)tã öNèdur cqßJn=ôèt ÇÐÎÈ
Artinya
: Maka apakah
kamu (muslimin) sangat mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, sedangkan
segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah
memahaminya, padahal mereka mengetahuinya.
(Al-Baqarah/2: 75)[38]
óOn=sùr& (#rçÅ¡o Îû ÇÚöF{$# tbqä3tGsù öNçlm; Ò>qè=è% tbqè=É)÷èt !$pkÍ5 ÷rr& ×b#s#uä tbqãèyJó¡o $pkÍ5 ( $pk¨XÎ*sù w yJ÷ès? ã»|Áö/F{$# `Å3»s9ur yJ÷ès? Ü>qè=à)ø9$# ÓÉL©9$# Îû ÍrßÁ9$
Artinya: Maka tidak pernahkah mereka berjalan di bumi, sehingga hati dan
(akal) mereka dapat memahami, telinga mereka dapat mendengar? Sebenarnya bukan
mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada. (Al-Hajj/22: 46) [39]
Dalam
lisan al-‘Arab dijelaskan bahwa al-‘aql
berarti al-hijr (menahan)
dan al-āqil adalah
orang yang menahan diri (yahbis)
dan mengekang hawa nafsu. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa al-‘aql mengandung arti
kebijaksanaan (al-nuhā),
lawan dari lemah pikiran (al-humq).
Al-‘aql juga
mengandung arti al-qalb
(kalbu). Lebih lanjut disebutkan bahwa kata ‘aqala
mengandung arti memahami.
Menurut
Harun Nasution, kata ‘aqala
bermakna mengikat dan menahan. Orang yang āqil
di zaman Jahiliyah, dikenal dengan hammiyah atau darahnya
panas adalah orang yang dapat menahan amarahnya dan karenanya
dapat mengambil sikap dan tindakan yang berisi kebijaksanaan dalam mengatasi
masalah yang dihadapinya.[40]
Dari
keseluruhan kosa kata yang berakar pada a-q-l
bahwa al-‘aql adalah
fakultas manusia yang berfungsi untuk mengerti atau memahami sesuatu. Al-‘aql (rasio) dalam ayat-ayat di atas tidak dibicarakan dalam
konteks sumber ilmu tetapi dalam konteks alat yang darinya manusia memperoleh
ilmu. Keseluruhan ayat-ayat al-Qur`an yang memiliki akar kata a-q-l, tidak satu pun ayat yang
menyebut akal sebagai kata benda, semuanya dalam bentuk kata kerja (fi’il).
Baharuddin
mengatakan bahwa:
‘Aql bukanlah
suatu substansi (jauhar)
yang bereksistensi, melainkan aktivitas dari suatu substansi. Jika dipahami
demikian, akan mengandung suatu pertanyaan, yaitu substansi apakah yang berakal
itu. Pertanyaan itu dapat dikembalikan kepada al-Qur`an. Dalam ayat lain
dijelaskan bahwa substansi yang mampu ber‘aql
itu adalah qalb.
b)
Indera
Dalam Al-Qur`an alat indera
yang beraktifitas dan berfungsi bagi manusia dalam memperoleh pengetahuan
adalah al-sam’ dan al-absar. Kata al-sam’ dan berbagai kata
jadiannya disebut 185 kali, sedangkan kata al-sam’
sendiri dijumpai 12 kali dalam al-Qur`an.[41]
Kata al-absar
dan berbagai kata jadiannya disebut 148 kali. Sementara kata al-absar disebut 18 kali. Di
antara ayat-ayat yang mengandung kosa kata al-sam’
sebagai berikut:

ö@è% `tB Nä3è%ãöt z`ÏiB Ïä!$yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur `¨Br& à7Î=ôJt yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur `tBur ßlÌøä ¢yÛø9$# z`ÏB ÏMÍhyJø9$# ßlÌøäur |MÍhyJø9$# ÆÏB ÇcyÛø9$# `tBur ãÎn/yã zöDF{$# 4 tbqä9qà)u|¡sù ª!$# 4 ö@à)sù xsùr& tbqà)Gs? ÇÌÊÈ
Artinya:
Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan
bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan
siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan mengeluarkan yang
mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka
akan menjawab, “Allah.” Maka katakanlah, “Mengapa kamu tidak bertakwa
(kepada-Nya)?” (Yunus/10: 31)[42].
ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& w cqßJn=÷ès? $\«øx© @yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur öNä3ª=yès9 crãä3ô±s? ÇÐÑÈ
Artinya: Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatupun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati
nurani, agar kamu bersyukur. (An-Nahl/16: 78)[43]
Berdasarkan penelusuran terhadap ayat-ayat al-Qur`an yang memiliki kosa
kata al-sam’ dan al-absar dapat dijelaskan bahwa
kemampuan mendengar karena manusia diberikan alat berupa telinga (uzun) dan kemampuan melihat
karena manusia diberikan alat berupa mata (‘ain).
Mata, yang memiliki kemampuan melihat, bisa saja tidak memberi manusia
pengetahuan, oleh karena qalbu-nya
tidak paham (buta). Sesuatu yang jelas terlihat bahwa bagi al-Qur`an, al-sam’ dan al-basr adalah aktifitas.
c) Hati (Fuad)
Kata fu`ad dan yang seakar kata
dengannya tersebar dalam 16 ayat. Semuanya dalam bentuk kata
benda, yakni al-fu`ad
dan al-af`idah.[44] Mahmud Yunus mengartikannya sebagai hati atau akal.[45] Kedua kata ini seakar dengan fa`idah (jamak: fawa`id)
artinya faedah atau guna. Makna yang dapat ditarik dari penggunaan al-Qur’an
terhadap kata al-fu`ad
dan al-af`idah adalah
bahwa al-fu`ad
memiliki fungsi akal (memahami, mengerti), sama dengan al-qalb. Secara tekstual, Allah
menceritakan yang bermakna Nabi Saw dengan mendengarkan kisah-kisah Rasul
terdahulu. Lalu dengan kisah-kisah itu menjadi kuat fu`ad (hati) Nabi. Dengan al-fu’ad itu berarti Nabi
mendapatkan makna atau hikmah sejarah.
Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa al-fu`ad
merupakan sentral dan pengendali bagi aktifitas al-‘aql dan al-qalb
dalam menetapkan pengetahuan yang benar, baik dan berguna bagi manusia. Secara
umum, bagi al-Qur`an indera dalam dan luar manusia seperti al-‘aql, al-qalb, al-fu’ad, al-sam’,
al-absar adalah alat untuk memperoleh ilmu
pengetahuan. Dan obyek
pengetahuan adalah ayat-ayat Allah baik yang qauliyah/tanziliyah
maupun yang kauniyah. Berbeda
sekali dengan perspektif Barat yang memandang bahwa akal dan indera sebagai
fakultas yang memberi manusia pengetahuan. Ilmuan Barat berpandangan demikian dikarenakan
hirarki pengetahuan mereka hanya berhenti pada tataran empirikal. Asumsi-asumsi
teologis metafisis telah terputus dari epistemologi keilmuan Barat, sejalan
dengan pandangan humanis mereka yang sekuler-ateistik. Selanjutnya kajian
sumber ilmu dalam Islam, tepatnya kajian tentang epistemologi ilmu telah
dilakukan sejak zaman klasik Islam. Kemudian, untuk masa yang lama
terhenti kajian berlanjut di Barat yang
hingga kini memasuki abad modern. Ilmuan klasik, Al-Kindi menyebutkan ilmu
terbagi dua yaitu ‘ilm ilāhiy
(divine science)
dan ‘ilm insaniy (human science). ‘Ilm Ilahiy adalah pengetahuan
langsung yang diperoleh dari Nabi dan Tuhan. Dasar pengetahuan seperti ini ialah
keyakinan. Sedangkan ‘ilm insaniy
adalah pengetahuan yang diperoleh dari manusia dan alam. Dasar
pengetahuan yang disebut terakhir adalah pemikiran (ratio-reason).[46] Abu Hamid al-Gazali (w. 1111
M) membagi ilmu terkesan tidak jelas. Dalam Mizan
al-Amal, ia membagi ilmu kepada teoritis (nazariyyah) dan praktis (‘amaliyah).[47] Pada buku lainnya, ia membagi ilmu kepada fardu ‘ain dan fardu
kifayah. Di
sisi lain, ia membagi ilmu kepada ilmu religius (syar’iyyah) dan intelektual (‘aliyah). Al-Gazali juga membagi ilmu kepada hudluri (yang dihadirkan) dan hushuli (yang dicapai). Dari
pembagian ini, nampak dengan jelas bahwa al-Gazali memandang bahwa sumber ilmu
yang utama adalah wahyu ilahi dan sumber kedua adalah pengalaman (empirik).
Mahdi Ghulsyani menyebutkan, secara hakiki al-Qur`an sebagai sumber ilmu,
prinsip ilmu, yang telah dijelaskan dan yang belum dispesifikasikan, bukan di
luar al-Qur`an. Seluruh ilmu ini di raih dari salah satu lautan
pengetahuan-Nya, yaitu lautan karya-Nya. Telah disebutkan bahwa al-Qur`an itu
laksana lautan yang tak bertepi, dan bahwa sekiranya lautan itu menjadi tinta
(untuk menjelaskan) kata-kata Tuhanku, sungguh lautan itu akan habis sebelum
kata-kata Tuhan itu berakhir. Di antara perbuatan Allah yang (karena
keluasannya dapat disebut) lautan perbuatan-Nya, misalnya adalah menyembuhkan
dan menimbulkan penyakit, sebagaimana Allah menceritakan ucapan Ibrahim yang
mengatakan, “Ketika aku sakit
Dia-lah yang menyembuhkan aku… Perbuatan ini saja hanya dapat
diketahui oleh orang yang mengetahui ilmu obat-obatan dengan sempurna, karena
ilmu ini tidak berarti apa-apa selain pengetahuan .

[1] M. Amin Abdullah,”Etika Tauhid Sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi
Keilmuan Umum dan Agama (Yogyakarta:
Pilar Relegia Press 2004) h. 3.
[2]John F. Haught, Science and Relegion, From Conflict to Conversation,
Pulist Press, New York. terj. Fransiskus Borgias, Perjumpaan Sains dan
Agama, dari Konflik ke Dialog, (Bandung: Mizan, 2004) h. 2
[3]Zainal Abidin Bagis, Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi, (Bandung: Mizan, 2005), h 19.
[4] Mehdi Golshani, Issues
in Islam and Science, Institute for Humanities and Cultural Studies
Teheran, Iran, terj. Ahsin Muhammad, Melacak Jejak Tuhan dalam Sains, Tafsir
Islami atas Sains, (Bandung:
Mizan, 2004) h. 11.
[5]Mehdi Golshani, Issues in
Islam and Science, Institute for Humanities and Cultural Studies Teheran,
Iran, terj. Ahsin Muhammad, Melacak Jejak Tuhan dalam Sains, Tafsir Islami
atas Sains , h 12
[6]Mehdi Golshani, Issues in
Islam and Science, Institute for Humanities and Cultural Studies Teheran,
Iran, h.12.
[7]Ian Barbour, When Science Meets Relegion: Enemies, Strangers, or
Partuers, terj. E.R. Muhammad, Juru Bicara Tuhan antara Sains dan Agama,
(Bandung: Mizan, 2002) h. 44.
[9] Ian
Barbour, When Science Meets Relegion: Enemies, Strangers, or Partuers,
terj. E.R. Muhammad, Juru Bicara Tuhan antara Sains dan Agama, h. 44
[10] Ian
Barbour, When Science Meets Relegion: Enemies, Strangers, or Partuers,
terj. E.R. Muhammad, Juru Bicara Tuhan antara Sains dan Agama, h 45
[11] Ian
Barbour, When Science Meets Relegion: Enemies, Strangers, or Partuers,
terj. E.R. Muhammad, Juru Bicara Tuhan antara Sains dan Agama, h. 42
[14]John F. Haught,”Science
and Relegion, From Conflict to Conversation, Pulist Press, New York., terj.
Fransiskus Borgias,Perjumpaan Sains dan Agama, dari Konflik ke Dialog,
(Bandung: Mizan, 2004) h. 1.
[15] John F. Haught,”Science
and Relegion, From Conflict to Conversation, Pulist Press, New York., terj.
Fransiskus Borgias,Perjumpaan Sains dan Agama, dari Konflik ke Dialog,
h. 8
[16] John F. Haught,”Science
and Relegion, From Conflict to Conversation, Pulist Press, New York., terj.
Fransiskus Borgias,Perjumpaan Sains dan Agama, dari Konflik ke Dialog, h.
2
[17]Michael Polanyi, Personal
Knowledge: Towards a Post-Critical Philosophy,(New York: Harper Torchbooks, tth) h. 299
[18]Huston Smith, Why
Religion Matters, terj. Ajal Agama di Tengah Kedigdayaan Sains,
(Bandung: Mizan 2003), h. 75.
[19] John F. Haught,”Science
and Relegion, From Conflict to Conversation, Pulist Press, New York., terj.
Fransiskus Borgias,Perjumpaan Sains dan Agama, dari Konflik ke Dialog,
h 19
[20] Mehdi Golshani, Issues
in Islam and Science, Institute for Humanities and Cultural Studies
Teheran, Iran, terj. Ahsin Muhammad, Melacak Jejak Tuhan dalam Sains, Tafsir
Islami atas Sains, h. 48.
[21] Amsal Bakhtiar, Filsafat
Ilmu, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008). h. 107.
[22] Louis O. Kattsof, Pengantar
Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1996) h. 142.
[23] Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna.
Terj. M. Nur Mufid bin Ali (Bandung: Mizan, 1993), h. 28.
[26] Harun Nasution Akal dan Wahyu
dalam Islam. (Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia UI- Press, tth) h. 20.
[27] Harun Nasution Akal dan Wahyu
dalam Islam, h 21
[28] Juhaya S. Praja, Aliran-aliran
Filsafat dan Etika, (Jakarta: Kencana, 2008) h. 105
[34] Kattsof, Louis O. Pengantar Filsafat. (Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 1996).h 142
[35] Kattsof, Louis O. Pengantar Filsafat, h. 143
[38] Dep. Agama RI, Al-Qur`an
dan Terjemahnya, (Bandung: Syaamil Al-Qur`an, tth), h. 11.
[42]Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahan,
(Semarang: Toha putra 2012) h. 169.
[44]Abd al-Baqy, Muhammad Fuad. Al-Mu’jam
al-Mufahras li al-Faz al-Qur`an al-Karim. Kairo: Dar al-Hadis, 1422
H/2001 M. h 621/2
[45] Mahmud Yunus, Kamus
Arab-Indonesia, ( Jakarta: Hidakarya Agung) h. 306.
[46] Harun Nasution, Falsafat dan
Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990). h. 15.
[47]Al-Gazali, Abu Hamid. Mizan
al- amal. (Kairo: Silsilah Saqafat Islamiyah, tth). h 37
0 komentar:
Posting Komentar