Kamis, 23 Oktober 2014

BAB III INTEGRASI ISLAM (AGAMA) DAN FILSAFAT (SAINS)


BAB III
INTEGRASI ISLAM (AGAMA) DAN FILSAFAT  (SAINS)

   
A.   Integrasi Islam (Agama ) dan Filsafat (Sains)
Ketika kita mendengar kata ”sains” dan ”agama, serta merta orang akan berpikir akan sejarah hubungan seru di antara keduanya. Dalam catatan sejarah perjumpaan agama dengan sains tidak hanya berupa pertentangann belaka, tetapi juga orang berusaha untuk mencari hubungannya antara keduanya pada posisi yaitu sains tidak mengarahkan agama kepada jalan yang dikehendakinya dan agama juga tidak memaksanakan sains untuk tunduk pada kehendaknya. Memang, science and religion merupakan wacana yang selalu menarik perhatian di kalangan intelektual. Hingga kini, masih saja ada anggapan yang kuat dalam masyarakat luas yang mengatakan bahwa ”agama”dan ”ilmu” adalah dua entitas yang tidak dapat dipertemukan. Keduanya mempunyai wilayah masing-masing, terpisah antara satu dan lainnya, baik dari segi objek formal material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan. Ungkapan lain, ilmu tidak memperdulikan agama dan agamapun tidak memperdulikan ilmu[1].
Banyak pemikir yang sangat yakin bahwa agama tidak akan pernah dapat didamaikan dengan sains. Menurut mereka, apabila saudara seorang ilmuwan, sulitlah membayangkan bagaimana saudara secara jujur dapat serentak ”saleh-beriman”, setidak-tidaknya dalam pengertian percaya akan tuhan.Alasan utama mereka bahwa agama jelas-jelas ”tidak dapat membuktikan” kebenaran ajaran-ajarannya dengan tegas, sedangkan apakah sains dapat melakukan hal itu, yaitu dapat membuktikan kebenaran temuannya.[2] Persoalan yang muncul sekarang adalah bagaimana memadukan sains dan agama. Pemaduan dan seperti apa yang dapat dilakukan. Dalam wacana sains dan agama, integrasi dalam artian generiknya sebagai upaya memadukan sains dan agama. J.Sudarminta,  misalnya, pernah mengajukan apa yang disebutnya ”integrasi yang valid”, tetapi pada kesempatan lain mengkritik ”integrasi yang naif” istilah yang digunakannya untuk menyebut kecenderungan pencocok-cocokan secara dangkal ayat-ayat kitab suci dengan temuan-temuan ilmiah[3].
Apakah agama bertentangan dengan sains?
Sains dan agama bukan merupakan isu baru dan bahkan banyak pemikir yang yakin bahwa agama tidak akan pernah dapat didamaikan dengan sains[4]. Pertarungan antara sains dan agama seolah-olah tak pernah berhenti. Katakan saja, di satu pihak ada kelompok saintis yang tak pernah dianggap sebagai intelektual. Tetapi kerjanya yang berpijak pada dunia empiris secara nyata yang telah mengubah dunia seperti yang kita lihat sekarang ini. Sementara di sisi lain, para agamawan yang dikategori sebagai kelompok tradisional, mengklaim dan menyebut dirinya sebagai kaum yang berhak berbicara semua hal tentang kebenaran. Kedua kelompok tersebut seolah-olah tak pernah berhenti untuk saling klaim bahwa merekalah yang berhak menentukan kehidupan.
Agama dan sains, merupakan dua bagian penting dalam kehidupan sejarah umat manusia. Bahkan pertentangan antara agama dan sains tak perlu terjadi jika kita mau belajar mempertemukan ide-ide spiritualitas agama dengan sains yang sebenarnya sudah berlangsung lama. Kerinduan akan tersintesisnya agama dan sains pernah diurai Charles Percy Snow dalam ceramahnya di Universitas Cambridge yang dibukukan dengan judul The Two Cultures yang menyorot kesenjangan antar budaya, yaitu antara kelompok agamawan yang mewakili budaya literer dan kelompok saintis yang mewakili budaya ilmiah[5].
Pihak skeptis ilmiah selalu menuduh bahwa agama hanya bergantung pada asumsi-asumsi apriori atau sesuatu yang hanya didasarkan pada keyakinan. Selain itu, kelompok sains juga tidak dapat menerima begitu saja segala sesuatu sebagai kebenaran. Kaum teolog (agamawan) kemudian banyak menuai kritik karena terlalu bertumpu pada “imajinasi liar”, sementara para saintis harus berdasarkan fakta secara empiris. Ini adalah tantangan yang dihadapi dan apabila “pemahaman yang kurang tepat mengenai persoalan ini dapat menjebak umat beragama pada upaya-upaya yang tak produktif atau bahkan kontra produktif”[6].
Selain itu, beberapa kritik menunjukkan bahwa hubungan sains dengan agama terlalu komplek dan terlalu bebas-konteks untuk dihimpun di bawah skema klasifikasi mana pun. Mereka mengklaim bahwa interaksi di antara keduanya sangatlah beragam di sepanjang periode sejarah yang berbeda dan disiplin ilmu yang berbeda untuk menunjukkan pola-pola umum manapun[7]. Kaum materialisme dan literalisme biblikal sama-sama mengklaim bahwa “sains” dan “agama” memberikan pertanyaan yang berlawanan dalam domain yang sama sehingga orang harus memilih satu di antara dua. Mereka percaya bahwa orang tidak dapat mempercayai evolusi dan tuhan sekaligus. Memang perkembangan selama ini, menunjukkan bahwa sains didominasi oleh aliran positivisme, sebuah aliran yang sangat menuhankan metode ilmiah dengan menempatkan asumsi-asumsi metafisis, aksiologis dan epistemologis. Penganut aliran ini mengatakan bahwa sains mempunyai reputasi tinggi untuk menentukan kebenaran dan sains merupakan “dewa” dalam beragam tindakan (sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain). Sedangkan menurut mereka, agama hanyalah merupakan hiasan belaka ketika tidak sesuai dengan sains, begitu kira-kira kata kaum positivisme.
Dengan demikian, upaya untuk menghubungkan dan memadukan antara sains dan agama, tak harus berarti menyatukan atau bahkan mencampuradukkan, karena identitas atau watak dari masing-masing kedua identitas itu tak mesti hilang, atau sebagian orang bahkan akan berkata, harus tetap dipertahankan. Jika tidak, mungkin saja yang diperoleh dari hasil hubungan itu “bukan ini dan bukan itu”, dan tak jelas lagi apa fungsi dan manfaatnya. Integrasi yang diinginkan adalah integrasi yang “konstruktif”, hal ini dapat dimaknai sebagai suatu upaya integrasi yang menghasilkan konstribusi baru untuk sains dan agama yang dapat diperoleh jika keduanya terpisahkan[8].
Ian G. Barbour, membahas tentang hubungan sains dan agama. Menurut fisikawan-cum-agamawan, dalam bukunya, Juru Bicara Tuhan antara Sains dan Agama dari judul asli When Science Meets Relegion: Enemies, Strangers, or Partuers menerangkan bahwa perpaduan antara sains dan agama merupakan salah satu tipologi. Ian G. Barbour, mengusulkan empat hubungan yaitu konflik, perpisahan, dialog  perbincangan dan integrasi perpaduan[9]. Pententangan antara sain dan agama menurut Ian G. Barbour, adalah hubungan yang bertelingkah dan dalam kasus yang ekstrim bahkan bermusuhan. Perpisahan berarti ilmu dan agama berjalan sendiri-sendiri dengan bidang garapan, cara, tujuannya masing-masing tanpa saling mengganggu atau memperdulikan. Dialog atau perbincangan ialah hubungan yang saling terbuka dan saling menghormati, karena kedua belah pihak ingin memahami persamaan dan perbedaan mereka. Perpaduan atau integrasi adalah hubungan yang bertumpu pada keyakinan bahwa pada dasarnya kawasan telaah, rancangan penghampiran, dan tujuan ilmu dan agama adalah sama dan satu[10].
Perpaduan menurut Ian G. Barbour, dapat diusahakan dengan bertolak dari sisi ilmu, atau dari sisi agama. Alternatifnya adalah berupaya menyatukan keduanya di dalam bingkai suatu sistem kefilsafatan, misalnya Process Philosophy. Maka Barbour sendiri secara pribadi cenderung mendukung usaha penyatuan melalui Theology of Nature yang digabungkan dengan penggunaan Process Philoshofy secara berhati-hati. Selain itu, Barbour, juga sepakat dengan pendekatan dialog atau perbincangan. Akan tetapi tidak jelas apakah dukungannya terhadap perpaduan atau integrasi lebih kuat, atau apakah pandangannya justru lebih berat pada dialog atau perbincangan.

Bagaimana mengintegrasikan ”sains dan agama”?

Wacana integrasi antara sains dan agama sudah cukup lama. Walaupun tak selalu menggunakan kata “integrasi” secara eksplisit. Katakan saja, di kalangan muslim modern gagasan perlunya pemaduan sains dan agama, atau akal dan wahyu (iman), telah cukup lama beredar. Cukup popular juga di kalangan muslim pandangan bahwa pada masa kejayaan sains dalam peradaban Islam, ilmu dan agama telah integrated. Bagi kalangan Kristen kontemporer, pendekatan “integrasi” dipopulerkan oleh Ian G. Barbour, yang menyebut salah satu dari empat tipologi hubungan sains-agama dengan “integrasi”[11]. Teolog-cum-fisikawan Kristen ini dianggap sebagai salah seorang peletak dasar wacana sains dan agama yang berkembang di Barat, tetapi pengaruhnya telah menyebar berkat penerjemahan buku-bukunya, termasuk di Indonesia[12].
Dari empat pandangan tipologi di atas, Ian G. Barbour lebih berpihak pada dua pandangan terakhir dan khususnya integration. Lebih khusus lagi, integrasi Barbour adalah integrasi teologis. Teori-teori ilmiah mutakhir dicari implikasi teologinya, lalu suatu teologi baru dibangun dengan memperhatikan teologi tradisonal sebagai salah satu sumbernya. Dengan demikian, “integrasi” ala Barbour, memiliki makna yang sangat spesifik, yang bertujuan menghasilkan suatu reformasi teologi dalam bentuk theology of nature. Barbour, membedakannya dari natural theory, yang tujuan utamanya untuk membuktikan kebenaran agama berdasarkan temuan-temuan ilmiah. Ketika berbicara tentang agama, perhatian Barbour nyaris terbatas pada teologi. Dan ketika berbicara tentang sains, perhatiannya terutama tertumpu pada isi teori-teori paling mutakhir dalam ilmu alam.[13]
Pandangan yang mirip tetapi tak sama dengan Ian G. Barbour, yaitu John F. Haught, yang membagi pendekatan sains dan agama, menjadi pendekatan konflik, pendekatan kontras, pendekatan kontak, dan pendekatan konfirmasi. Keempat pandangan ini dapat dilihat sebagai semacam tipologi seperti yang dibuat Barbour, tetapi Haught juga melihatnya sebagai semacam perjalanan. Untuk itu, secara singkat membahas empat pemikiran Haught tentang hubungan sains dan agama, sebagai berikut :
Pendekatan Konflik, suatu keyakinan bahwa pada dasarnya sains dan agama tidak dapat dirujuk atau dipadukan, banyak pemikir (saintis) yang memandang bahwa agama tidak akan pernah dapat didamaikan dengan sains. Masing-masing berada pada posisi yang berbeda, sains menguji semua hipotesis dan semua teorinya berdasarkan pengalaman, sedangkan agama berdasarkan keyakinan[14].
 Kaum skeptis ilmiah sering mengatakan agama dilandaskan pada asumsi apriori atau “keyakinan”, sedangkan sains tidak mau menerima begitu saja segala sesuatu sebagai benar. Menurut kaum saintis, memandang agama terlalu bersandar pada imajinasi yang liar, sedangkan sains bertumpuk pada fakta yang dapat diamati. Agama terlalu emosional, penuh gairah dan subjektif, sedangkan sains berusaha untuk tidak memihak, tidak terlalu bergairah, dan objektif .
Jadi, pertautan antara keduanya tidak dengan mudah dapat dilakukan. Keduanya memiliki perbedaan mendasar sehingga upaya menyandingkan keduanya dalam satu ”kotak” tentu akan memicu beberapa persoalan, terutama terkait dengan benturan-benturan konseptual, metodologis dan ontologis antara ”sains” dan ”agama”. Secara tegas dapat dikatakan, bahwa dalam sejarah, sikap ”ekspansionis” agama maupun ”sains” menolak pengaplingan wilayah masing-masing. Keduanya sulit dipaksa berdiam dalam kotak-kotak tertentu, tetapi ingin memperluas wilayah signifikansinya ke kotak-kotak lain. Maka, ketika satu ”kotak” didiami oleh dua entitas ini, terbukalah peluang terjadinya konflik antara keduanya.
Pendekatan kontras, suatu pernyataan bahwa tidak ada pertentangan yang sungguh-sungguh, karena agama dan sains memberi tanggapan terhadap masalah yang sangat berbeda. Banyak ilmuwan dan agamawan (teolog) tidak menemukan adanya pertentangan antara agama dan sains. Menurut kubu kontras, ”agama” dan ”sains” sangatlah berbeda sehingga secara logis tidak mungkin ada konflik di antara keduanya. Agama dan sains sama-sama absah (valid) meskipun hanya dalam batas ruang penyelidikan mereka sendiri yang sudah jelas. Kita tidak boleh menilai agama dengan tolok ukur sains, begitu juga sebaliknya, oleh karena itu keduanya harus dipisahkan antara satu dan lainnya. Jika agama dan sains sama-sama mencoba untuk mengerjakan pekerjaan yang sama, tentu saja mereka akan bertentangan. Sains dan agama benar-benar mempunyai tugas-tugas yang tidak sama dan tetap menjaga agar sains dan agama berada dalam wilayah yurisdiksinya masing-masing. Jadi, agama dan sains tidak perlu mencampuri urusan satu sama lain.[15]
Pendekatan Kontak, suatu pendekatan yang mengupayakan dialog, interaksi dan kemungkinan adanya ”penyesuaian” antara sains dan agama, dan terutama mengupayakan cara-cara bagaimana sains ikut mempengaruhi pemahaman religius dan teologis. Cara untuk menghubungkan agama dengan sains, sebab Haught, tidak rela membiarkan dunia ini terpilah-pilah menjadi dua ranah (dikotomik). Tetapi ia juga tidak setuju pada harmoni yang dangkal dalam pendekatan peleburan. Maka menurutnya, pendekatan ini setuju bahwa sains dan agama jelas berbeda secara logis dan linguistik, tetapi dalam dunia nyata, mereka tidak dapat dikotak-kotakan dengan mutlak, sebagaimana diandaikan oleh kubu pendekatan kontras. Kata Haught, bagaimanapun di dunia Barat, agama telah membantu membentuk sejarah sains, dan pada gilirannya kosmologi ilmiah pun telah mempengaruhi teologi.
Pendekatan kontak mengemukakan bahwa pengetahuan ilmiah dapat memperluas ”cakrawala keyakinan relegius” dan bahwa perspektif keyakinan religius dapat memperdalam pemahaman kita tentang alam semesta. Memang sains, tidak berusaha membuktikan kebenaran tuhan berdasarkan sains, tetapi sudah merasa puas kalau menafsirkan penemuan-penemuan ilmiah di dalam kerangka makna keagamaan. Begitu juga agama, tidak berusaha untuk menopang ajaran-ajaran keagamaan dengan mengacu pada konsep-konsep ilmiah yang pada permukaannya, boleh jadi menunjuk secara langsung kepada desainer Ilahi. Untuk itu, agama dan sains harus saling berbagi secara timbal-balik dalam keterbukaan secara kritis terhadap apa yang nyata. Dengan dasar inilah, akan menjadi landasan bagi adanya ”kontak” sejati antara sains dan agama.
Pendekatan Konfirmasi, suatu perspektif yang lebih tenang, tetapi sangat penting, perspektif ini menyoroti cara-cara agama, pada tataran yang mendalam, mendukung dan menghidupkan segala kegiatan ilmiah.[16] Pendekatan konfirmasi, menyarankan agama dan sains agar saling mengukuhkan. Artinya, agama dapat memainkan peran dalam pengembangan sains yang lebih bermakna. Begitu pula, temuan-temuan sains dapat  memperkaya dan memperbarui pemahaman teologis. Dengan demikian, posisi “agama memperkuat dorongan yang dapat memunculkan sains. Agama dengan suatu cara yang sangat mendalam, mendukung seluruh upaya kegiatan ilmiah”. Maka dapat dikatakan bahwa, “pendekatan konfirmasi adalah “memperkuat” atau “mendukung”. Jadi, agama dapat mendukung sepenuhnya dan bahkan melandasi upaya ilmiah dalam memberi makna kepada alam semesta.
Haught, mengatakan iman dalam artian kepercayaan mendasar akan rasionalitas yang luas dari realitas, tidaklah bertentangan dengan sains, melainkan justru merupakan sumbernya. Sains, sebagaimana halnya semua pengetahuan manusia, mempunyai apa yang oleh Michael Polanyi menyebutnya sebagai aspek ”kepercayaan” (fuduciary), dari kata Latin, fideo yang artinya mempercayai[17]. Maka tanpa unsur kepercayaan ini, kiranya tidak bakal ada juga rangsangan untuk mengupayakan kebenaran melalui sains.
Keempat pandangan Haught ini, dapat dilihat sebagai semacam tipologi seperti yang dibuat Berbour, tetapi Haught sendiri, melihatnya semacam ”perjalanan”. Tetapi secara lebih spesifik, Smith, menyebut upaya-upaya para ilmuwan ”teologi” tersebut sebagai ”kolonialisasi teologi oleh sains”.[18]
Konflik antara sains dan agama yang terjadi akibat pengaburan batas-batas sains dan agama, sebab keduanya dianggap bersaing dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sama, sehingga orang harus memilih salah satunya. Maka dari pandangan Haught ini, langkah pertama yang harus dilakukan adalah “menarik garis pemisah secara jelas sebagai penunjuk kontras keduanya. Langkah berikutnya, setelah perbedaan kedua bidang itu jelas, baru dapat dilakukan kontak. Langkah ini didorong oleh dorongan psikologis yang kuat bahwa bagaimanapun bidang ilmu yang berbeda-beda perlu dibuat koheren.
Pada posisi ini, implikasi teologi teori ilmiah ditarik ke wilayah teologis, bukan untuk “membuktikan” doktrin keagamaan, melainkan sekedar menafsirkan temuan ilmiah dalam kerangka makna keagamaan demi memahami teologi dengan lebih baik. Dasar dari pandangan ini adalah keyakinan bahwa apa yang dikatakan sains mengenai alam memiliki relevansi dengan pemahaman keagamaan[19].
Pandangan dan gerakan Haught, melangkah lebih jauh pada konfirmasi dengan upaya mengakarkan sains beserta asumsi metafisisnya pada pandangan dasar agama mengenai realitas yang setidaknya dalam tiga agama monoteistik (Yahudi, Kristen, dan Islam) pada dasarnya berakar pada Wujud yang disebut “tuhan”. Maka, asumsi metafisis sains yang disebut Haught di antaranya bahwa alam semesta adalah suatu “keteraturan” (“tertib wujud”) yang rasional. Menurut Haught, tanpa ini sains sebagai upaya pencarian intelektual tak dapat melakukan langkah pertamanya sekalipun.  Pandangan ini, dapat dibayangkan semacam “premis awal” aristotelian yang sifatnya apriori, yang diperlukan untuk menggerakkan silogisme pertama.
Maka, bagi kaum beragama, “premis awal” ini merupakan objek “keimanan”. Seorang fisikawan muslim, Mehdi Golshani yang pandangannya dalam soal “strategi” pemaduan sains dan agama, tampaknya memiliki kesamaan dengan Haught yang berteologi Kristen, meskipun ada banyak perbedaan. Dalam mengemukakan pandangannya, mereka bahkan menggunakan “metafora” yang sama “akar”. Katakan saja, Haught, berupaya untuk “mengakarkan” sains pada pandangan agama mengenai realitas. Bagi Golshani, ketika menyebut perbedaan antara apa yang disebutnya “Islamic science” dan “sains sekuler”, Golshani mengatakan, ” tampak pada wilayah-wilayah, yaitu Pertama, praanggapan metafisis dalam sains sering kali “berakar” pada pandangan dunia “religius”. Kedua, pandangan religius efektif dalam memberikan otoritas yang layak dari penerapan sains[20].
Jadi, asumsi-asumsi metafisis sering kali berakar pada pandangan dunia agama. Golshani seperti juga Haught, menjelaskan bahwa sains mau tak mau mesti berasumsi bahwa alam yang menjadi objek kajiannya adalah alam yang rasional teratur dan memiliki hukum-hukum. Menurut Golshani dalam sains sekuler ini menjadi semacam “iman” yang tak perlu dibuktikan meskipun (mau tak mau) diyakini. Maka, tanpa keyakinan bahwa ada hukum yang berlaku secara teratur, tak ada dasar konseptual pengembangan teori-teori ilmiah. Di sinilah pandangan Golshani yang senada  dengan Haught, bahwa agama dapat menjadi dasar untuk kerja sains. Maka untuk mengintegrasikan ”sains dan agama”, Paul Davies, dalam bukunya God and The New Phyisics, merekomendasikan kebangkitan relasi agama dan sains, yaitu : Pertama, adanya ”dialog” yang semakin intensif antara para ahli sains, filsafat dan teolog mengenai persoalan yang berkaitan dengan gagasan penciptaan (evolusi) yang menjadi biang keladi perdebatan agama dan sains karena beda pandangan. Kedua, adanya minat yang besar untuk pemikiran mistik dan filsafat timur. Tampaknya, keinginan kita pun sama dengan kerinduan C.P. Snow, bahwa semua itu dapat termanifestasi dalam sikap dan perilaku kaum agamawan dan saintis. Untuk itu, caranya adalah para saintis dan agamawan harus duduk bersama dalam rangka mengisi kehidupan yang lebih harmonis dan manusiawi.

B. Studi Islam Kontemporer : Devine Science Dalam Studi Filsafat Islam
Kajian tentang sumber ilmu dalam filsafat adalah masuk dalam rumpun epistemologi.  Dalam perjalanan sejarah pemikiran manusia, kajian tentang epistemologi telah dilakukan sejak zaman Yunani kuno. Dalam dunia Islam, pembahasan tentang epistemologi ilmu sudah dilakukan sejak masa al-Kindi (796-873 M). Secara khusus, kajian tentang epistemologi ini dilakukan dalam kajian filsafat ilmu.[21]  
Dalam kajian epistemologi di Barat,  pembahasan tentang sumber ilmu melahirkan tiga mazhab utama, yaitu rasionalisme, empirisme dan fenomenalisme Kant.[22]  Keberatan Islam terhadap ketiga mazhab ini sebagaimana akan ditunjukkan nanti, terutama karena pengingkarannya terhadap wahyu sebagai objek ilmu pengetahuan. Dalam Islam, kajian terhadap sumber ilmu memadukan bahan-bahan empirikal (kealaman) dan spiritual (kewahyuan). Pemaduan kedua bahan inilah yang akan memunculkan konsep epistemologi Islam yang berbeda dengan konsep epistemologi Barat. Konsep tentang sumber ilmu selanjutnya akan berimplikasi terhadap perumusan isi kurikulum dalam pendidikan Islam. Sebagaimana disinggung di atas, kajian yang pokok tentang Devine Science (sumber ilmu) diwakili oleh tiga mazhab utama, yaitu rasionalisme, empirisme dan fenomenalisme Kant. Berikut dijelaskan ketiga mazhab dimaksud, baru kemudian akan menjelaskan pandangan Islam tentang sumber pengetahuan sebagai berikut:

       a)  Rasionalisme
Mazhab ini berasal dari para filosof Eropa seperti Rene Descartes (1596-1650) dan Immanuel Kant (1724-1804), dan lain-lain yang populer disebut sebagai teori rasional.[23] Menurut teori ini ada dua sumber bagi pengetahuan (konsepsi). Pertama, penginderaan (sensasi). Menurut teori ini, konsepsi manusia tentang panas, cahaya, rasa dan suara karena penginderaan terhadap hal-hal itu. Kedua, adalah fitrah, dalam arti bahwa akal manusia memiliki pengertian-pengertian dan konsepsi-konsepsi yang tidak muncul dari indera, tetapi ia sudah ada dalam lubuk  fitrah. Dalam pengertian yang terakhir ini, jiwa menggali gagasan-gagasan tertentu dari dirinya sendiri. Rene Descartes berpandangan konsepsi-konsepsi fitri ini adalah ide “tuhan”, jiwa, perluasan dan gerak serta pemikiran-pemikiran yang mirip dengan semuanya itu dan bersifat sangat jelas dalam akal manusia. Tetapi bagi Kant, semua pengetahuan manusia adalah fitri, termasuk dua bentuk ruang dan waktu serta duabelas kategori Kant.[24]
Menurut mazhab ini, indera adalah sumber pemahaman terhadap konsepsi-konsepsi dan gagasan-gagasan sederhana. Hanya saja indera bukan satu-satunya sumber. Di samping indera, ada fitrah yang mendorong munculnya sekumpulan konsepsi pada akal.

Baqir Ash-Shadr pada teori rasionalis mengatakan bahwa:
Konsepsi manusia tidak mendapatkan alasan munculnya sejumlah gagasan dari indera, karena memang ia bukan konsepsi-konsepsi inderawi, maka harus digali secara esensial dari lubuk jiwa, dari sini jelas bahwa motif filosofis bagi perumusan pada teori rasional  akan hilang sama sekali, jika dapat menjelaskan secara meyakinkan konsepsi mental, tanpa perlu mengandalkan gagasan fitrah[25].

Selanjutnya menurut Harun Nasution  pada teori Descartes bahwa:
Secara metodologi ilmu pengetahuan harus mengikuti jejak ilmu pasti, meskipun ilmu pasti bukanlah metode ilmu yang sebenarnya. Ilmu pasti hanya boleh dipandang sebagai penerapan yang paling jelas dari metode ilmiah. Metode ilmiah itu sendiri lebih umum. Segala konsepsi dan gagasan baru bernilai benar jika secara metodologi dikembangkan dari intuisi yang murni (fitrah). [26]

Lebih lanjut Harun Nasution menuturkan, teori Descartes dipengaruhi oleh berbagai pertentangan pemikiran filsafat pada zamannya. Pertentangan ini menyebabkan ia bersikap meragukan segala sesuatu. Dalam konteks ini hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu bahwa aku ragu-ragu (aku meragukan segala sesuatu). Sifat meragukan ini bukan khayalan, melainkan suatu kenyataan. Aku ragu-ragu, atau aku berpikir, dan oleh karena aku berpikir maka aku ada (cogito ergo sum). Memang menurut teori Descartes, apa saja yang dipikirkan bisa saja merupakan suatu khayalan, akan tetapi bahwa kegiatan berpikir bukanlah khayalan. Dalam hal ini “tiada seorangpun yang dapat menipu saya, bahwa saya berpikir, dan oleh karena itu di dalam hal berpikir ini saya tidak ragu-ragu, maka aku berada.”[27]

      b) Empirisme
Istilah empirik berasal dari kata Yunani emperia, yang berarti pengalaman inderawi. Kaum empiris telah memberi tekanan kepada empirik (pengalaman), baik pengalaman lahiriah maupun batiniah sebagai sumber pengetahuan. Dengan demikian, empirisme bertentangan dengan rasionalisme. Di antara tokohnya adalah Thomas Hobbes (1588-1679) dan John Locke (1632-1704).[28]
Teori ini berpendapat bahwa penginderaanlah satu-satunya yang membekali akal manusia dengan berbagai konsepsi dan gagasan, dan bahwa potensi mental akal budi adalah potensi yang tercermin dalam berbagai persepsi inderawi. Jadi ketika manusia mengindera sesuatu, ia akan dapat memiliki suatu konsepsi tentangnya, yakni menangkap form dari sesuatu itu dalam akal budi. Adapun tentang gagasan-gagasan yang tidak terjangkau oleh indera, menurut aliran ini, tidaklah dapat diciptakan oleh jiwa, demikian pula jiwa tidak dapat membangunnya secara esensial dalam bentuk yang berdiri sendiri.[29]Akal budi berdasarkan teori ini, hanyalah berfungsi mengelola konsepsi dan gagasan inderawi. Hal itu dilakukan dengan cara menyusun konsepsi-konsepsi dan membagi-baginya.

Baqir Ash-Shadr mengatakan bahwa:
Mengonsepsikan “sebungkah gunung emas” atau membagi-bagi “pohon” kepada potongan-potongan dan bagian-bagian atau dengan abstraksi dan universalisasi, misalnya dengan memisahkan sifat-sifat dari bentuk itu, dan mengabstraksikan bentuk itu dari sifat-sifatnya yang tertentu agar darinya akal dapat membentuk suatu gagasan universal. Hal ini dapat dicontohkan dengan upaya mengkonsepsikan Zayd, dan mengurungkan setiap kekhasan yang membedakannya dari ‘Umar. Dengan proses substraksi (pengurangan) ini, akal menyarikan suatu gagasan abstrak yang berlaku, baik atas Zayd maupun ‘Umar[30]
Senada dengan  Baqir Ash-Shadr selanjutnya Harun Nasution pada teori  Thomas Hobbes mengatakan bahwa, aliran empirisme di Inggris pada abad ke-17 telah membangun suatu sistem filsafat yang lengkap mengenai “yang ada” secara mekanis, yang menjadi pijakan dasar filsafat empirisme. Ia adalah seorang materialis pertama dalam filsafat modern[31].
Lebih lanjut menurut Harun Nasution, segala yang ada bersifat bendawi. Bendawi dimaksudkan ialah segala sesuatu yang tidak bergantung kepada gagasan kita. Ia juga mengajarkan bahwa segala kejadian adalah gerak, yang berlangsung karena keharusan. Realitas segala yang bersifat bendawi  terliput di dalam gerak itu. Segala obyektifitas di dalam dunia luar bersandar kepada suatu proses tanpa pendukung yang berdiri sendiri. Ruang atau keluasan tidak memiliki eksistensi atau keber-“ada”-an sendiri. Ruang justru gagasan tentang hal yang ber-“ada” itu. Sedangkan waktu adalah gagasan tentang gerak.[32]
Konsistensi gagasannya juga terlihat dalam pandangannya tentang manusia. Ia memandang manusia tidak lebih dari pada suatu bagian alam bendawi yang mengelilinginya. Oleh karena itu, segala sesuatu yang terjadi pada manusia dapat dijelaskan sebagaimana kejadian alamiah bendawi lainnya secara mekanis. Jiwa itu sendiri menurutnya adalah kompleks dari proses-proses mekanis dalam tubuh. Akal bukanlah pembawaan, melainkan hasil perkembangan karena kerajinan.
Seperti di singgung di atas, pengenalan atau pengetahuan diperoleh karena pengalaman. Pengalaman adalah awal segala pengetahuan. Pengenalan dengan akal hanya memiliki fungsi mekanis, karena pengenalan dengan akal pada hakikatnya mewujudkan suatu proses penjumlahan dan pengurangan. Pengenalan dengan akal dimulai dengan pemakaian kata-kata (pengertian-pengertian), yang hanya mewujudkan tanda-tanda menurut adat-kebiasaan saja, dan yang menjadikan jiwa manusia dapat memiliki gambaran yang diucapkan dengan kata-kata itu. Selanjutnya, hal ini akan membentuk pengalaman (empirik). Isi pengalaman itu adalah keseluruhan atau totalitas segala pengamatan yang disimpan di dalam ingatan dan digabungkan dengan suatu pengharapan masa depan, sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa lampau.[33]

      c) Fenomenalisme Kant
Filsuf Jerman abad ke-18 Immanuel Kant melakukan pendekatan kembali terhadap masalah hakikat rasio dan indera sebagai sumber pengetahuan setelah memperhatikan kritikan-kritikan yang dilancarkan oleh David Hume terhadap sudut pandang yang bersifat empiris dan rasional. Mengapa pendirian Kant disebut sebagai fenomenalisme. Kant berpendapat bahwa sebab akibat tidak dapat dialami. Marilah kita memperhatikan pernyataan, “kuman tipus dapat menyebabkan demam tipus.” Bagaimanakah kita sampai dapat mengetahui keadaan yang mempunyai hubungan sebab-akibat ini. Kebanyakan orang akan mengatakan, “setelah diselidiki para ilmuan diketahui bahwa bila ada orang yang menderita demam tipus, tentu terdapat kuman tersebut, dan bila kuman ini tidak terdapat di dalam diri seseorang, maka orang itu tidak menderita deman tipus.”[34]
Dari penjelasan di atas dengan jelas terlihat bahwa syarat “adanya kuman tipus” dan “demam tipus” mesti ada sebelum disimpulkan bahwa kuman tersebut menyebabkan demam. Karena boleh jadi “seorang yang dalam dirinya ada kuman tipus” tapi tidak menderita demam. Bagaimanapun, pengamatan mengungkapkan kepada kita tentang kuman tersebut dan juga tentang orang yang sehat atau yang sakit. Tetapi pengamatan, betapapun juga banyaknya tidak dapat menunjukkan kepada kita kuman yang menyebabkan penyakit tersebut.  Bagaimanakah kita dapat memperoleh pengetahuan bahwa kuman itulah yang menyebabkan penyakit tersebut. Ditinjau dari sudut pandangan empiris, Hume menolak bahwa kita akan dapat mengetahui sebab akibat sebagai suatu hubungan yang bersifat niscaya. Jika melihat seekor kucing dan kemudian kita memukulnya, kita tidak dapat mengatakan bahwa kucing itulah yang menyebabkan kita memukulnya, meskipun kita lakukan berkali-kali. Dalam kedua peristiwa di atas tidak tampak hubungan sama sekali. Maka mengapakah kita bila melihat kuman dan kemudian melihat orang sakit, kita lalu mengatakan bahwa kuman itulah yang menyebabkan penyakit.
Indera hanya dapat memberikan data indera, data itu ialah warna, cita rasa, bau, rasa dan sebagainya. Memang benar, kita mempunyai pengalaman, tetapi sama benarnya juga bahwa untuk mempunyai pengetahuan (artinya menghubungkan hal-hal), maka kita harus keluar dari atau menembus pengalaman, kata Kant. Jika dalam memperoleh pengetahuan kita menembus pengalaman, maka jelaslah, dari suatu segi pengetahuan itu tidak diperoleh melalui pengalaman, melainkan ditambahkan pada pengalaman.
Jika orang tidak dapat membayangkan berupa apakah suatu “rasa yang bersahaja” dengan “suatu bunyi yang kasar”, maka jelaslah bahwa data indera yang murni tidaklah merupakan pengetahuan. Pengetahuan terjadi bila akal menghubungkan, untuk memperoleh fakta bahwa tekanan terhadap sesuatu menyebabkan terjadinya bunyi. Hubungan merupakan cara yang dipakai oleh akal untuk mengetahui suatu kejadian, hubungan itu tidak alami.  Hubungan ialah bentuk pemahaman kita, dan bukan isi pengetahuan.[35]

C.   Human Science Dalam Studi Filsafat Islam
                  Manusia menempati posisi yang sangat sentral dalam filsafat Islam. Para filsuf muslim memandang manusia sebagai ukuran bagi semua hal (mi’yar kulli syai), persis seperti yang dikatakan kaum filosofis Yunani beberapa abad sebelumnya. Abd al-Karim al-Jilli menganggapnya sebagai ‘makhluk sempurna’ (insan kamil), sementara Ibn Arabi memandangnya sebagai ‘pusat alam raya’ (markaz al-kawn). Berbeda dengan teologi yang mempertentangkan antara tuhan dan manusia, filsafat Islam menganggap manusia sebagai perluasan dari wujud tuhan. Al-Farabi memandang manusia sebagai kulminasi dari proses emanasi (al-fayd) yang ruwet. Manusia tidak diciptakan seperti kita menciptakan kendi dari tanah liat, tapi melewati proses kontemplasi akal murni dari satu jenjang ke jenjang lain.[36]
                  Akal adalah daya (quwwah) yang membedakan manusia dari makhluk lain. Dengan akalnya manusia mampu mengetahui yang baik dan yang buruk, yang salah dan yang benar. Dengan akalnya pula manusia berusaha mencari kesenangan dan kebahagiaan. Menurut al-Farabi, kebahagiaan yang sempurna tidak bisa diwujudkan secara individual, tapi harus melibatkan orang lain. Secara alamiah, manusia adalah makhluk sosial yang saling bekerjasama dan tolong-menolong untuk merealisasikan kebahagiaan itu.[37]

       a) Fasilitas/Alat Mendapatkan Ilmu
      Dalam al-Qur`an dijumpai 49  kali kosa kata yang berakar kata a-q-l dalam berbagai bentuk. Sebarannya sebagai berikut: kata (‘aqaluh) dijumpai dalam 1 ayat, kata (ta’qilun) 24 ayat, (na’qil) 1 ayat, (ya’qiluha) 1 ayat, dan (ya’qilun) 22 ayat. Makna kosa kata itu dalam arti paham dan mengerti. Sebagai contoh dapat dilihat pada ayat-ayat berikut:
tbqãèyJôÜtGsùr& br& (#qãZÏB÷sムöNä3s9 ôs%ur tb%x. ×,ƒÌsù öNßg÷YÏiB tbqãèyJó¡o zN»n=Ÿ2 «!$# ¢OèO ¼çmtRqèùÌhptä .`ÏB Ï÷èt/ $tB çnqè=s)tã öNèdur šcqßJn=ôètƒ ÇÐÎÈ  
Artinya : Maka apakah kamu (muslimin) sangat mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, sedangkan segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah memahaminya, padahal mereka mengetahuinya. (Al-Baqarah/2: 75)[38]

óOn=sùr& (#r玍šo Îû ÇÚöF{$# tbqä3tGsù öNçlm; Ò>qè=è% tbqè=É)÷ètƒ !$pkÍ5 ÷rr& ×b#sŒ#uä tbqãèyJó¡o $pkÍ5 ( $pk¨XÎ*sù Ÿw yJ÷ès? ㍻|Áö/F{$# `Å3»s9ur yJ÷ès? Ü>qè=à)ø9$# ÓÉL©9$# Îû ÍrߐÁ9$      
Artinya: Maka tidak pernahkah mereka berjalan di bumi, sehingga hati dan (akal) mereka dapat memahami, telinga mereka dapat mendengar? Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada. (Al-Hajj/22: 46) [39]
Dalam lisan al-‘Arab dijelaskan bahwa al-‘aql berarti al-hijr (menahan) dan al-āqil adalah orang yang menahan diri (yahbis) dan mengekang hawa nafsu. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa al-‘aql mengandung arti kebijaksanaan (al-nuhā), lawan dari lemah pikiran (al-humq). Al-‘aql juga mengandung arti al-qalb (kalbu). Lebih lanjut disebutkan bahwa kata ‘aqala mengandung arti memahami.
Menurut Harun Nasution, kata ‘aqala bermakna mengikat dan menahan. Orang yang āqil di zaman Jahiliyah, dikenal dengan hammiyah atau darahnya  panas adalah orang yang dapat menahan amarahnya dan karenanya dapat mengambil sikap dan tindakan yang berisi kebijaksanaan dalam mengatasi masalah yang dihadapinya.[40]
Dari keseluruhan kosa kata yang berakar pada a-q-l bahwa al-‘aql adalah fakultas manusia yang berfungsi untuk mengerti atau memahami sesuatu. Al-‘aql (rasio) dalam ayat-ayat di atas tidak dibicarakan dalam konteks sumber ilmu tetapi dalam konteks alat yang darinya manusia memperoleh ilmu. Keseluruhan ayat-ayat al-Qur`an yang memiliki akar kata a-q-l, tidak satu pun ayat yang menyebut akal sebagai kata benda, semuanya dalam bentuk kata kerja (fi’il).





Baharuddin mengatakan bahwa:

‘Aql bukanlah suatu substansi (jauhar) yang bereksistensi, melainkan aktivitas dari suatu substansi. Jika dipahami demikian, akan mengandung suatu pertanyaan, yaitu substansi apakah yang berakal itu. Pertanyaan itu dapat dikembalikan kepada al-Qur`an. Dalam ayat lain dijelaskan bahwa substansi yang mampu ber‘aql itu adalah qalb.

b)     Indera
Dalam Al-Qur`an alat indera yang beraktifitas dan berfungsi bagi manusia dalam memperoleh pengetahuan adalah al-sam’ dan al-absar. Kata al-sam’ dan berbagai kata jadiannya disebut 185 kali, sedangkan kata al-sam’ sendiri dijumpai 12 kali dalam al-Qur`an.[41] Kata al-absar dan berbagai kata jadiannya disebut 148 kali. Sementara kata al-absar disebut 18 kali. Di antara ayat-ayat yang mengandung kosa kata al-sam’ sebagai berikut:
ö@è% `tB Nä3è%ãötƒ z`ÏiB Ïä!$yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur `¨Br& à7Î=ôJtƒ yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur `tBur ßl̍øƒä ¢yÛø9$# z`ÏB ÏMÍhyJø9$# ßl̍øƒäur |MÍhyJø9$# šÆÏB ÇcyÛø9$# `tBur ãÎn/yムzöDF{$# 4 tbqä9qà)uŠ|¡sù ª!$# 4 ö@à)sù Ÿxsùr& tbqà)­Gs? ÇÌÊÈ  
Artinya: Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab, “Allah.” Maka katakanlah, “Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” (Yunus/10: 31)[42].

ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& Ÿw šcqßJn=÷ès? $\«øx© Ÿ@yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur   öNä3ª=yès9 šcrãä3ô±s? ÇÐÑÈ  
Artinya: Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur. (An-Nahl/16: 78)[43]
Berdasarkan penelusuran terhadap ayat-ayat al-Qur`an yang memiliki kosa kata al-sam’ dan al-absar dapat dijelaskan bahwa kemampuan mendengar karena manusia diberikan alat berupa telinga (uzun) dan kemampuan melihat karena manusia diberikan alat berupa mata (‘ain). Mata, yang memiliki kemampuan melihat, bisa saja tidak memberi manusia pengetahuan, oleh karena qalbu-nya tidak paham (buta). Sesuatu yang jelas terlihat bahwa bagi al-Qur`an, al-sam’ dan al-basr adalah aktifitas.
       c)  Hati (Fuad)
Kata fu`ad dan yang seakar kata dengannya tersebar dalam 16 ayat. Semuanya dalam bentuk kata benda, yakni al-fu`ad dan al-af`idah.[44] Mahmud Yunus mengartikannya sebagai hati atau akal.[45] Kedua kata ini seakar dengan fa`idah (jamak: fawa`id) artinya faedah atau guna. Makna yang dapat ditarik dari penggunaan al-Qur’an terhadap kata al-fu`ad dan al-af`idah adalah bahwa al-fu`ad memiliki fungsi akal (memahami, mengerti), sama dengan al-qalb. Secara tekstual, Allah menceritakan yang bermakna Nabi Saw dengan mendengarkan kisah-kisah Rasul terdahulu. Lalu dengan kisah-kisah itu menjadi kuat ­fu`ad (hati) Nabi. Dengan al-fu’ad itu berarti Nabi mendapatkan makna atau hikmah sejarah.
Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa al-fu`ad merupakan sentral dan pengendali bagi aktifitas al-‘aql dan al-qalb dalam menetapkan pengetahuan yang benar, baik dan berguna bagi manusia. Secara umum, bagi al-Qur`an indera dalam dan luar manusia seperti al-‘aql, al-qalb, al-fu’ad,  al-sam’, al-absar adalah alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Dan obyek pengetahuan adalah ayat-ayat Allah baik yang qauliyah/tanziliyah maupun yang kauniyah. Berbeda sekali dengan perspektif Barat yang memandang bahwa akal dan indera sebagai fakultas yang memberi manusia pengetahuan.  Ilmuan Barat berpandangan demikian dikarenakan hirarki pengetahuan mereka hanya berhenti pada tataran empirikal. Asumsi-asumsi teologis metafisis telah terputus dari epistemologi keilmuan Barat, sejalan dengan pandangan humanis mereka yang sekuler-ateistik. Selanjutnya kajian sumber ilmu dalam Islam, tepatnya kajian tentang epistemologi ilmu telah dilakukan sejak zaman klasik Islam. Kemudian, untuk masa yang lama terhenti  kajian berlanjut di Barat yang hingga kini memasuki abad modern. Ilmuan klasik, Al-Kindi menyebutkan ilmu terbagi dua yaitu ‘ilm ilāhiy (divine science) dan ‘ilm insaniy (human science). ‘Ilm Ilahiy adalah pengetahuan langsung yang diperoleh dari Nabi dan Tuhan. Dasar pengetahuan seperti ini ialah keyakinan. Sedangkan ‘ilm insaniy adalah pengetahuan yang diperoleh dari manusia dan alam. Dasar pengetahuan yang disebut terakhir adalah pemikiran (ratio-reason).[46] Abu Hamid al-Gazali (w. 1111 M) membagi ilmu terkesan tidak jelas. Dalam Mizan al-Amal, ia membagi ilmu kepada teoritis (nazariyyah) dan praktis (‘amaliyah).[47] Pada buku lainnya, ia membagi ilmu kepada fardu ‘ain dan fardu kifayah. Di sisi lain, ia membagi ilmu kepada ilmu religius (syar’iyyah) dan intelektual (‘aliyah).  Al-Gazali juga membagi ilmu kepada hudluri (yang dihadirkan) dan hushuli (yang dicapai). Dari pembagian ini, nampak dengan jelas bahwa al-Gazali memandang bahwa sumber ilmu yang utama adalah wahyu ilahi dan sumber kedua adalah pengalaman (empirik). Mahdi Ghulsyani menyebutkan, secara hakiki al-Qur`an sebagai sumber ilmu, prinsip ilmu, yang telah dijelaskan dan yang belum dispesifikasikan, bukan di luar al-Qur`an. Seluruh ilmu ini di raih dari salah satu lautan pengetahuan-Nya, yaitu lautan karya-Nya. Telah disebutkan bahwa al-Qur`an itu laksana lautan yang tak bertepi, dan bahwa sekiranya lautan itu menjadi tinta (untuk menjelaskan) kata-kata Tuhanku, sungguh lautan itu akan habis sebelum kata-kata Tuhan itu berakhir. Di antara perbuatan Allah yang (karena keluasannya dapat disebut) lautan perbuatan-Nya, misalnya adalah menyembuhkan dan menimbulkan penyakit, sebagaimana Allah menceritakan ucapan Ibrahim yang mengatakan, “Ketika aku sakit Dia-lah yang menyembuhkan aku… Perbuatan ini saja hanya dapat diketahui oleh orang yang mengetahui ilmu obat-obatan dengan sempurna, karena ilmu ini tidak berarti apa-apa selain pengetahuan .


[1] M. Amin Abdullah,”Etika Tauhid Sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama (Yogyakarta:  Pilar Relegia Press 2004) h. 3.
[2]John F. Haught, Science and Relegion, From Conflict to Conversation, Pulist Press, New York. terj. Fransiskus Borgias, Perjumpaan Sains dan Agama, dari Konflik ke Dialog, (Bandung: Mizan, 2004) h. 2
[3]Zainal Abidin Bagis, Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi, (Bandung: Mizan,  2005), h 19.
[4] Mehdi Golshani, Issues in Islam and Science, Institute for Humanities and Cultural Studies Teheran, Iran, terj. Ahsin Muhammad, Melacak Jejak Tuhan dalam Sains, Tafsir Islami atas Sains, (Bandung: Mizan, 2004) h. 11.
[5]Mehdi Golshani, Issues in Islam and Science, Institute for Humanities and Cultural Studies Teheran, Iran, terj. Ahsin Muhammad, Melacak Jejak Tuhan dalam Sains, Tafsir Islami atas Sains , h 12
[6]Mehdi Golshani, Issues in Islam and Science, Institute for Humanities and Cultural Studies Teheran, Iran, h.12.
[7]Ian Barbour, When Science Meets Relegion: Enemies, Strangers, or Partuers, terj. E.R. Muhammad, Juru Bicara Tuhan antara Sains dan Agama, (Bandung: Mizan, 2002) h. 44.
[8] Zainal Abidin Bagis, Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi, h.19.
[9] Ian Barbour, When Science Meets Relegion: Enemies, Strangers, or Partuers, terj. E.R. Muhammad, Juru Bicara Tuhan antara Sains dan Agama,  h. 44
[10] Ian Barbour, When Science Meets Relegion: Enemies, Strangers, or Partuers, terj. E.R. Muhammad, Juru Bicara Tuhan antara Sains dan Agama,  h  45
[11] Ian Barbour, When Science Meets Relegion: Enemies, Strangers, or Partuers, terj. E.R. Muhammad, Juru Bicara Tuhan antara Sains dan Agama,  h. 42
[12] Zainal Abidin Bagis, Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi h. 20
[13]Zainal Abidin Bagis, Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi, h 21
[14]John F. Haught,”Science and Relegion, From Conflict to Conversation, Pulist Press, New York., terj. Fransiskus Borgias,Perjumpaan Sains dan Agama, dari Konflik ke Dialog, (Bandung: Mizan, 2004)    h. 1.
[15] John F. Haught,”Science and Relegion, From Conflict to Conversation, Pulist Press, New York., terj. Fransiskus Borgias,Perjumpaan Sains dan Agama, dari Konflik ke Dialog, h. 8
[16] John F. Haught,”Science and Relegion, From Conflict to Conversation, Pulist Press, New York., terj. Fransiskus Borgias,Perjumpaan Sains dan Agama, dari Konflik ke Dialog, h. 2
[17]Michael Polanyi, Personal Knowledge: Towards a Post-Critical Philosophy,(New York: Harper Torchbooks, tth) h. 299
[18]Huston Smith, Why Religion Matters, terj. Ajal Agama di Tengah Kedigdayaan Sains, (Bandung: Mizan 2003), h. 75.
[19] John F. Haught,”Science and Relegion, From Conflict to Conversation, Pulist Press, New York., terj. Fransiskus Borgias,Perjumpaan Sains dan Agama, dari Konflik ke Dialog, h  19
[20] Mehdi Golshani, Issues in Islam and Science, Institute for Humanities and Cultural Studies Teheran, Iran, terj. Ahsin Muhammad, Melacak Jejak Tuhan dalam Sains, Tafsir Islami atas Sains,  h. 48.
[21] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008). h. 107. 
[22] Louis O. Kattsof, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1996) h. 142.
[23] Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna. Terj. M. Nur Mufid bin Ali (Bandung: Mizan, 1993),   h. 28.
[24] Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna. Terj. M. Nur Mufid bin Ali,  h 29
[25] Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna. Terj. M. Nur Mufid bin Ali,  h  30
[26] Harun Nasution Akal dan Wahyu dalam Islam. (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia UI- Press, tth) h. 20.
[27] Harun Nasution Akal dan Wahyu dalam Islam,  h 21
[28] Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, (Jakarta: Kencana, 2008) h. 105
[29] Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna. Terj. M. Nur Mufid bin Ali , h 32
[30] Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna. Terj. M. Nur Mufid bin Ali,  h 32
[31] Harun Nasution Akal dan Wahyu dalam Islam , h 32
[32] Harun Nasution Akal dan Wahyu dalam Islam,  h 33
[33] Harun Nasution Akal dan Wahyu dalam Islam, h. 34.
[34] Kattsof, Louis O. Pengantar Filsafat. (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1996).h 142
[35] Kattsof, Louis O. Pengantar Filsafat,  h. 143
[36] Abu Nasr al-Farabi. Ara Ahl al-Madinah al-Fadilah. (Beirut: Dar al-Masyriq, tth), h 116
[37] Abu Nasr al-Farabi. Ara Ahl al-Madinah al-Fadilah, h 117
[38] Dep. Agama RI, Al-Qur`an dan Terjemahnya, (Bandung: Syaamil Al-Qur`an, tth), h. 11.
[39] Dep. Agama RI, Al-Qur`an dan Terjemahnya, h. 337
[40] Harun Nasution Akal dan Wahyu dalam Islam  h.  7
[41] Harun Nasution Akal dan Wahyu dalam Islam  h 347
[42]Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahan, (Semarang: Toha putra 2012)  h. 169.
[43]Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahan, h. 220.
[44]Abd al-Baqy, Muhammad Fuad. Al-Mu’jam al-Mufahras li al-Faz al-Qur`an al-Karim. Kairo: Dar al-Hadis, 1422 H/2001 M. h  621/2
[45] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, ( Jakarta: Hidakarya Agung) h. 306.
[46] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990). h. 15.
[47]Al-Gazali, Abu Hamid. Mizan al- amal. (Kairo: Silsilah Saqafat Islamiyah, tth). h 37

0 komentar:

Posting Komentar