BAB V
METODE STUDI ISLAM : KAJIAN
AL ISLAM, FAHAM DAN ALIRAN
Pendidikan Islam bukanlah
sekedar transfer of knowledges atau transfer of values tetapi
merupakan aktivitas character building (pembentukan karakter,
kepribadian).
Tujuannya agar potensi yang dimiliki anak didik (potential capacity )menjadi kemampuan nyata (actual
ability) dan tetap berada dalam posisi suci bersih (fitrah) dan
lurus kepada Allah (hanief). Untuk mencapai itu, maka seorang guru harus
mengajarkan Islam ilmu (yang berdasarkan dalil), bukan Islam persepsi (yang
berdasarkan kira-kira), secara integrated, komprehensif dan. Integrated
meliputi penajaman IQ, EQ
dan SQ. Tujuannya adalah agar anak memiliki kualitas kognitif (pengetahuan),
afektif (keimanan) dan psikomotor (amaliyah) yang lebih baik dengan target
akhir adanya perubahan prilaku (behavior change) yang lebih baik (taqwa, muttaqin).
A. Hakikat Pendidikan Al-Islam
Pada hakikatnya pendidikan al-Islam adalah
proses bimbingan terhadap anak didik (santri, siswa, mahasiswa) untuk
mengembangkan potensi (potential capasity) yang dimilikinya menjadi
kemampuan nyata (actual ability) secara optimal sehingga tetap dalam
kondisi fitrah dan hanief (lurus) sebagaimana keadaan ketika
lahir. Potensi yang dimiliki anak didik
antara lain Intellegence Quotien (IQ), Emotional Quotien (EQ) dan
Spiritual Quotien (SQ). Juga potensi bertuhan Allah dan potensi-potensi
lainnya.
B. Tujuan antara Pendidikan al-Islam
·
Aspek Kognitif : Agar mahasiswa memahami al-Islam dengan paradigma
yang benar (berfikir paradigmais).
·
Asepk Afektif : Agar anak didik mampu mengapresiasi
al-Islam secara mendalam sehingga mereka mampu mengimani kebenaran al-Islam,
mampu memenej emosinya secara benar, dan mampu mengahayati ajaran al-Islam
sehingga dapat meningkatkan keimanan dan ketaqwaannya.
·
Aspek psikomotor : Mampu mengamalkan al-Islam
secara komprehensif, baik dalam Hablum minallah, hablum minannas, dan
hablum minal 'alam.
Sedangkan tujuan akhir
Pendidikan Agama adalah terwujudnya insan yang berperilaku Al-Qur'an, atau
manusia yang sanggup melaksanakan seluruh ayat Al-Qur'an tanpa kecuali, secara
integratif dan komprehensif, baik dalam
kehidupan pribadi maupun dalam bermasyarakat.
C. Materi Pendidikan Al-Islam
·
Materi Aqidah adalah menanamkan ketauhidan (Tauhid
Rubbubiyah, Mulkiyah dan Uluhiyah)
seraya mencabut sikap syirik dengan akar-akarnya melalui analisis
terhadap fenomena alam dan perilaku sosial masyarakat.
·
Aspek Syari’ah adalah mengajarkan tentang kaifiyat
(tatacara, how to do) tentang ritual (ibadah mahdloh) dan
mu’amalah (ibadah ghair mahdloh), beserta falsafahnya sehingga setiap sendi syari'ah
terasa mempunyai makna.
·
Materi Akhlak adalah memberikan pemahaman tentang
dimensi- dimensi akhlak yang meliputi hablum minallah, hablum minannas dan
hablum minal ‘alam dengan parameter yang jelas, terukur, terdeteksi,
menekankan pembiasaan dan perlunya figur sebagai whole model (usawah
hasanah).
D. Cara Mempelajari Islam
Pengetahuan terbagi dua,
yakni pengetahuan yang benar dan pengetahuan yang belum pasti benar. Pengetahuan yang benar adalah al-ilmu
atau alhaq, sedangkan pengetahuan yang salah atau belum pasti benar disebut persepsi. Seorang
ustadz, guru, dosen harus mengajarkan Islam Ilmu bukan
Islam Persepsi. Islam Ilmu adalah Islam yang berdasarkan dalil, bukan
karena pendapat, mayoritas, juga tidak terikat figur atau tradisi nenek moyang.
Untuk memperoleh Islam
ilmu, manusia harus menemukan dasar
hukum (rujukan) yang jelas, bukan semata-mata perkiraan fikiran, terikat dengan
figur atau terikat dengan mayoritas.
1) Mempelajari Islam dengan Ilmu. Mempelajari Islam dengan ilmu, bukan dengan kira-kira. Hal ini tercantum dalam Al-Qur'an QS Al Israa(17)) : 36
Dalil 1
wur ß#ø)s? $tB }§øs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# u|Çt7ø9$#ur y#xsàÿø9$#ur @ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ
Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya.[1]
2) Beragama Tidak Atas Dasar Mayoritas
Beragama tidak atas dasar
mayoritas, sebab mayoritas tidak menjamin orsinalitas. Perlu menjadi catatan
penting bahwa kebenaran hanya ditentukan oleh kualitas argumentasi bukan oleh
kuantitas penganutnya.
3) Agama Bukan Berdasarkan Warisan
Beragama tidak boleh atas
dasar keturunan atau warisan leluhur. Seperti yang tercantum dalam QS.Al Baqarah ( 2) :170.
Dalil 2
#sÎ)ur @Ï% ãNßgs9 (#qãèÎ7®?$# !$tB tAtRr& ª!$# (#qä9$s% ö@t/ ßìÎ6®KtR !$tB $uZøxÿø9r& Ïmøn=tã !$tRuä!$t/#uä 3 öqs9urr& c%x. öNèdät!$t/#uä w cqè=É)÷èt $\«øx© wur tbrßtGôgt ÇÊÐÉÈ
Dan
apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan
Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa
yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah
mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui
suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk (QS. 2 : 170)[2].
1) Beragama Tidak Atas Dasar Figur
Beragama tidak atas dasar figur seseorang, seperti pada QS.Attaubah(9) :31
Dalil 3
(#ÿräsªB$# öNèdu$t6ômr& öNßguZ»t6÷dâur $\/$t/ör& `ÏiB Âcrß «!$# yxÅ¡yJø9$#ur Æö/$# zNtötB !$tBur (#ÿrãÏBé& wÎ) (#ÿrßç6÷èuÏ9 $Yg»s9Î) #YÏmºur ( Hw tm»s9Î) wÎ) uqèd 4 ¼çmoY»ysö7ß $£Jtã cqà2Ìô±ç ÇÌÊÈ
E. Azas Filosofis dalam Pendidikan Islam
Islam ilmu yang disampaikan
dengan pendekatan yang tepat akan mudah
dicerna oleh peserta didik. Oleh karena itu penyajian materi pendidikan
al-Islam harus sistimtis, rasional, objektif, komprehensif dan radikal.
Sistimatis : Berurutan/ runtun, dari mana memulainya,
terus ke mana dan bermuara di mana.
Rasional : Gampang difahami, mampu
menjelaskan hubungan sebab akibat, sangat merangsang berfikir, dan tidak
dogmatis.
Objektif : Berdasarkan dalil, jelas
rujukannya, bukan sekedar kata orang, kira-kira atau dugaan – dugaan.
Komprehensif : Yakni menganalisis Islam
dari berbagai sisi. Dalam hal ini sangat baik menggunakan multi pendekatan,
antara lain Pendekatan Kebahasaan, Kesejarahan, Teologis., Filosofis,
Sosiologis, Politis, Ekonomi, Kesehatan, Militer, dll.
Radikal : Sampai kepada kesimpulan,
tajam, menggigit dan sangat menyentuh perasaan dan nurani.
Mengenai penggunaan akal /
rasio dalam memahami al-Islam, para
tokoh pemikir Islam berbeda-beda corak pemikirannya. Paling tidak ada empat
corak :
·
Tokoh Sinkretik : Sinkretik adalah percampuran
antara budaya lokal dengan agama. Tokoh ini sering tidak peduli kepada dalil
dan ratio. Pemikiran mereka lebih didominasi oleh sikap sosiologis, cari aman.
·
Tokoh Scripturalis /Tekstualis : terikat dengan
teks kurang memperhatikan konteks. Para tokoh Sripturalis bukan tidak
menggunakan ratio tetapi lebih terikat dengan teks Al-qur’an dan hadits apa
adanya.
·
Tokoh Rasional Kontekstual : Memperhatikan teks dan
konteks. Tokoh ini banyak menggunakan argumentasi rasio di samping melihat teks
Al-Qur’an dan hadits.
·
Tokoh Rasional Liberal : Tidak terikat teks.
Analisis tehdapa ajaran islam yang dilakukan tokoh Rasional Liberal lebih
didominasi oleh argumnetasi akal. Beberapa metode pendekatannya adalah Tafsir
Metaforis, Tafsir Hermenetika dan pendekatan social kesejarahan.
Dari sini kelak lahirlah
faham dan aliran keagamaan. Faham dan aliran adalah dua kata yang seakan-akan
bermakna sama karena keduanya menggambarkan adanya suatu pemikiran yang
kemudian jadi anutan bahkan pengamalan sebuah kelompok atau komunitas tertentu,
tetapi sebenarnya kedua kata itu memiliki perbedaan. Perbedaannya dapat dirinci
sebagaimana dijelaskan pada tabel di bawah ini:
Tabel 1. Perbedaan Antara
Faham Dan Aliran
Faham
|
Aliran
|
Kata faham lebih
berkonotasi kepada suatu alur pemikiran yang menganut prinsip tertentu.
|
Kata aliran lebih
berkonotasi kepada suatu hasil pemikiran yang eksklusif.
|
Tidak terorganisir, tidak
memiliki pemimpin pusat meskipun ia memiliki tokoh sentral yang menjadi figur
faham tersebut
|
Terorganisir : ada ketua,
pengurus dan anggotanya serta mempunyai aturan-aturan tertentu
|
Biasanya pengikut suatu
faham tertentu adalah orang-orang yang kritis, senang berfikir, terbuka dan
menyambut adanya diolog, walaupun tidak selalu demikian.
|
Biasanya para anggotanya
tidak dibiarkan berfikir kritis tetapi bersifat taqlâd, dogmatis,
tidak suka dialog, anti kritik dan cenderung merasa benar sendiri (truth
claim).
|
Faham apapun sebenarnya
merupakan hasil pemikiran, sedangkan hasil pemikiran sangat tergantung kepada
paradigma berfikir yang bersangkutan. Dengan demikian, mengetahui paradigma
setiap tokoh pemikir adalah sesuatu yang amat penting. Secara garis besar corak pemikiran tokoh Islam
terbagi dua yakni pemikir Rasional dan
Pemikir Tradisional.
Apabila ditelusuri jauh ke
belakang, akar pemikiran Rasional periode Modern di dunia Islam sebenarnya
dipengaruhi oleh pemikiran rasional dari Barat. Walaupun asalnya Barat
dipengaruhi pemikiran rasional Islam zaman Klasik. Pemikiran Rasional dibawa
oleh para sarjana Barat yang telah mempelajari berbagai ilmu pengetahuan
termasuk filsafat dari universitas Cordova ketika Spanyol dikuasai pemerintahan
Islam Bani Umayah di bawah pemerintahan Islam pertama yakni Abd ar-Rahmán
ad-Dakhili.
Sejarah Pemikiran di dunia
Barat secara kronologis dimulai dengan Masa Yunani Kuno (6 abad sebelum
Masehi), Masa Hellenika Romawi (abad 4 SM), Masa Parsitik (abad 2 M), Masa
Skolastik (abad 8 M), Masa Rennaissanse ( abad 14-16 M), yang kemudian memasuki
masa Aufklaerung (abad 18), atau memasuki periode Modern (abad 19) serta
postmodernisme (abad 20).
Pada abad 17 muncul
pemikiran falsafah Empirisme atau mazhab Empirisme dengan tokohnya antara lain
Francis Bacon (1561-1626), Thomas Hobes (1588-1679), dan John Locke
(1632-1704). Kemudian muncul pula mazhab Rasionalisme dengan tokohnya Rene
Descartes (1596-1650), dan Spinoza (1632-1677).
Rasionalisme dianggap
sebagai tonggak dimulainya pemikiran falsafati yang sebenarnya karena
benar-benar menggunakan kemampuan ratio untuk memikirkan sesuatu secara
mendalam, tidak terpengaruh oleh doktrin agama dan mitos. Mazhab ini menaruh
kepercayaan kepada akal sangat besar sekali. Mereka berkeyakinan bahwa dengan
kemampuan akal, pasti manusia dapat menerangkan segala macam persoalan, dan
memahami serta me-mecahkan segala permasalahan manusia.
Dengan kepercayaan kepada
akal yang terlampau besar, mereka menentang setiap kepercayaan yang bersifat
dogmatis seperti terjadi pada abad Pertengahan, serta menyangkal setiap
tatasusila yang bersifat tradisi dan terhadap keyakinan atau apa saja yang
tidak masuk akal. Aliran filsafat Rasionalisme ini berpendapat bahwa sumber
pengetahuan yang memadai dan dapat dipercaya adalah akal (rasio). Metode yang
digunakan oleh Rasio-nalisme ini adalah metode deduktif. Rene
Descartes (1598-1650) sebagai tokoh rasionalisme, dengan berlandaskan kepada
prinsip “a priori” meraguragukan
segala macam pernyataan kecuali kepada satu pernyataan saja yaitu kegiatan
meragu-ragukan itu sendiri. Itulah sebabnya ia menyatakan: ”saya berfikir jadi saya ada (Cogito ergo sum). Sedangkan
mazhab Empirisme yang kemudian dikembangkan oleh David Hume (1611-1776),
menyatakan bahwa sumber satu-satunya untuk memperoleh pengetahuan adalah
pengalaman. Ia menentang kelompok rasionalisme yang berlandaskan kepada prinsip
“a pripori:” tetapi mereka
menggunakan prinsip “a posteriori”.[4]
Untuk menyelesaikan
perbedaan antara Rasionalisme dan Empirisme, Iammnuel Kant mengajukan sintesis
a pripori. Menurutnya, pengetahuan yang benar adalah yang sintesis a pripori, yakni pengetahuan yang bersumber dari rasio dan
empiris yang sekaligus bersifat a pripori
dan a posteriori. Immanuel Kant
adalah pembawa mazhab Kritisisme atau Rasionalisme Kritis atau lebih dikenal
dengan Modernisme. Kemudian pada abad 19 muncul pula Aguste Comte (1798-1857)
membawa aliran filsafat Posistivisme yang pada hakikatnya sebagai Empirisme
Kritis.
Sedangkan aliran filsafat
abad 20 atau masa Kontemporer muncul aliran filsafat Eksistensialisme,
Strukturalisme, dan Poststrukturalisme, Postmodernisme. Dalam hal ini penulis
tidak perlu membahas seluruh aliran filsafat tersebut karena persoalannya akan
melebar tidak fokus. Dengan pergumulan dua induk aliran filsafat, yakni
Rasionalisme dan Empirisme, maka pada ujungnya para pemikir Barat hanya
mengakui dua macam ilmu yakni Empirical
science dan Rational Science.
Sedangkan di luar itu hanyalah beliefs atau kepercayaan, bukan
ilmu.
Mazhab pemikiran filsafat
yang masuk dan mendominasi para pemikir muslim adalah mazhab Rasionalisme,
sehingga para pemikir muslim Rasionalisme sangat memberikan penghargaan yang
sangat tinggi kepada akal. Konsekuensinya, mereka menolak semua hadits yang
bertentangan dengan akal, sehingga apabila ada hadits bertentangan dengan
kesimpulan akal, maka yang dipakai adalah kesimpulan akal. Bahkan ayat-ayat
al-Qur’an pun -- apabila secara literal (tekstual) isinya bertentangan dengan
akal -- akan ditafsirkan sesuai dengan penerimaan akal melalui penafsiran metaforis. Para pemikir muslim Rasionalis yang terpengaruh oleh filsafat
Barat secara diametral bertentangan dengan para pemikir muslim Tradisionalis
yang bersikap sebaliknya, yakni mereka tetap menggunakan hadits Ahad walaupun
bertentangan dengan akal bahkan mereka pun berpegang kepada makna hakiki dalam
menafsirkan ayat Al-Qur’an bukan dengan tafsir metaforis sebagaimana
diketengahkan oleh para pemikir Rasionalis. Pemikir Tradisionalis banyak
menghindari – kalau tidak dikatakan memusuhi -- filsafat Barat.
Amin Abdullah yang mengutip
pendapat Muhammad ‘Abid al-Jabiry menyatakan bahwa para tokoh Ilmu Kalam banyak
yang memusuhi filsafat akibatnya antara filsasat dan Ilmu Kalam tidak ada titik
temu. Abid al-Jabiry menyatakan bahwa di lingkungan generasi pertama Ahl as-Sunnah atau juga dengan
Asy‘ariyah di mana terdapat tokoh-tokoh seperti al-Ghazali dan asy-Syahrastani
(479-549 H), -- sangatlah menentang filsafat dan para ahli filsafat. Bahkan
selanjutnya karya al-Ghazali Taháfut
al-Falásifah dan karya asy-Syahrastanâ Musá‘arah
al-Falásifah merupakan buku “wajib” yang harus diikuti oleh para penulis
ilmu Kalam.[5] Perbedaan pendekatan yang
digunakan dalam filsafat dan ilmu kalam dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2. Perbedaan
Pendekatan Yang Digunakan Dalam
Filsafat Dan
Ilmu Kalam
Filsafat
|
Ilmu Kalam
|
Lebih menekankan dimensi
keberagaman yang paling dalam-esoteris dan transendental.
|
Seringkali menekankan dimensi lahiriyah eksoteris
dan final konkret.
|
Lebih menekankan ketenangan ke dalam jiwa karena
mendapat kepuasan pemikiran.
|
Lebih menekankan keramaian (syi‘ar) yang bersifat ekspressif-keluar.
|
Lebih menggarisbawahi comprhension (pemahaman akal).
|
Lebih menekankan transmission (pemindahan, pewarisan atau yang biasa disebut naql).
|
Lebih bercorak prophetic philosophy
|
Lebih bercorak priestly religion (keulamaan).
|
Lebih menekankan dimensi being religious.
|
Lebih menekankan dimensi having a religion. [6]
|
Walaupun pada periode
Pertengahan, filsafat dijauhi, maka mulai abad 18 (Periode Modern) filsafat
mulai didekati lagi bahkan dijadikan kerangka berfikir oleh sebahagian pemikir
muslim. Masalahnya sekarang adalah, demikian menurut Amin ‘Abdullah yaitu bagaimana kita menyikapi filsafat dan ilmu Kalam
lebih luas lagi doktrin agama, apakah mau bersifat Paralel, Linear atau Sirkular ? Kalau menggunakan pendekatan paralel
maka metode berfikir yang digunakan akan berjalan masing-masing, tidak ada
titik temu sehingga manfaat yang dicapainya pun akan sangat minim. Kalau
menggunakan pendekatan linear maka pada ujungnya akan
terjadi kebuntuan. Pola linear akan
mengasumsikan bahwa salah satu dari keduanya akan menjadi primadona. Seorang
ilmuwan agama akan menepikan masukan dari metode filsafat, karena pendekatan
yang ia gunakan dianggap sebagai suatu pendekatan yang ideal dan final.
Kebuntuan yang dialami oleh pemikir yang menggunakan pendekatan naqli semata adalah kesimpulan yang
bersifat dogmatis – teologis, biasanya berujung pada truth claim yang ekslusif yang mencerminkan pola fikir “right or wrong is my caountry” atau juga
kebuntuan historis empirik dalam bentuk pandangan yang skeptis, relativistik,
dan nihilistik. Atau dapat juga kebuntuan filosofis tergantung kepada jenis
tradisi atau aliran filosofis yang disukainya.
Baik pendekatan paralel maupun linear bukan merupakan pilihan yang baik yang dapat memberikan guidance, karena pendekatan paralel akan
terhenti dan bertahan pada posisinya sendiri-sendiri dan itulah yang disebut “truth claim”. Sedangkan pendekatan linear yang mengasumsikan adanya
finalitas, akan menjebak seseorang atau kelompok ke dalam situasi ekslusif –
polemis.
Mungkin yang terbaik adalah
yang bersifat sirkular,dalam arti karena masing masing pendekatan memiliki
keterbatasan dan kekurangan maka dilakukanlah pendekatan itu secara bersamaan (multi approach) yang di dalamnya saling
menutupi kekurangan[7]. Dalam menyikapi perlu
tidaknya pola berfikir filsafat dalam pembahasan teologi dan hukum Islam, para
pemikir muslim terbelah dua, yakni Pemikir Tradisional dan Rasional. Pemikir
Tradisional kemudian menjadi dua corak yakni Tradisional Literal (Tekstual) dan
Tradisional Kontekstual. Pemikir Rasional terbagi dua juga, yakni Rasional
Kontekstual dan Rasional – Liberal, sehingga para pemikir Islam dikelompokkan
menjadi empat corak. Pemikir Tradisional yang Tekstual (Literal) adalah
kelompok pemikir Tradisional yang memahami Al-Qur’an dan terutama hadits sangat
terikat dengan teks tanpa melihat konteks. Misalnya mereka makan dengan tiga
jari sebagaimana hadits nabi, mereka tidak memakai handuk setelah mandi janabat karena nabi pun demikian, mereka
memakai gamis dan sorban karena nabi pun berpakaian demikian, juga mereka
memelihara jenggot karena nabi memerintahkan memelihara jenggot. Para pemikir yang
berada di lingkungan Front Pembela Islam (FPI), Lasykar Jihad, Jama’ah Tagligh,
Darul Arqam, merupakan contoh-contoh Pemikir Tradisional yang Literal.
Corak kedua adalah
Tradisional yang Kontekstual, yaitu banyak mengacu kepada hasil Ijtihad Ulama
Salaf serta banyak menggunakan hadits Ahad dengan pemahaman dan pendekatan
rasio.
Corak ketiga adalah Pemikir
Rasional-Kontekstual, ialah pemikir yang tidak terikat dengan hal-hal Dhanny, baik hadits Ahad maupun ayat
Al-Qur’an yang Dhanny dalálah-nya.
Mereka dengan leluasa menggunakan pendekatan rasio dan memegang prinsip
kausalitas dan kontekstual dengan kaidah “al-hukm
yaduru ma‘a al-‘illat” (Hukum bergantung kepada ‘illat).
Corak keempat adalah
Pemikir Rasional yang Liberal, yaitu pemikir yang pemikirannya sangat bebas
merambah hal-hal yang oleh Tradisional dinilai “haram” untuk dijadikan objek
ijtihad. Contoh pemikir tipe Rasional – Liberal ini antara lain Abdurrahman
Wahid (Gusdur) dan Nurcholis Madjid (ini paling tidak menurut Charles Kurzman
dalam bukunya “Wacana Islam Liberal”.
Itu penilaian subjektif penuilis, namun sangat mungkin – sebagaimana dikatakan
oleh Charles Kurzman, editor buku “Wacana
Islam Liberal” bahwa yang bersangkutan mungkin setuju dan mungkin tidak,
dikelompokkan demikian.[8] Juga penting dicatat di
sini sebagaimana dijelaskan oleh Azyumardi Azra, pemikiran seorang tokoh
tertentu kadang-kadang sangat kompleks tidak bisa lagi dijelaskan dalam satu
kerangka atau tipologi tertentu, terjadi tumpang tindih dan bahkan saling
silang.[9]
G. Rasionalitas dalam Beragama
Dalam tataran realita, akal
tidak selalu mampu mencari kebenaran karena akal, nalar, ratio adalah
tergantung kepada biologis. Karena akal memiliki keterbatasan maka perlu
bantuan wahyu. Dengan demikian, pada hakikatnya akal dengan wahyu tidak boleh
bertentangan.
Dalam mempelajari Islam
tidak bisa hanya menggunakan pendekatan emprik dan rasio biasa tetapi perlu ada
keterlibatan iman. Dalam hal ini paling tidak terdapat empat katagori ilmu
yakni :
·
Empirical Science, yakni ukuran benar
tidaknya adalah dibuktikan secara empirik melalui eksperimen. Sumbernya adalah
pancaindera, terutama mata. Mata itu bahasa Arabnya adalah ain, maka
disebutlah ainul yaqin . Yang termasuk ke dalam empirical science
antara lain kedokteran, fisika, kimia, bilogi, goelogi.
·
Rational
Science , ialah ilmu yang kebenarannya ditentukan oleh hubungan sebab
– akibat. Kalau ada hubungan yang logis disebutlah rational. Sumbernya
adalah ratio, maka disebutlah ilmul
yaqin. termasuk ke dalam katagori ilmu ini antara lain bahasa,
filsafat, matematika.
·
Suprarational
Science , ialah manakala kebenarannya ditentukan oleh hal-hal di
luar ratio yang berkembang pada zaman
itu. Sumbernya adalah hati (qalbu), maka disebutlah Haqqul Yaqin. Yang
termasuk ke dalam ilmu ini antara lain Isra Mi'raj, doa, mukjizat.
·
Metarational
Science adalah Ilmu Ghaib, semacam siksa dan nikmat qubur,
syurga neraka, dll. Sumbernya adalah Ruh.
·
Memahami al-Islam dengan hanya menggunakan katago Empirical
science dan Rational Science akan mengalami kesulitan. Akibatnya
ayat-ayat Al-Qur'an yang dianggap kurang rasional dipaksakan haraus rasional,
maka terjadilah rasionalisasi al-Qur'an.
H. Pengamalan Al-Islam dengan pendekatan
·
Law Approach yakni pengamalan Islam
sebatas haram – halal, yang penting sah, yang penting tidak haram.
·
Love Aproach yakni lebih kepada target
sempurna.
I. Beberapa istilah dalam studi Islam
Terdapat
beberapa termonologi yang peting difahami adalam memahami Islam yakni Islam
Simbolik dan Islam Substantif, Islam Radikal, Islam Salafi, Islam
Kontemporer, dan Sunni- Syi'ah.
Pertanyaan Renungan
·
Apakah anda percaya bahwa Allahlah yang telah
memberikan potensi-potensi pada diri anda ?
Jawabannya : Ya, percaya sekali.
·
Apakah anda sadar bahwa otak anda adalah karunia
besar dari Allah ?. Jawabannya : Ya.
·
Apakah anda meyadari bahwa otak manusia tanpa
bimbingan wahyu Allah akan dapat mengungkap tabir segala hal termasuk
persoalan ghaib ? Jawabannya : Tidak
mungkin.
·
Manfaatkah apabila
pendidikan al-Islam tidak menghasilkan perubahan prilaku ke arah yang
lebih baik ? Jawabannya : sangat tidak berguna, sia-sia.
·
Dari mana anda tahu tentang malaikat dan jin,
apakah dari ilmu – ilmu alam atau dari Al-Qur’an ? Jawabannya : Dari Al-Qur’an,
·
Mana yang bisa menjamin keselamatan anda, mengikuti
Islam sebagai ajaran Allah atau mengikuti ajaran hasil karya manusia ?
Jawabannya : Ajaran Islam ciptaan Allah.
·
Mungkinkah Allah sebagai Tuhan Yang Maha Tahu dan
Maha Suci dari kealpaan berbuat salah ? Jawabannya : Tidak mungkin, mustahil.
·
Kalau begitu, mungkinkah Al-Qur’an yang diciptakan
Allah mengandung kesalahan ? Jawabannya : Tidak mungkin.
·
Kalau otak anda belum memahami pesan Al-Qur’an,
yang salah Al-Qur’annya atau karena otak yang masih bodoh ? Jawabannya : Otak
yang bodoh.
·
Apakah anda mengakui bahwa otak anda tidak dapat
mengetahui segala hal ? Jawabannya : ya,
yakin sekali.
·
Kalau begitu, maukah anda yang masih belum tahu
banyak hal mengikuti pemberitahuan dari Allah melalui al-Qur’annya ? Jawabannya
: ?????
[1]Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahan, h 228
[4]
Mazhab
Empirisme kemudian berkembang ke arah Positivisme. Perkembangan ilmu
pengetahuan termasuk ilmu sosial dianggap mencapai bentuknya secara definitif
dengan kehadiran Aguste Comte (1798-1857) dengan grand - theory-nya yang digelar dalam kaya utamanya Courus de Philospphie Positive (1855).
Comte menjelaskan bahwa tahap positive dicapai setelah manusia melampaui tahap
theologik dan metafisik. Menurut madzhab Positivisme bahwa sesuatu benar dan
nyata haruslah konkret, eksak, akurat dan memberi kemanfaatan.[4]
Dalam pandangan positivisme, Ilmu-ilmu kealaman memperoleh objektivitas yang
khas semata-mata bersifat empiris – eksperimental. Filsafat Comte ini adalah
anti-metafisis, ia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif-
ilmiah.
[5]
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam:
Pentingnya Filsafat Dalam Memecahkan Persoalan-persoalan keagamaan,
Makalah, disajikan dalam acara Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan
se Indonesia, 22-29 Agustus 1999, h.12.
[6]
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat
Islam", h .8
[7]
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam, h 18-19.
[8]
Charles Kurzman (Ed.), Wacana Islam
Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer
tentang Isu-isu Global (Jakrta : Paramadina, 2001), h. 12-13.
[9]
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalisme, Modernisme,
Hingga Post Modernisme, (Jakarta : Penerbit Paramadina, 1996), h. 12.
0 komentar:
Posting Komentar