Buying A New Car

There are many things that you must consider when buying a new car. Most will have to do with the car itself such as what model to buy- the options you want to add- and the price of the car. However there is one thing that it always pays to check out first- and that is- who are you buying the car from.

CAR INSURANCE FOR LADY DRIVERS

Car insurance companies prefer lady drivers to their gentlemen counterparts because they are considered as much less risky drivers.It is not that the accident rates of ladies are low. They face as many accidents as males do

AUTO LOAN NEW CAR

Is it time to get a new car? Do you want to purchase a new car to replace your current worn down vehicle? If yes is your answer- then you might want to think about your purchase and getting a loan for your new investment

CAR INSURANCE

America has become a culture of cars-SUV's- minivans and sports coupes. With all this traveling in and out- back and forth around the maze that is the United States infrastructure

NEW CAR LEASING TIPS

If you do have an accident with the outside or the inside of the car - you may have to pay for the cost. You will also only be allowed to put on so many miles in your lease period. This is hard for many people that do drive a lot

Sabtu, 13 September 2014

Metodologi Studi Islam: Reorientasi Pembaruan Islam


BIOGRAFI  PENULIS

      Muhamad Agus Kurniawan, menyelesaikan S1 di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Agus   Salim Metro Lampung tahun 1999 dan pada tahun 2012 melanjutkan study Pascasarjana Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jurai Siwo Metro Lampung. Saat ini tercatat sebagai dosen tetap pada program studi Manajemen Pendidikan Islam STIT Agus  Salim Metro. 

Pertemuan Ilmiah dan Penghargaan : Workshop Penelitian Ilmiah Untuk Dosen Muda, Workshop Penelitian Karya Ilmiah, Seminar Internasional Pendidikan ”Identity, Modernity And Network: Islamic Higher Educational Institution A Globalizes World, Semiar Internasional pendidikan ”Character Building: Implementations, Problems, And Solutions”. Seminar Nasional Implementasi Kurikulum 2013, Seminar Nasional ”Rekonstruksi Pendidikan Islam Sebagai Basis Pendidikan Karakter, Seminar Nasional Implementasi Kurikulum 2013 dan Implikasinya Terhadap Dinamika Pendidikan Agama dan Karakter Bangsa di Provinsi Lampung, Seminar Internasional Institute Of  Malaysia Indonesia Studies Visit of Unicel Malaysia.
Berbicara tentang hubungan antar agama, wacana pluralisme agama menjadi perbincangan utama. Pluralisme agama sendiri  dimaknai secara berbeda-beda di kalangan cendekiawan Muslim Indonesia, baik secara sosiologis, teologis maupun etis.
Dalam pandangan Islam, sikap menghargai dan toleransi kepada pemeluk agama lain adalah mutlak untuk dijalankan (Pluralitas). Namun bukan berarti beranggapan bahwa semua agama adalah sama (pluralisme), artinya tidak menganggap bahwa Tuhan yang kami sembah adalah Tuhan yang kalian sembah. Islam terdiri dari dua elemen yaitu aqidah dan syari’ah lalu mendekatinya dengan metode filosofis doktriner, berbeda dengan metodologi yang dipergunakan ulama sebelumnya yang menyatakan  bahwa Islam terdiri dari  aqidah dan muammalah. Pandangan agama dapat berubah dan dibenarkan berbeda karena perbedaan waktu, zaman, lingkungan, stuasi dan sasaran serta tradisi yang sesuai dengan suatu kaidah. Maka studi Islam maupun studi ke-Islaman di wilayah-wilayah secara objektiv akan berhasilkan pandangan dan aplikasi Islam yang benar dan tidak harus sama dengan apa yang dilakukan dan diterapkan di wilayah lainnya



METODOLOGI
STUDI ISLAM





Diterbitkan Oleh
                         Lembaga Penelitian Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Agus Salim  
                         Metro Lampung  2013


 
 







KATA PENGANTAR


Assalamualaikum  Wr. Wb.
Puji syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Pengampun dan Maha Penerima Taubat bagi hamba-hamba-Nya yang mau bertaubat dan mohon ampunan-Nya.
Berkat rahmat dan Hidayah-Nya serta Inayah-Nya pulalah penyusunan  buku Metodologi Studi Islam  ini dapat  diselesaikan dengan baik serta dibaca dan ditela’ah oleh para pemikir, pemerhati, pengembang dan pelaksana pendidikan Islam.
Kajian dalam buku ini difokuskan pada aspek  pengakuan tentang pluralismenya berada pada tataran sosial, yakni bahwa secara sosiologis kita memiliki keimanan dan keyakinan masing-masing. Persoalan kebenaran adalah persoalan dalam wilayah masing-masing agama sehingga diperoleh  pemahaman  yang komprehensif tentang esensi  beragama dan keberagaman dalam masyarakat plural. Pluralisme menuntut suatu pendekatan yang serius terhadap upaya memahami pihak lain dan kerja sama yang membangun kebaikan semua. Semua manusia harus menikmati hak-hak dan kesempatan-kesempatan yang sama, dan seharusnya memenuhi kewajiban-kewajiban yang sama sebagai warga dunia dan warga Negara
Sejak mula kelahiran manusia sudah menghadirkan baku bantah. Bahkan baku bantah itu antara Tuhan Pencipta dengan iblis, karena itu tidak mengherankan  jika kita hasil budidaya manusia sendiri yang dinamakan ilmu pengetahuan menimbulkan baku bantah., tentulah hal ini terjadi antara manusia dengan manusia ( sekurang-kurangnya yang sama-sama menggeluti ilmu pengetahuan Islam terdiri dari dua elemen yaitu aqidah dan syari’ah lalu mendekatinya dengan metode filosofis doktriner, berbeda dengan metodologi yang dipergunakan ulama sebelumnya yang menyatakan  bahwa Islam terdiri dari  aqidah dan muammalah, sedangkan muammalah terbagi menjadi dua  yaitu mammalah yang berhubungan dengan tuhan dan muammalah yang berhubungan dengan manusia mendekatinya dengan metode doktriner saja. Secara teoritis Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya di wahyukan tuhan kepada manusia melalui Muhammad sebagai rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi, tetapi mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia. Pembelajaran ilmu agama Islam  berusaha mendudukkan Islam sebagai objek studi yang perlu dikaji dan dianalisis secara  analisis kritis-rasional, objektif, historis-empiris dan sosiologis. Mengkaji Islam melalui nalar dan historis empiris terhadap nilai-nilai agama Islam. Objek ilmiah studi Islam diistilahkan dengan “Islam pada tiga tingkatan yaitu Islam sebagai wahyu, Islam sebagai pemahaman atau pemikiran dan Islam sebagai pengamalan dalam masyarakat
Sangat disadari  dan tidak menutup kemungkinan  didalam penyusunan buku Metodologi Studi Islam: Reorientasi Pembaruan Islam  ini masih  terdapat kekurangan-kekurangan maupun kesalahan-kesalahan, untuk itu diharapkan  kritik dan saran  yang konstruktif demi penyempurnaan  dalam penyusunan selanjutnya.
            Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada Tim  dan semua pihak  yang telah membantu atas terbitnya buku Metodologi Studi Islam: Reorientasi Pembaruan Islam ini, dan semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Wassalamualaikum  Wr. Wb.

                                                              Metro, September 2014
                                                              Penulis,



 
BAB I
STUDI AGAMA, RUANG LINGKUP, SASARAN, URGENSI DAN SIGNIFIKANSI STUDI AGAMA-AGAMA MELALUI TINJAUAN BERSIFAT ANALITIS KRITIS ESENSI BERAGAMA DAN KEBERAGAMAAN DALAM MASYARAKAT PLURAL

Pendahuluan

Mengapa suatu metode dapat digunakan dalam berbagai obyek? Pertanyaan ini muncul seiring dengan pemikiran dan penalaran akal manusia, atau yang menyangkut dengan pekerjaan fisik. Agama dan kehidupan beragama merupakan fenomena yang tak terlepaskan dari kehidupan dan perjalanan sejarah kehidupan manusia. Agama menjadi sesuatu hal yang sangat penting  dalam pembinaan karakter manusia dan mental manusia dalam menjalani proses kehidupan ini. Bagi seorang muslim, studi Agama  tidak lepas dari metode, yakni suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik guna untuk mencapai suatu pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan oleh Allah di dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkannya kepada Nabi Muhammad SAW.
Dengan demikian, kita dapat memahami petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat  di dalam sumber ajarannya, Al Qur’an dan hadits, tampak ideal dan Agung.

      A. Pengertian Islam dan Agama
Ada dua hal yang mendasar yang penting untuk dipahami dalam studi Islam adalah definisi tentang Islam dan agama. Menurut M. Quraish Shihab sangat sulit untuk bisa merumuskan definisi tentang agama, apalagi didunia ini kita menemukan kenyataan bahwa agama amat beragam. Persoalan yang menjadi topik pembicaraan apakah mau tak mau harus muncul ,”Apakah agama yang masih relefan dengan  kehidupan masa kini ? Sebelum menjawab terlebih dahulu dijawab: Apakah manusia dapat melepaskan diri dari agama ?[1] Islam harus dilihat dari perspektif sejarah sebagai sesuatu yang selalu berubah, berkembang, dan selalu terus berkembang dari generasi ke generasi dalam merespon realitas dan makna kehidupan ini. Sedangkan konsep agama meliputi dua aspek, yaitu pengalaman dalam dan perilaku luar manusia.  Pengalaman dalam dan perilaku luar manusia itu saling terkait. Perilaku luar manusia secara umum merupakan manifestasi dari pengalaman dalamnya, walaupun hal ini tidak berlaku mutlak.[2]
Wilfred Cantwell Smith, sebagaimana dikutip Adams dalam mendefinisikan agama Islam, berpendapat bahwa dalam agama terdapat aspek eksternal keagamaan, sosial dan historis agama yang dapat diobservasi dalam masyarakat. Dengan pemahaman konseptual seperti ini, tujuan studi agama adalah untuk memahami pengalaman pribadi dan perilaku nyata seseorang. Manusia memiliki bermacam ragam kebutuhan batin maupun lahir akan tetapi, kebutuhan manusia terbatas karena kebutuhan tersebut juga dibutuhkan oleh manusia lainnya.
Said Agil Husin Al Munawar berpendapat, bahwa golongan beragama berpegang kepada doktrin mutlak wahyu Tuhan  yang dijadikan sebagai landasan pertimbangan dalam cara berpikir, segala ucapan dan tindakan yang dari sudut sosiologi akan dipandang terpuji jika mempertanggungjawabkan kebebasan berpikir dan menghilangkan rasa takut  dan bimbang dalam menghadap kehidupan, dan menghilangkan rasa kebencian dan permusuhan dalam masyarakat.[3]
2
 
Dengan demikian, aspek yang tersembunyi dan yang nyata dari fenomena keberagaman harus dieksplorasi secara komprehensif oleh studi Islam.  Diantara dua aspek tersebut tidak ada yang berdiri sendiri, melainkan antar satu dengan yang lain saling terkait.
Kaitannya dengan studi Islam, menurut Adams tidak ada metode yang paling tepat untuk mendekati aspek kehidupan dalam atau faith seseorang dan masyarakat beragama. Tetapi pengkaji harus menggunakan tradition atau aspek luar sebagai keberagamaan sebagai pijakan dalam memahami dan melakukan studi agama. Dalam mengkaji Islam sebagai sebuah agama, pengkaji harus melampaui dimensi tradition agar mampu menjelaskan dimensi faith seseorang.
Menurut Adams, pengkaji Islam dalam melakukan studinya bisa menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan normatif dan pendekatan deskriptif. Pendekatan normatif meliputi tiga pendekatan, yaitu pendekatan misionaris tradisional, pendekatan apologetik, dan pendekatan simpatik (irenic). Sedangkan pendekatam deskriptif meliputi pendekatan filologis dan sejarah, pendekatan sosial dan pendekatan fenomenologis.
Secara teetimologi merupakan dari bahasa Arab Dirasah Islamiyah. Dalam kajian Islam di Barat disebut Islamic Studies secara harfiyah adalah kajian tentang hal-hal yang berkaitan dengan keislaman. Secara terminologis adalah kajian secara sistematis dan terpadu untuk mengetahui, memakai dan menganalisis secara mendalam hal-hal yang berkaitan dengan agama Islam, pokok-pokok ajaran Islam, sejarah Islam maupun realitas pelaksanaannya dalam kehidupan.Islam pada hakikatnya membawa ajaran yang bukan hanya mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia. sumber ajaran yang mengambil berbagai aspek ialah Al-Qur'an dan Hadits. Kedua sumber ini sebagai pijakan dan pegangan dalam mengakses wacana pemikiran dan membumikan praktik penghambaan kepadaTuhan, baik bersifat teologis maupun humanistis.Islam secara harfiyah berasal dari bahasa Arab yang mengandung arti selamat, sentosa dan damai. Arti pokok Islam adalah ketundukan, keselamatan dan kedamaian. [4] Tidak mudah bagi kita untuk menentukan pengertian agama, karena agama bersifat batiniah, subyektif, dan individualistis. Kalau kita membicarakan agama akan dipengaruhi oleh pandangan pribadi, juga dari pandangan agama yang kita anut. Selanjutnya Mukti Ali dalam Abudin Nata  pernah mengatakan , barangkali tidak ada kata yang paling sulit diberi pengertian dan definisi selain dari kata agama, pengalaman agama adalah spal batini, subjektif,  dan sangat individualis sifatnya. Senada dengan pendapat Mukti Ali, M. Sastrapanedja dalam Abudin Nata mengatakan  bahwa salah satu kesulitan untuk berbicara masalah agama  secara umum ialah  adanya perbedaan-perbedaan  dalam memahami arti agama, disamping adanya perbedaan juga  dalam cara memahami  serta penerimaan setiap agama  terhadap suatu usaha memahami agama. Setiap agama memiliki intepretasi diri  yang berbeda dan keluasan intepretasi  diri itu juga berbeda-beda.[5]
4
 
Pengertian agama yang diangkat dari apa yang dipraktikkan oleh kaumnya perlu disikapi dengan kritis dan hati-hati. Berkenaan dengan ini Taufik Abdullah misalnya telah mengkritik pendapat Durkheim tentang agama. Taufik Abdullah dalam hal ini mengatakan, barangkali saya tidak perlu bertolak dari sini, pertama ia  (Durkheim) sampai pada kesimpulan tersebut karena ia hanya meneliti agama melalui  tulisan-tulisan para pengembara misionaris dan kehidupan keagamaan di suku-suku Aborigin di Australia yang dianggapnya paling murni. Sedangkan penelitian saya adalah  pada agama yang bersifat universal. Kedua, Durkheim terlalu sekuler bagi selera saya. Demikian Taufik Abdullah menilai. Durkheim misalnya mengatakan,  bahwa makin modern suatu masyarakat  maka makin berfungsi solidaritas yang organik. Dalam suasana ini agama telah kehilangan relevansinya, karena telah digantikan moralitas ilmiah.[6]
Selanjutnya karena demikian banyaknya definisi tentang agama yang dikemukakan ahli, Harun Nasution mengatakan bahwa dapat diberi definisi tentang agama sebagai berikut :
1)      Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi.
2)      Pengakuan terhadapa adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia.
3)      Mengikatkan diri pada suatu  bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia yang mempengaruhi perbuatan manusia.
4)      Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu.
5)      Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari kekuatan gaib.
6)      Pengakuan adanya kewajiban-kewajiban diyakini bersumber pada suatu kekuatan gaib.
7)      Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah  dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam al;am sekitar manusia.
8)      Ajaran yang diwahyukan kepada manusia melalui seorang Rasul.[7]
Dari pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan :
Agama bertitik tolak dari adanya suatu kepercayan terhadap suatu yang lebih berkuasa, lebih agung, lebih mulia dari pada makhluk. Agama berhubungan dengan masalah ketuhanan, dimana manusia yang mempercayainya harus menyerahkan diri kepada-Nya, mengabdikan diri sepenuhnya karena manusia mempercayainya.
1)      Baik agama, religi, dan dien kesemuanya mempunyai pengertian yang sama.
2)      Bahwa agama dalam arti luas merupakan suatu penerimaan terhadap aturan-aturan dari pada kekuatan yang lebih tinggi dari manusia
3)      Aktivitas dan kepercayaan agama, religi, dan dien mencakup masalah: kepercayaan kepada Tuhan.

     B. Ruang lingkup Islam dan Agama
Ruang lingkup Islam yang merupakan produk sejarah misalnya tentang fiqh/mazhab, tasawuf/sufi, filsafat/kalam, seni/arsitektur Islam, budaya/tradisi Islam. Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini  kita melihat semakin tumbuh  dan maraknya kesadaran  dikalangan kaum  muslim untuk lebih patuh  kepada ketentuan-ketentuan hukum Islam. Gejala ini untuk konteks Indonesia misalnya, terlihat pada kebangkitan Jilbab, busana muslim, tuntunan pencantuman label halal-haram  pada makanan, penerapan sistem ekonomi dan perbankan Islam dan sebagainya. Bangunan pengetahuan kita pada wilayah Islam tersebut adalah produk sejarah yang dapat dijadikan sasaran penelitian.[8]
       Sejak tahun 1970-an penelitian agama mulai diperkenalkan oleh beberapa pakar  dan ilmuan kepermukaan Indonesia. Mukti Ali misalnya, mengemukakan bahwa pentingnya sebuah penelitian terhadap masalah-masalah keagamaan. Tidak saja penting, penelitian keagamaan merupakan bagian yang memperkukuh dasar dan pondasi agama itu sendiri. Tanpa upaya demikian, agama hanya akan menjadi urusan yang bersifat individual, eksklusif dan komunal.

     C.  Sasaran Penelitian Agama
6
 
Antara agama dan ilmu pengetahuan masih dirasakan adanya hubungan yang belum serasi. Jaringan komunikasi ilmiah dianggap belum menjangkau agama. Dalam bidang agama terdapat sikap dogmatis, sedang dalam bidang ilmiah terdapat sikap sebaliknya, yakni sikap rasional dan terbuka. Antara agama dan ilmu pengetahuan memang terdapat unsur-unsur yang saling bertentangan. Dari unsur perbedaan itu sulit untuk dipertemukan.
Senada dengan hal diatas Imam Suprayogo mengemukakan, ” bahwa objek sasaran penelitian agama adalah ajaran dan keberagaman. Ajaran adalah teks (tulisan atau lisan), yang menggambarkan doktrin teologis, simbol, norma, dan etika yang harus dipahami, diyakini, disosialisasikan, diamalkan, dilembagakan dalam kehidupan. Ajaran ini bisa berupa teks AlQur’an, Hadits, pemikiran para ulama. Sedangkan keberagamaan adalah fenomena sosial yang diakibatkan oleh agama. Fenomena ini bisa berupa struktur sosial, pranata sosial, dan prilaku sosial.”[9] Studi Islam sebagai kajian tidak lepas dari keduanya. Antara apek sasaran keagamaan dan keilmuan sama-sama dibutuhkan dalam diskursus ini. Oleh karena itu, aspek sasaran Studi Islam meliputi dua hal tersebut, yaitu aspek sasaran keagamaan dan aspek sasaran keilmuan.
1.      Aspek sasaran keagamaan
      IAIN maupun perguruan tinggi agama sebagai lembaga keagamaan, menuntut para pengelola dan civitas akademiknya untuk lebih menonjolkan sikap pemihakan, idealitas, bahkan seringkali diwarnai pembelaan yang bercorak apologis. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal berfungsi dalam menyiapkan generasi penerus. Dalam menannamkan dan membina sikap toleransi.[10] Dari aspek sasaran ini, wacana keagamaan dapat ditransformasikan secara baik dan menjadikan landasan kehidupan dalam berperilaku tanpa melepaskan kerangka normatif. Pertama, Islam sebagai dogma juga merupakan pengalaman universal dari kemanusiaan. Kedua, Islam tidak hanya terbatas pada kehidupan setelah mati, tetapi orientasi utama adalah dunia sekarang. 
2.      Aspek sasaran keilmuan
Studi keilmuan memerlukan pendekatan yang kritis, analitis, metodologis, empiris dan histories. Oleh karena itu, konteks ilmu harus mencerminkan ketidakberpihakan pada satu agama, tetapi lebih mengarah pada kajian yang bersifat obyektif. Dengan demikian, studi Islam sebagai aspek sasaran keilmuan membutuhkan berbagai pendekatan.

Dalam studi Islam, kerangka pemikiran ilmiah di atas ditarik dalam konteks  keislaman. Pengkajian terhadap Islam yang bernuansa ilmiah tidak hanya terbatas  pada aspek-aspek yang normative dan dogmatis, tetapi juga pengkajian yang menyangkut aspek sosiologis dan empiris. Pengkajian Islam ini dapat dilakukan secara paripurna dengan pengujian secara terus menerus atas fakta-fakta empiric dalam masyarakat yang dinilai sebagai kebenaran nisbi dengan mempertemukan pada nilai agama yang bersumber dari wahyu sebagai kebenaran absolute. Dengan demikian, kajian keislaman yang bernuansa ilmiah meliputi aspek kepercayaan normative-dogmatif yang bersumber dari wahyu dan aspek perilaku manusia yang lahir dari dorongan kepercayaan.
8
 
Dikalangan para ahli masih terdapat perdebatan disekitar permasalahan apakah studi Islam (agama) dapat dimasukkan ke dalam bidang ilmu pengetahuan, mengingat sifat dan karakteristiknya  antara ilmu pengetahuan dan agama berbeda. Pada dataran normativitas studi Islam agaknya masih banyak terbebani oleh misi keagamaan yang bersifat memihak, romantis dan apologis, sehingga kadar muatan analisis, kritis , metodologis, historis , empiris terutama dalam menelaah teks-teks  atau naskah-naskah keagamaan produk sejarah terdahulu  kurang begitu ditonjolkan, kecuali dalam lingkungan para peneliti tertentu yang masih sangat terbatas.[11]
Bagi umat Islam, mempelajari Islam mungkin untuk memantapkan keimanan dan mengamalkan ajaran Islam, sedangkan bagi non muslim hanya sekedar diskursus ilmiah, bahkan mungkin mencari kelemahan umat Islam dengan demikian tujuan sasaran studi Islam adalah sebagai berikut:
Pertama, untuk memahami dan mendalami serta membahas ajaran-ajaran Islam agar mereka dapat melaksanakan dan mengamalkan secara benar, serta menjadikannya sebagai pegangan dan pedoman hidup. Memahami dan mengkaji Islam direfleksikan  dalam   konteks   pemaknaan   yang  sebenarnya bahwa Islam adalah agama yang mengarahkan pada pemeluknya sebagai hamba yang berdimensi teologis, humanis, dan keselamatan di dunia dan akhirat. Dengan studi Islam, diharapkan tujuan di atas dapat di tercapai.
Kedua, untuk menjadikan ajaran-ajaran Islam sebagai wacana ilmiah secara transparan yang dapat diterima oleh berbagai kalangan. Dalam hal ini, seluk beluk agama dan praktik-praktik keagamaan yang berlaku bagi umat Islam dijadikan dasar ilmu pengetahuan. Dengan kerangka ini, dimensi-dimensi Islam tidak hanya sekedar dogmentis, teologis. Tetapi ada aspek empirik sosiologis. Ajaran Islam yang diklain sebagai ajaran universal betul-betul mampu menjawab tantangan zaman, tidak sebagaimana diasumsikan sebagian orientalis yang berasumsi bahwa Islam adalah ajaran yang menghendaki ketidak majuan dan tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.[12]
Dalam memahami agama, Abuddin Nata menjelaskan bahwa pendekatan teologis normativ lebih menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap suatu  yang   benar  dibandingkan  dengan    yang   lainnya.   Islam adalah nama suatu agama yang berasal dari Allah, SWT. Nama Islam demikian itu memiliki perbedaan yang luar biasa  dengan nama agama lainnya. Kata Islam tidak mempunyai hubungan dengan orang tertentu atau dari golongan manusia  atau dari suatu negri. Kata Islam adalah nama yang diberikan oleh Tuhan sendiri.[13]
Dengan demikian dapat disimpulkan sasaran studi Islam adalah untuk memahami dan mendalami serta membahas ajaran-ajaran Islam sebagai wacana ilmiah yang dapat diterima oleh berbagai kalangan. Aspek-aspek sasaran studi Islam  yaitu aspek keagamaan dan aspek sasaran keilmuwan.

      D. Urgensi  dan   signifikansi   studi   agama - agama  dalam  melalui   tinjauan
           bersifat  analitis-kritis sehingga diperoleh  pemahaman  yang komprehensif
           tentang esensi  beragama dan keberagaman dalam masyarakat plural.

Berbicara tentang hubungan antar agama, wacana pluralisme agama menjadi perbincangan utama. Pluralisme agama sendiri  dimaknai secara berbeda-beda di kalangan cendekiawan Muslim Indonesia, baik secara sosiologis, teologis maupun etis.
10
 
Dalam pandangan Islam, sikap menghargai dan toleransi kepada pemeluk agama lain adalah mutlak untuk dijalankan (Pluralitas). Namun bukan berarti beranggapan bahwa semua agama adalah sama (pluralisme), artinya tidak menganggap bahwa Tuhan yang kami sembah adalah Tuhan yang kalian sembah. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menentang paham pluralisme dalam agama Islam. Namun demikian, paham pluralisme ini banyak dijalankan dan kian disebarkan oleh kalangan Muslim itu sendiri. Solusi Islam terhadap adanya pluralisme agama adalah dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing. Tapi solusi paham pluralisme agama diorientasikan untuk menghilangkan konflik dan sekaligus menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada.[14]
Durkheim tertarik kepada unsur-unsur solidaritas masyarakat. Dia mencari prinsip yang mempertalikan anggota masyarakat. Email Durkhim menyatakan agama mempunyai fungsi, agama  bukan ilusi, tetapi merupakan fakta sosial yang dapat diidentifikasi dan mempunyai kepentingan sosial.  Bagi Emile Durkhim, agama memainkan peranan yang fungsional, karena agama adalah prinsip solidaritas masyarakat.[15] Secara sosiologis, pluralisme agama adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah berbeda-beda, beragam dan plural dalam hal beragama. Ini adalah kenyataan sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak dapat dipungkiri lagi. Dalam kenyataan sosial, kita telah memeluk agama yang berbeda-beda. Pengakuan terhadap adanya pluralisme agama secara sosiologis ini merupakan pluralisme yang paling sederhana, karena pengakuan ini tidak berarti mengizinkan pengakuan terhadap kebenaran teologi atau bahkan etika dari agama lain. [16]
Sebagai seorang muslim misalnya, Amin Abdullah menyatakan menyadari sepenuhnya bahwa ia  involved (terlibat) dengan Islam. Namun, Amin mengakui bahwa dalam kenyataan sejarah masyarakat adalah multi-complex yang mengandung religious pluralism, bermacam-macam agama. Hal ini adalah realitas, karena itu mau tidak mau kita harus menyesuaikan diri, dengan mengakui adanya religious pluralism dalam masyarakat Indonesia.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa upaya penelitian terhadap agama dimaksudkan untuk melihat gejala yang lebih empirik yang dipandang secara positif. Gejala empirik inilah yang dapat diteliti dengan berbagai sudut pandang analisa yang digunakan. Sebab, dalam agama memiliki keragaman pemahaman. Masing-masing pemahaman tersebut merupakan akumulasi yang muncul dari doktrin agama yang telah terkonstrur menjadi prilaku, tindakan bahkan ideologi.
Dalam pandangan Amin Abdullah (1999: 9) agama pada saat ini tidak dapat didekati dan difahami hanya lewat pendekatan teologis-normativ semata-mata, sebab ada pergeseran paradigma dari pemahaman yang berkisar pada doktrin ke arah entitas sosiologis, dari diskursus esensi ke arah eksistensi.[17]
Pengakuan pluralisme secara sosiologis ini juga dikemukakan oleh Mukti Ali. Mukti Ali secara sosial tidak mempersoalkan adanya pluralisme, dalam pengakuan-pengakutan sosial, tetapi ia sangat tegas dalam hal-hal teologis. Ia menegaskan bahwa  keyakinan terhadap hal-hal teologis tidak bisa dipakai hukum kompromistis. Oleh karena itu, dalam satu persoalan (objek) yang sama, masing-masing pemeluk agama memiliki sudut pandang yang berbeda-beda, misalnya pandangan tentang al-Qur’an, Bibel, Nabi Muhammad, Yesus dan Maria.
Menurutnya, orang Islam melakukan penghargaan yang tinggi terhadap Maria dan Jesus. Hal itu merupakan bagian keimanan orang Islam. Orang Islam sungguh tidak dapat mempercayai (mengimani) ketuhanan Jesus Kristus tetapi mempercayai  kenabiannya sebagaimana Nabi Muhammad. Kemudian, orang Islam juga tidak  hanya memandang al-Qur’an tetapi  juga Torah dan Injil sebagai Kitab Suci (Kitabullah). Yang menjadi persoalan, apakah Kitab Bibel yang ada sekarang ini otentik atau tidak, dan apakah seluruhnya merupakan wahyu Tuhan. Hal ini bukan berarti bahwa orang Islam  selalu menolak Wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Musa, Isa atau rasul-rasul lain, meskipun orang Islam tidak bisa mengakui bahwa Bibel sebagaimana sebelum mereka hari ini terdiri dari Kalam Tuhan seluruhnya. Namun demikian, orang Islam percaya bahwa Bibel  memuat/mengandung  Kalam Tuhan.[18]
12
 
Tampak Mukti Ali ingin menegaskan bahwa masing-masing agama memiliki keyakinan teologis yang tidak bisa dikompromikan. Islam memiliki keimanan sendiri, bahkan termasuk mengenai hal-hal yang diyakini oleh umat agama lain, misalnya konsep tentang Nabi Isa. Begitu juga, Kristen memiliki keimanan sendiri, bahkan termasuk mengenai hal-hal yang  diyakini oleh Islam, misalnya konsep tentang Nabi Muhammad. Berkaitan dengan keyakinan teologi tersebut Abudin Nata dalam Amin Abdullah mengatakan bahwa, pendekatan teologi semata-mata tidak dapat memecahkan masalah essensial pluralitas agama saat sekarang ini.
Berkenaan dengan ini, saat ini muncul apa yang disebut dengan istilah analitis kritis, yaitu suatu usaha manusia untuk memperoleh pemahaman penghayatan imannya  atau penghayatan agamanya, suatu penafsiran  atas sumber-sumber aslinya dan tradisinya dalam konteks permasalahan masa kini., yaitu teologi yang bergerak antara dua kutub teks dan situasi, masa lampau dan masa kini. Hal demikian mesti ada  dalam setiap agama meskipun dalam bentuk dan fungsinya  yang berbeda-beda.[19]
 Jadi, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa  pengakuan tentang pluralismenya berada pada tataran sosial, yakni bahwa secara sosiologis kita memiliki keimanan dan keyakinan masing-masing. Persoalan kebenaran adalah persoalan dalam wilayah masing-masing agama sehingga diperoleh  pemahaman  yang komprehensif tentang esensi  beragama dan keberagaman dalam masyarakat plural.
Anwar Harjono menegaskan,  Islam telah memasuki  arena komunikasi  antara berbagai bangsa  yang  mempunyai kepercayaan, kebangsaan, dan kebudayaan  yang berbeda- beda dengan pemikiran terbuka tanpa perasaan curiga, Anwar Harjono mengembangkan pendapatnya bahwa Islam tidak menyemai permusuhan daam berbagai bangsa, dan Islam mengembangkan  persaudaraan  dan  ;persamaan  diantara manusia berbagai bangsa.[20]
Senada dengan pendapat di atas Mukti Ali menjelaskan bahwa ada beberapa pemikiran diajukan orang untuk mencapai kerukunan dalam kehidupan beragama. Pertama, sinkretisme, yaitu pendapat yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Kedua, reconception, yaitu menyelami dan meninjau kembali agama sendiri dalam konfrontasi dengan agama-agama lain. Ketiga, sintesis, yaitu menciptakan suatu agama baru yang elemen-elemennya diambilkan dari pelbagai agama, supaya dengan demikian tiap-tiap pemeluk  agama merasa bahwa sebagian dari ajaran agamanya telah terambil dalam agama sintesis (campuran) itu. Keempat, penggantian, yaitu mengakui bahwa agamanya sendiri itulah yang benar, sedang agama-agama lain adalah salah; dan berusaha supaya orang-orang yang lain agama masuk dalam agamanya. Kelima, agree in disagreement (setuju dalam perbedaan), yaitu percaya bahwa agama yang dipeluk itulah agama yang paling baik, dan mempersilahkan orang lain untuk mempercayai bahwa agama yang dipeluknya adalah agama yang paling baik. Diyakini bahwa antara satu agama dan agama lainnya, selain terdapat perbedaan, juga terdapat persamaan.[21]
Pluralisme pada satu sisi mensyaratkan ukuran-ukuran kelembagaan dan legal yang melindungi dan mensyahkan kesetaraan dan menembangkan rasa persaudaraan di antara umat manusia sebagai pribadi dan kelompok, baik ukuran-ukuran itu bersifat bawaan atau perolehan.
Begitu pula pluralisme menuntut suatu pendekatan yang serius terhadap upaya memahami pihak lain dan kerja sama yang membangun kebaikan semua. Semua manusia harus menikmati hak-hak dan kesempatan-kesempatan yang sama, dan seharusnya memenuhi kewajiban-kewajiban yang sama sebagai warga dunia dan warga Negara. Setiap kelompok seharusnya memiliki hakhak untuk berkumpul (berhimpun) dan berkembang, memelihara identitas dan kepentingannya, dan menikmati kesetaraan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam negara dan dunia internasional.
14
 
Gusdur  menegaskan bahwa Ajaran agama yang paling mendalam dan fundamentil, yang sangat doktriner maupun ajaran- ajaran praktis, dalam proses pembentukan tingkahlaku masyarakat yang menganutnya  akan membentuk sistem nilai. Senada dengan pendapat tersebut Koentjcoroningrat mengatakan, dikategorikan  dalam bentuk wujud kebudayaan  sebagai kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, yaitu wujud ideal dari kebudayaan yang sifatnya abstrak, yang loksainya dalam alam pikir ”  manusia warga masyarakat”. [22] Pluralisme berarti bahwa kelompok-kelompok minoritas dapat berperan secara penuh dan setara dalam kelompok mayoritas dalam masyarakat, sembari mempertahankan identitas dan perbedaan mereka yang khas. Pluralisme harus dilindungi oleh hukum dan Negara, baik hukum Negara maupun hukum internasional.
Sementara itu, Abdurrahman Wahid menegaskan masalah pluralisme bukan dalam pengertian pluralisme yang dikemukakan oleh Djohan Effendi dan Nurcholish Madjid di muka. Ia menekankan pandangan keterbukaan untuk menemukan kebenaran di mana pun juga.[23] Signifikansi   tinjauan pluralisme yang ditekankan Gus Dur adalah pluralisme dalam bertindak dan berpikir. Inilah yang melahirkan toleransi. Sikap toleran tidak bergantung pada tingginya tingkat pendidikan formal atau pun kepintaran pemikiran secara alamiah, tetapi merupakan persoalan hati, persoalan perilaku. Tidak pula harus kaya dulu. Bahkan, seringkali semangat ini terdapat justru pada mereka yang   tidak pintar juga tidak kaya, yang biasanya disebut “orang-orang terbaik”. Gus Dur memberi contoh sebagaimana yang dilakukan oleh Kyai Iskandar, dengan cara bergaul secara berbaur dalam masyarakat.
Gus Dur mengembangkan pandangan anti eksklusivisme agama. Menurutnya, berbagai peristiwa kerusuhan yang berkedok agama di beberapa tempat adalah akibat adanya eksklusivisme agama.[24] Apa yang disampaikan oleh Gus Dur  sebenarnya lebih merupakan otokritik bagi umat Islam sendiri, karena adanya politisasi agama dan pendangkalan agama.
Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk mengembangkan sikap permusuhan kepada mereka selama tidak memerangi agama Islam. Selain itu, menurutnya, esensi “saling menyantuni” justru terletak pada sikap-sikap di mana kita bisa saling mengoreksi sesama orang Islam. Nabi pernah mencontohkan, bahwa jika Fatimah (putri beliau) melakukan pencurian maka ia tetap harus dihukum. Jadi, sikap santun tidak boleh dengan standar ganda atau tidak boleh mengabaikan keadilan kepada siapa pun, termasuk orang berlainan agama.
Gus Dur memandang bahwa tidak menerima konsep dasar  bukan berarti mesti mengembangkan sikap permusuhan atau perlawanan. Kristen dan Yahudi tidak bisa menerima konsep dasar Islam adalah sudah pasti. Begitu juga sebaliknya, Islam juga tidak bisa menerima konsep dasar agama Kristen dan Yahudi. Oleh karena itu, menurutnya, kita tidak akan goyang dari konsep Tauhid, tapi kita menghargai  pendapat orang lain. Pendapat orang lain ini tentu saja berarti keyakinan orang lain.
Taufik Abdullah mengatakan, bahwa sejak mula kelahiran manusia sudah menghadirkan baku bantah. Bahkan baku bantah itu antara Tuhan Pencipta dengan iblis, karena itu tidak mengherankan  jika kita hasil budidaya manusia sendiri yang dinamakan ilmu pengetahuan menimbulkan baku bantah., tentulah hal ini terjadi antara manusia dengan manusia ( sekurang-kurangnya yang sama-sama menggeluti ilmu pengetahuan.[25]      
16
 
 Senada dengan pendapat diatas Muhammad Abduh dalam Muhammad Al Bahiy dalam kritikannya mengatakan ” apakah tidak terbetik dihati kita untuk kembali kepada pegangan kaum salaf kita yang benar, kita tinggalkan segala bid’ah oleh orang – orang setelah mereka, sebab itu akan mematikan kita bersama mereka. Syekh Muhammad Abduh telah menggoyahkan fanatisme suatu mazhab untuk kembali kepada sumber agama Islam semula yakni AlQur’an dan hadits.[26]  Sementara itu, Alwi Shihab menunjukkan dua komitmen penting yang harus dipegang oleh dialog, yaitu sikap toleransi dan  sikap pluralisme. Toleransi adalah upaya untuk menahan diri agar potensi konflik dapat ditekan.
Adapun yang dimaksud dengan pluralisme adalah (1) tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan, namun adanya keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan, dalam kebhinekaan. (2) pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme menunjuk pada suatu realita di mana aneka ragam agama, ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Namun, interaksi positif antar penduduk ini, khususnya di bidang agama, sangat minimal, kalaupun ada. (3) konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Karena, konsekuensi dari paham relativisme agama bahwa doktrin agama apapun harus dinyatakan benar. Atau, “semua agama adalah sama”.
Oleh karena itu, seorang relativis tidak akan mengenal, apalagi menerima, suatu kebenaran universal yang berlaku untuk semua dan sepanjang masa. Namun demikian, paham pluralisme terdapat unsur relativisme, yakni unsur tidak mengklaim kebenaran tunggal (monopoli) atas suatu kebenaran, apalagi memaksakan kebenaran tersebut kepada pihak lain. Paling tidak, seorang pluralis akan menghindari sikap absolutisme yang menonjolkan keunggulannya terhadap pihak lain. (4) pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut.[27]  
Satu hal yang ditegaskan oleh Alwi adalah apabila konsep pluralisme agama hendak diterapkan di Indonesia, maka ia harus bersyaratkan komitmen yang kokoh terhadap agama masing-masing. Seorang pluralis, dalam berinteraksi dengan aneka ragam agama, tidak saja dituntut untuk membuka diri, belajar dan menghormati mitra dialognya, tetapi yang terpenting ia harus committed terhadap agama yang dianutnya.
Hal ini untuk menghindari relativisme agama. Ia menekankan perlunya membudayakan sikap keterbukaan, menerima perbedaan, dan menghormati kemajemukan agama, dibarengi loyalitas komitmen terhadap agama masing-masing.  Alwi menegaskan, Islam sejak semula menganjurkan dialog dengan umat lain. Dikatakan, terhadap pengikut Isa a.s. dan Musa a.s., al-Qur’an menggunakan kata ahl al-kitab (yang memiliki kitab suci). Penggunaan kata ahl, yang berarti keluarga, menunjukkan keakraban dan kedekatan hubungan.
Dari berbagai pandangan tentang pluralisme di atas penulis dapat mengklasifikasi ada tiga model pluralisme. Pertama, pandangan pluralisme yang masih menyisakan adanya absolutisme agama. Pandangan ini dikemukakan Rasjidi dan Natsir. Kedua, pandangan pluralisme liberal. Ini dikemukakan oleh Djohan Effendi, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid Keempat, pandangan pluralisme yang menempati posisi antara absolutisme agama dan pluralisme liberal. Pandangan ini masih memegang adanya hal-hal yang bersifat absolut yang tidak dapat dipertemukan atau disamakan, tetapi juga mengakui bahwa pluralisme itu tidak hanya sekedar ada namun juga harus diwujudkan dalam keterlibatan aktif dalam memahami perbedaan dan persamaan. Ada sikap terbuka, menerima perbedaan, dan menghormati kemajemukan agama, tetapi ada loyalitas komitmen terhadap agama masing-masing.
18
 
Sementara itu Azzumardi Azra mengatakan, bahwa dalam agama manapun konsepsi manusia tidaklah bersumber dari pengetahuan, tetapi dari kepercayaan pada suatu otoritas  mutlak yang berbeda  dari satu agama dengan agama lainnya. Agama juga merupakan suatu realitas sosial, ia hidup dan termanifestasikan  di dalam masyarakat, disini doktrin agama yang merupakan konsepsi tentang realitas harus berhadapan dengan kenyataan adanya, dan bahkan keharusan  atau sunnatullah perubahan sosial dan keberagaman dalam masyarakat plural.[28]Perbedaan suku-bangsa, agama, adat dan kedaerahan sering kali  disebut sebagai ciri masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk. Istilah masyarakat majemuk (plural societies) ini diperkenalkan oleh J.S. Furnivall untuk menggambarkan masyarakat Indonesia pada zaman Hindia-Belanda. Plural societies yaitu suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain dalam kesatuan politik. Masyarakat Indonesia zaman Hindia Belanda tersebut adalah tipe masyarakat tropis dimana mereka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai memiliki perbedaan ras
Oleh karena itu, apa pun alasannya, multikultural atau keberagaman itu harus diterima, dirawat, dan dilestarikan agar tidak menjadi momok yang dapat merusak kebersamaan. Namun, untuk membangun dan mengembangkan masyarakat yang multikultural ini jelas tidak mudah. Tidak pelak selalu melahirkan komplikasi sosial yang rumit, yang sedikit banyak menciptakan peluang tercabik-cabiknya kebinekaan.
Realitas menunjukkan, semangat kebersamaan dalam keberagaman yang selalu dibanggakan itu ternyata sangat rawan oleh konflik kepentingan antaragama, antaretnis, dan antarbudaya. Jadi, dalam kebersamaan itu masih terus menyimpan noda yang dapat merusak keberagaman. Fenomena riil masyarakat yang kadang-kadang mudah terprovokasi itulah yang kemudian mencuatkan kegelisahan tentang lahirnya konflik yang bisa terjadi pada pilpres belum lama ini, jika kondisi politik tidak bisa dikendalikan. Lihat bagaimana kampanye hitam yang begitu mengganas pada Pilpres 2014.




[1] M. Quraish Shihab, Wawasan Al Quran, (Bandung: Mizan 1997), h. 375
[2] Pendekatan Dalam Studi Islam (Studi atas Pemikiran Charles J. Adams), donload google.com 10 Agustus 2011
 [3] Said Agil Husin, Fiqih Hubungan Antar Agama, (Jakarta : Ciputat Press, 2003).  h.18
[4] Manshur, Faiz, (www Google.com 10 Agustus 2011)
[5] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 1998), h. 8
[6] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, h. 12
[7] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam h. 14
[8] Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 214
[9] Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial Agama, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2003), h. 20
[10] Said Agil Husin, Fiqih Hubungan Antar Agama, h. 15
[11] Amin Abdullah Dalam Abudin Nata, Studi Agama Normalitas atau Historitas, (Yogyakarta Pustaka Pelajar, 1999), h. 150
[12] Zada, Khamami, (www Google.com 10 Agustus 2011)
[13] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, h. 65
[14] Pluralisme Agama ( www. Google.com) donload , 11 Agustus 2011
[15] Syamsuddin Abdullah, Agama dan Masyarakat, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h.31
[16] 1bid , (donload 11 Agustus 2011)
[17]Abdullah, M Amin, (www. Google.com, donload 11 Agustus 2011)
[18]Mukti Ali, (www. Google.com), donload 11 Agustus 2011
[19] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, h. 31
[20] Anwar Harjono, Pemikiran Berwawasan Iman, Islam ( Jakarta, Gema Insani Press, 1995), h.38
[21]A. Mukti Ali, Op. Cit. (donload 11 Agustus 2011)
[22] Abdurrahman Wahid, Muslim Di Tegah Pegumulan, ( Jakarta: Lappenas, 1983), h.56
[23]Abdurrahman Wahid, (www. Google.com donload 11 Agustus 2011)
 [24]Ibid,  (www. Google.com donload 11 Agustus 2011)
[25]Taufik Abbdullah, Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Tiara Wacana1989),  h. 97
[26] Muhammad Al  Bahiy, Pemikiran Islam Modern, (Jakarta: Pustaka Panjimas , tth), h.88.
[27]Alwi Shihab, (www. Google.com) donload 11 Agustus 2011)
        [28] Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia, h. 11

 
BAB II
ISLAM SEBAGAI OBJEK KAJIAN

A.   Pengertian Metodologi dan Studi Islam.
Metodologi studi Islam terdiri dari dua kata yaitu Metodologi dan studi Islam. Pada bahasa Arab Metodologi studi Islam dipahami sebagai dirosah Islamiyah, pada bahasa Inggris dipahami sebagai Islamic Studies, pada istilah Jerman dipahami sebagai Islam Wissenschaft.
Metodologi asal kata dari bahasa Latin methodologiamethodus logia dan logy. Istilah ini pertama kali digunakan  pada tahun 1800. Makna metodologi adalah  sistem yang luas dari prinsip atau aturan metode atau prosedur yang khusus  diturunkan untuk menafsirkan atau memecahkan berbagai masalah dalam lingkup tertentu pada disiplin ilmu. Metodologi bukanlah rumus tetapi satu set praktek.  Sedangkan studi Islam dipahami sebagai kajian yang bersifat ilmiah dan objektif memahami tentang Islam.
Studi Islam merupakan upaya yang bersifat aspektual, polimetodis, pluralistik dan tanpa batas. Studi Islam bersifat aspektual bahwa Islam harus diperlakukan sebagai salah satu aspek yang eksistensi. Studi Islam bersifat polimetodis bahwa berbagai metode atau disiplin yang berbeda digunakan untuk memahami Islam, oleh karena itu perlu memahami Islam dengan metode sejarah, penyelidikan sosiologis, fenomenologis, dan sebagainya. Studi Islam bersifat pluralistik karena ada banyak agama-agama dan tradisi lain disamping Islam.  
20
 
Studi Islam mulai dikembangkan di Indonesia oleh Mukti Ali pada akhir dekade tahun 70-an. Kajian masih bersifat stadium awal, terfokus pada persoalan praktis menyangkut penataan, pembinaan dan pengembangan hubungan antar pemeluk agama di Indonesia. Memasuki dasawarsa tahun 80-an, studi Islam memasuki fase baru yang segar dimana mulai muncul kajian-kajian yang secara tematik lebih variatif dan secara kualitatif lebih intensif. Situasi ini disebabkan oleh perkembangan dunia pendidikan, teknologi komunikasi yang secara langsung membantu perkembangan internal kajian Islam .

Menurut Mukti Ali bahwa :

Islam terdiri dari dua elemen yaitu aqidah dan syari’ah lalu mendekatinya dengan metode filosofis doktriner, berbeda dengan metodologi yang dipergunakan ulama sebelumnya yang menyatakan  bahwa Islam terdiri dari  aqidah dan muammalah, sedangkan muammalah terbagi menjadi dua  yaitu mammalah yang berhubungan dengan tuhan dan muammalah yang berhubungan dengan manusia mendekatinya dengan metode doktriner saja[1].

Selanjutnya study Islam di Barat secara sederhana dikatakan sebagai usaha untuk mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam, dengan perkataan lain sebagai usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan memahami serta membahas secara mendalam tentang seluk beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam baik melalui ajaran, sejarah, maupun praktik yang pelaksanaannya secara nyata pada kehidupan sehari-hari.
Usaha mempelajari agama Islam bukan hanya dilaksanakan oleh kalangan umat Islam saja, melainkan juga dilaksanakan oleh orang-orang diluar kalangan umat Islam. Study keIslaman dikalangan umat Islam tujuan dan motifasinya berbeda dengan yang dilakukan oleh orang-orang diluar kalangan Islam, dikalangan umat Islam, study keIslaman bertujuan untuk mendalami dan memahami serta membahas ajaran-ajaran Islam agar dapat melaksanakan dan mengamalkannya dengan benar. Sedangkan diluar kalangan umat Islam, study keIslaman bertujuan untuk mempelajari seluk beluk agama dan praktek keagamaan yang berlaku dikalangan umat Islam, yang semata-mata sebagai ilmu pengetahuan.
Selanjutnya secara harfiyah studi Islam adalah kajian tentang hal-hal yang berkaitan dengan keIslaman. Spesifikasi pengertian terminologis tentang studi Islam dalam kajian ini yaitu kajian secara sistematis dan terpadu untuk mengetahui memahami dan menganalisis secara mendalam hal-hal yang berkaitan dengan agama Islam baik yang menyangkut sumber-sumber ajaran Islam, pokok ajaran Islam, sejarah Islam, maupun realitas pelaksanaannya dalam kehidupan.
Secara teoritis Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya di wahyukan tuhan kepada manusia melalui Muhammad sebagai rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi, tetapi mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia.
Selanjutnya memahami dan mengkaji Islam dalam konteks pemaknaan yang sebenarnya bahwa Islam merupakan agama yang mengarahkan pemeluknya pada dimensi teologis, humanis, dan keselamatan baik di dunia maupun di akhirat.
Selain daripada itu sumber ajaran Islam berfungsi pula sebagai pokok ajaran Islam. Islam sebagai sumber ajaran mengindikasikan bahwa ajaran Islam berasal dari sesuatu yang dapat digali dan di pergunakan untuk kepentingan operasionalisasi ajaran Islam dan pengembangannya sesuai dengan kebutuhan dan tantangan yang di hadapi umat Islam.

      B. Studi Islam Dalam Peta Kajian Ilmiah
22
 
                 Pembelajaran ilmu agama Islam  berusaha mendudukkan Islam sebagai objek studi yang perlu dikaji dan dianalisis secara  analisis kritis-rasional, objektif, historis-empiris dan sosiologis. Mengkaji Islam melalui nalar dan historis empiris terhadap nilai-nilai agama Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadist harus disertai pendekatan keagamaan agar terbangun  sikap dan perilaku  yang memiliki  komitmen, konsentrasi dan dedikasi terhadap Islam sebagai agama yang diyakini kebenarannya atas dasar wawasan keilmuan keIslaman yang dimilikinya.[2]
Studi Islam pada peta kajian ilmiah adalah upaya pengkajian Islam dengan menerapkan metode ilmiah,  khususnya  dalam konteks sosial sains. Objek ilmiah studi Islam diistilahkan dengan “Islam pada tiga tingkatan yaitu Islam sebagai wahyu, Islam sebagai pemahaman atau pemikiran dan Islam sebagai pengamalan dalam masyarakat”
Islam sebagai wahyu adalah hal sudah tetap, yakni Islam seperti halnya yang tersebut dalam al-Quran, memahami Islam sebagai wahyu melalui studi tafsir al-Qur’an al-Karim .
Konsep kajian Islam sebagai pemikiran atau pemahaman adalah kajian yang berangkat dari sumber-sumber yang diakui  sebagai sumber-sumber Islam, seperti al-Quran al-Karim, Hadist, Ijma’ dan lain sebagainya, mengkaji Islam pada tataran ini memberikan ruang untuk mengkaji Islam sebagaimana dipahami oleh masyarakat, seperti “konsep wihdatul wujud dalam Tarikat Naqsyabandiah, atau “syari’ah menurut MUI” dan sebagainya. Kajian Islam sebagai pemahaman akan menyediakan ruang studi yang sangat luas, seluas agama Islam menyebar di dunia.
Sedangkan Islam pada tataran terakhir, yakni Islam sebagai pengamalan, juga memberikan ruang kajian ke-Islaman yang sungguh luas. Salah satu perbedaan antara Islam sebagai pemahaman dengan Islam pada pengamalan adalah aktualisasiya pada kehidupan. Karena bisa saja suatu pemahaman tentang Islam tidak teraplikasikan dalam pengamalan, atau malah bertentangan dengan fakta. Objek kajian studi Islam ini juga memenuhi persyaratan yang diterapkan kepada ilmu-ilmu pengetahuan lainnya, dapat di observasi, dapat diteliti kembali kebenarannya, dapat diuji intersubjektif dan interdisipliner.
Studi Islam mempunyai kerangka kerja, kerangka teoritis, pembahasan masalah, penyelesaian masalah, inquiry, hipotesis dan kesimpulan. Perangkat langkah-langkah metodologis yang merupakan syarat keilmiahan sebuah kajian telah dipenuhi oleh studi Islam. Studi Islam telah memenuhi syarat-syarat ilmiah artinya studi Islam telah menempati jajaran dan peta kajian-kajian ilmiah lainnya. Diharapkan para pengkaji ke-Islaman bisa mempertahankan keilmiahan kajiannya, hingga Islam bisa dipahami dengan lebih objektif, universal dan humanis. Dari hasil pengamatan  dan kajian peristiwa kehidupan  sebagai laboratorium studi Islam pada  gilirannya akan terjadi proses internalisasi nilai-nilai agama  keimanan dan akidah untuk selanjutnya dapat menumbuhkan motivasi  dalam diri seseorang  menjalankan dan  mentaati  nilai-nilai dasar agama  yang telah terinternalisasikan  dalam dirinya. [3]
Meski demikian, beberapa kendala menurut beberapa golongan yang mengakibatkan studi-studi ke-Islaman pada beberapa kajian tidak bisa dipandang sebagai ilmiah, dan tentu pendapat mereka itu juga disanggah oleh beberapa golongan lainnya. Seperti studi sastra Islam yang memang juga merupakan problem yang dihadapi oleh studi sastra pada umumnya, misalnya kajian-kajian tentang sastra dipandang tidak bisa mempertahankan keilmiahannya karena tidak bisa melengkapi syarat-syarat keilmiahan intersubjektif .
24
 
Selain itu, bagi para pengkaji Islam yang shaleh-shaleh dalam pengertian tradisional dalam beberapa objek terdapat keterasingan dalam mengkaji Islam bila ingin menjadikan kajian tersebut memenuhi syarat ilmiah yang diajukan oleh para sarjanawan ilmu-ilmu lain, seperti sejarah Islam bagi pengkaji muslim, sejarah Islam tidak bisa dilepaskan dari wahyu, bahwa kepintaran dan kebijakan Muhammad tidak semata-semata hasil dari usahanya dalam bermasyarakat akan tetapi juga merupakan bimbingan tuhan. Disinilah persoalan kemudian muncul karena syarat “keilmiahan” sebuah kajian tidak bisa menerima sesuatu tanpa ada sumber yang bisa dibuktikan, khususnya dalam pemahaman sejarawan Barat.
Akan tetapi tentu saja hal ini dapat dibantah karena kerangka dan langkah-langkah metodologi kajian tidak harus sama dengan kajian lainnya. Islam mengakui wahyu, ilham dan intuisi sebagai sumber pengetahuan sementara aliran rasionalis tidak mengakuinya. Aliran rasionalis harus lebih rendah hati dan sadar bahwa mengkaji Islam dalam segala aspeknya tidak akan bisa dilepaskan secara total dari wahyu, agar sebuah kajian keIslaman dapat menghasilkan kesimpulan yang lebih mendekati kebenaran.
Karena studi Islam berobjek kepada tiga tataran objek kajian yaitu Islam sebagai wahyu, Islam sebagai pemahaman atau pemikiran dan Islam sebagai pengamalan dalam masyarakat, maka dapat diartikan bahwa kebanyakan studi Islam masuk dalam bagian ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora. 

C.  Tujuan Mempelajari Metodologi Studi Islam

Studi Islam adalah salah satu studi yang mendapat perhatian dikalangan ilmuwan. Jika ditelusuri secara mendalam, nampak bahwa studi Islam mulai banyak dikaji oleh para peminat studi agama dan studi-studi lainnya. Dengan demikian, studi Islam layak untuk dijadikan sebagai salah satu cabang ilmu favorit. Artinya, studi Islam telah mendapat tempat dalam percaturan dunia ilmu pengetahuan.     
          Islam sebagai agama tidak hanya mencakup persoalan yang trasedental akan tetapi mencakup pula berbagai persoalan seperti  ekonomi, sosial, budaya, dan dimensi-dimensi lain dalam kehidupan manusia. Jika tinjau dari perkembangan Islam masa awal ajaran Islam telah mengalami perkembangan, terkait erat dengan persoalan-persoalan historis kultural. Perkembangan tersebut dapat diamati dari praktek-praktek keagamaan diberbagai wilayah Islam, dimana antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lain berbeda-beda dalam praktek sosial keagamaan, sehingga benang merah yang memisahkan antara wilayah agama dan wilayah sosial dan budaya yang telah menyatu dengan agama itu sendiri menjadi tidak jelas.
           Studi Islam  yang dilakukan oleh kebanyakan sarjana-sarjana Barat  nonmuslim  disebut Islamic Studies. Islam bukan lagi  sebagai otoritas mutlak  bagi umat pemeluknya  dalam pengkajiannya, namun terbuka  bagi kalangan mana saja  untuk melakukan kajian Islam, baik secara selintas maupun mendalam. [4]
          Islam seperti agama-agama lainnya pada level historis empiris sarat dengan berbagai kepentingan yang menempel dalam ajaran dan batang tubuh ilmu-ilmu keagamaan itu sendiri. Campur aduk terkait “agama” dengan berbagai “kepentingan” sosial kemasyarakatan menambah rumitnya mengatasi persoalan agama.
          Perjalanan panjang sejarah Islam yang terhitung mulai dari abad 7 H sampai dengan abad ke 15 H dewasa ini, menjadikan Islam sebagai agama yang merambah keberbagai wilayah didunia, karena sesuai dengan misinya sebagai agama rahmatan lil alamin. Islam pun pernah menjadi kekuatan dan  bagian penting dalam sejarah peradaban dunia.
26
 
          Salah satu persoalan mendesak untuk segera dipecahkan adalah masalah metodologi. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, kelemahan dikalangan umat Islam dalam mengkaji Islam secara komperehensif adalah tidak menguasai metodologi. Kelemahan ini semakin terasa manakala umat Islam, khususnya di Indonesia, tidak menjadi produsen pemikiran akan tetapi konsumen pemikiran. Jadi kelemahan umat Islam bukan terletak pada kurangnya penguasaan materi namun pada cara-cara penyajian materi yang dikuasai.
          Kedua, ada anggapan bahwa studi Islam dikalangan   ilmuwan telah merambah ke berbagai wilayah, memasuki ke studi kawasan filologi, dialog, agama, antropologi, arkeologi, dan sebagainya.  
          Disamping itu juga, perbedaan bentuk ekspresi dan karakteristik Islam antara satu wilayah dengan yang lainnya membuka wacana mengenai hubungan antara hal-hal yang bersifat normatif dan historis dari agama. Atas dasar itu, pemahaman terhadap persoalan hubungan antara normativitas dan historisitas sangat penting dalam rangka menguraikan esensi atau substansi dari ajaran yang nota benenya sudah terlembagakan, apalagi dalam konteks saat ini.
          Selain itu, untuk menghindari terjadinya pemahaman yang bersifat campur aduk tidak dapat menunjukkan secara distingtif mana wilayah agama dan mana wilayah tradisi atau budaya. Bila pencampuradukan itu terjadi, selanjutnya tidak akan bisa dihindari munculnya pemahaman yang distortif terhadap konsep kebenaran, antara yang absolut dan relatif.
D.  Manfaat Mempelajari Metodologi Studi Islam
                  Dengan mempelajari metodologi studi Islam memberikan ruang dalam pemikiran yang lebih kritis terhadap persoalan agama, sehingga tidak menganggap bahwa ajaran Islam klasik dianggap sebagai taken for granted, hal ini didasari atas adanya  pujian paradoksal terhadap dunia Islam. Dikatakan, salah satu penyebab kegagalan Islam dewasa ini justru disebabkan oleh keberhasilannya yang gilang gemilang pada masa lalu, baik karena keyakinan akan ajarannya yang sudah mutlak sempurna serta warisan budaya masa lalu yang amat kaya dan menakjubkan, seakan tidak ada lagi ruang bagi umat Islam untuk melakukan inovasi, yang ada adalah melakukan konservasi, revitalisasi, dan kembali kepada kaidah-kaidah lama yang dipersepsikan sebagai zaman keemasan. Kuatnya memori of the past yang kemudian menjadi semacam ideologi yang disakralkan, maka dunia Islam secara psikologis merasa memiliki dunia tersendiri. Sikap ketertutupan ini pada urutannya membatasi kita untuk bisa melihat dan menerima realita dunia baru. Bahwa dunia pada abad lalu bukanlah dunia yang kita huni hari ini.  Mengimbangi alur pemikiran keagamaan seringkali menonjolkan warna pemikiran keagamaan yang bersifat teologis-partikularistik. Hampir semua pengamatan sosial keagamaan sepakat bahwa pemikiran teologi, seringkali membawa kearah ketersekatan’ umat. Ketersekatan dan keterkotak-kotakan yang tidak dapat terhindarkan.[5]
 Menurut Amin Abdullah,” ada dua ciri menonjol corak pemikiran teologis. Pertama, pemikiran teologis menekankan perlunya personal commitment terhadap ajaran agama yang dipeluknya. Agama adalah persoalan hidup dan mati. Pemeluk agama tertentu akan mempertahankan ajaran-ajaran agamanya dengan gigih hingga rela berkorban. Di sini agama erat kaitannya dengan emosi. Kedua, ‘bahasa” yang digunakan pemeluk agama adalah bahasa seorang pelaku” atau pemain” (actor) bukan bahasa pengamat atau peneliti dari luar (spectator). Karenanya kesetiaan pada agama berimplikasi menyeluruh terhadap kehidupannya untuk dapat mendialogkan ilmu humaniora klasik seperti Fikih, Hadits, Kalam, Ulumul Qur’an dengan ilmu-ilmu humaniora kotemporer sehingga Islam dapat dijadikan sebagai ajaran yang mampu menjadi obat mujarab dalam mengatasi masalah kekinian.

E.  Objek Pembahasan Metodologi Studi Islam
28
 

          Islam sebagai agama tidak datang ke dalam “ruangan” dan kondisi yang kosong. Islam hadir kepada suatu masyarakat yang sudah sarat dengan keyakinan, tradisi dan praktik-praktik kehidupan. Masyarakat saat itu bukan tanpa ukuran moralitas tertentu, namun sebaliknya inheren di dalam diri mereka tentang standar nilai dan moralitas.

               Dalam perjalanan panjang Islam mengalami asimilasi, perkembangan-perkembangan akibat adanya berbagai macam pemahaman yang dikembangkan oleh para tokoh-tokoh agama, ulama, pemikir-pemikir Islam. Menurut pendapat tokoh agama pada istilah wahyu  ketika dilangit bersifat maskulin (tunggal), namun ketika membumi bersifat feminis. Hal ini berarti bahwa penafsiran terhadap wahyu al-Qur’an mengalami perkembangan  tidak hanya tekstual tetapi memahami wahyu al-Qur’an secara kontekstual. Oleh sebab itu, obyek kajian dalam Islam tidak hanya membahas tentang persoalan trasedental namun membahas hal lain yang menyangkut persoalan-persoalan ketika agama membumi. Berikut obyek kajian dalam studi Islam :
a)      Komunitas setiap tradisi memiliki suatu komunitas keagamaan (gereja, masjid, ummah) yang memiliki beragam cabang dan yang membawa umat beriman ke dalam suatu konteks global.
b)      Ritual yang dapat dipahami dalam tiga aspek penyembahan yang terus menerus, sakramen, dan upacara-upacara. Sakramen berkaitan dengan perjalanan kehidupan yang luar biasa, kelahiran, inisiasi (upacara tapabrata), perkawinan dan kematian. Upacara-upacara sering merayakan tanggal kelahiran atau peristiwa-peristiwa besar lainnya dari kehidupan tokoh-tokoh-tokoh besar seperti Yesus, Musa, Muhammad, Krishna dan Budha. Aktivitas penyembahan, sangat beragam dari segi frekuensi, watak, dan signifikansinya namun seluruh agama memilikinya.
c)      Etika, seluruh tradisi memiliki keinginan mengkonseptualisasikan dan membimbing kearah kehidupan yang baik, dan  semua menyepakati persoalan dasar seperti keharusan menghindari kebohongan, mencuri, pembunuhan, membawa aib keluarga, mengingkari cinta. Tradisi monoreistik menyerukan agar mencintai manusia dan Tuhan, sedang tradisi-tradisi timur lebih cendrung menyerukan concernetis kepada alam.
d)     Keterliban sosial dan politis, komunitas-komunitas keagamaan merasa perlu terlibat dalam masyarakat yang lebih luas untuk mempengaruhi, mereformasi, atau beradaptasi dengannya kecuali jika agama dan masyarakat saling terpisah seperti dalam agama-agama primal.
e)      Kajian teks dan kitab suci, termasuk mite atau sejarah suci atau tradisi oral yang dengannya masyarakat hidup, dengan mengesampingkan agama-agama primal, kebanyakan tradisi memiliki kitab-kitab sebagai suatu canon (peraturan-peraturan) [6].
f)       Konsep atau doktrin
g)      Estetika, dalam tingkat akar rumput di sepanjang sejarah, estetika merupakan hal yang signifikan. Ikonografi di Tajmahal dan permadani di Persia
h)      Spiritualitas yang menekankan sisi dalam batin dari agama [7]. Spritualitas muslim dalam makna luas dengan jelas mengekpresikan dirinya dalam berbagai cara dan bentuk yang sangat berbeda, dari kesalehan yang lebih tradisional kepada bentuk-bentuk pengalaman mistik pribadi, dalam berbagai ekspresinya yang berbeda, dari pengalaman Hadits kepada puisi yang mengisyaratkan pada yang absolut. Meskipun selalu ada banyak referensi bagi ‘’isyarat-isyarat” tuhan, isyarat-isyarat tersebut memainkan peran yang sangat berbeda dalam berbagai cara yang berbeda pula.
       F.  Islam Sebagai Objek Kajian
                  Dari fenomena sosial yang terjadi di dalam masyarakat, Islam memang menarik untuk dijadikan sebagai objek kajian dan dalam mengkaji Islam, tentu kita harus berpedoman pada dua sumber otentiknya yakni al-Quran dan al-Hadits.
                  Orang yang memeluk agama Islam, yang disebut muslim adalah orang yang bergerak menuju ketingkat eksistensi yang lebih tinggi. Demikian yang tergambar dalam konotasi yang melekat dalam kata Islam apabila kita melakukan suatu kajian tentang arti Islam itu sendiri.
30
 
                  Untuk memecahkan masalah yang timbul dalam masyarakat, maka seorang muslim mengadakan suatu penafsiran terhadap  al-Quran dan al-Hadits sehingga timbullah pemikiran Islam, baik yang bersifat tekstual maupun kontekstual. Islam sebagai agama, pemikiran atau penafsiran al-Quran dan al-Hadits juga sebagai objek kajian sebuah sistem yang hidup dan dinamis. Sistem ini meliputi sebuah matriks mengenai nilai dan konsep yang abadi, hidup dan realistis sehingga memberikan karakter yang unik bagi peradaban. Karena Islam merupakan suatu sistem total, maka nilai dan konsep ini menyerap setiap aspek kehidupan manusia.
                  Islam disebut sebagai agama teologis juga merupakan agama pengetahuan yang melahirkan beragam pemikiran, lahirnya pemikiran ini memberi indiksi yang kuat bahwa pada dataran pemahaman dan aktualisasi nilai Islam merupakan suatu wujud keterlibatan manusia dalam Islam, dan bukan berarti mereduksi atau mentransformasikan doktrin esensialnya. Ajaran Islam  yang berbentuk universal hanya bisa ditangkap dalam bentuk nilai, sehingga ketika ia turun dan jatuh ke tangan manusia, ia baru menjadi bentuk.
                  Jadi, ketika pemikiran hendak masuk dalam wilayah Islam untuk dikaji dengan beragam intensi dan motif, sudut pandang atau perspektif, metodologi dan berbagai aspeknya maka dalam proses dan bentuknya kemudian Islam dapat dipandang sebagai pemikiran. Islam yang ditunjuk di sini tentu bukan saja apa yang terdapat dalam al-Quran dan al-Hadits (tekstual dan skriptual) tetapi mencakup juga Islam yang berupa pemahaan dan pengejawantahan nilai-nilainya.[8]
                  Islam berbentuk nilai-nilai, jika pemikiran dilibatkan dalam proses memahami dan mengaktualisasikannya dalam sejarah pemikiran Islam terpotret bagaimana pemikiran peminat studi Islam memberi andil kreatif dan signifikan terhadap bangunan pemahaman ajaran Islam dalam berbagai dimensinya yang melahirkan berbagai jenis pengetahuan Islam (ulumul Islam) seperti teologis, filsafat Islam, ulumul Quran dan hadits, ilmu-ilmu syariah dan sebagainya.
                  Jadi, mengkaji Islam sebagai pemikiran berarti mempelajari apa yang dipahami oleh pemikir-pemikir yang telah mengkaji ajaran-ajaran Islam yang melahirkan bentuk pemahaman atau kajian tertentu.
              Selanjutnya Islam sebagai objek kajian  senantiasa menarik  seiring dengan berkembangnya  pendekatan, disiplin ilmu dan metodologi. Oleh karena itu pengkajian Islam  yang dilakukan oleh para ilmuwan Islam  baik dari kalangan sarjana muslim sendiri maupun  maupun sarjana Barat tidak akan berhenti. Ketertarikan para peneliti tampaknya lebih  merupakan kedinamisan Islam dan masyarakatnya, dan karena banyaknya tantangan yang dihadapi umat muslim dalam mengaktualisasikan  ajaran-ajarannya, kajian dari kalangan insider lebih dalam lagi karena  ingin memberikan tantangan Islam dari kalangan kontemporer.[9]

G. Islam Normatif Dan Islam Historis

          Islam normatif adalah Islam pada dimensi sakral yang diakui adanya realitas transendental yang bersifat mutlak dan universal, melampaui ruang dan waktu atau sering disebut realitas ketuhanan.[10] Kajian Islam normatif melahirkan tradisi teks : tafsir, teologi, fiqih, tasawuf, filsafat sebagai berikut:
a)      Tafsir  : tradisi penjelasan dan pemaknaan kitab suci
b)     Teologi : tradisi pemikiran tentang persoalan ketuhanan
c)      Fiqh : tradisi pemikiran dalam bidang yurisprudensi (tata hukum)
d)     Tasawuf: tradisi pemikiran dan laku dalam pendekatan diri pada tuhan
e)      Filsafat: tradisi pemikiran dalam bidang hakikat kenyataan, kebenaran
          Islam historis adalah Islam yang tidak bisa dilepaskan dari kesejarahan dan kehidupan manusia yang berada dalam ruang dan waktu. Islam yang terangkai dengan konteks kehidupan pemeluknya. Oleh karenanya realitas kemanusiaan selalu berada dibawah realitas ketuhanan.
32
 
         Dalam pemahaman kajian Islam historis, tidak ada konsep atau hukum Islam yang bersifat tetap. Semua bisa berubah. Mereka berprinsip bahwa pemahaman hukum Islam adalah produk pemikiran para ulama yang muncul karena konstruk sosial tertentu. Mereka menolak universalitas hukum Islam. Akan tetapi, ironisnya pada saat yang sama, kaum gender ini justru menjadikan konsep kesetaraan gender sebagai pemahaman yang universal, abadi, dan tidak berubah. Paham inilah yang dijadikan sebagai barometer dalam menilai segala jenis hukum Islam, baik dalam hal ibadah, maupun muamalah.[11]
          Islam historis merupakan unsur kebudayaan yang dihasilkan oleh setiap pemikiran manusia dalam interpretasi atau pemahamannya terhadap teks, maka Islam pada tahap ini terpengaruh bahkan menjadi sebuah kebudayaan. Dengan semakin adanya problematika yang semakin kompleks, maka kita yang hidup pada era saat ini harus terus berjuang untuk menghasilkan pemikiran-pemikiran untuk mengatasi problematika kehidupan yang semakin kompleks sesuai dengan latar belakang kultur dan sosial yang melingkupi kita, yaitu Indonesia saat ini. Kita perlu pemahaman kontemporer yang terkait erat dengan sisi-sisi kemanusiaan-sosial-budaya yang melingkupi kita.
          Perbedaan dalam melihat Islam yang demikian itu dapat menimbulkan perbedaan dalam menjelaskan Islam itu sendiri. Ketika Islam dilihat dari sudut normatif, maka Islam merupakan agama yang di dalamnya berisi ajaran tuhan yang berkaitan dengan urusan akidah dan mu’amalah. Sedangkan ketika Islam dilihat dari sudut historis atau sebagaimana yang nampak dalam masyarakat, maka Islam tampil sebagai sebuah disiplin ilmu.
          Kajian Islam historis melahirkan disiplin ilmu studi empiris yaitu antropologi agama, sosiologi agama, psikologi agama.
a)      Antropologi agama: disiplin ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia beragama dalam hubungannya dengan kebudayaan.
b)     Sosiologi Agama: disiplin ilmu yang mempelajari sistem relasi sosial masyarakat dalam hubungannya dengan agama.
c)      Psikologi Agama:    disiplin ilmu yang mempelajari aspek kejiwaan manusia dalam hubungannya dengan agama.
         Hubungan antara ketiganya dapat membentuk hubungan dialektis dan ketegangan. Hubungan dialektis terjadi jika ada dialog bolak balik yang saling menerangi antara teks dan konteks, sebaliknya akan terjadi hubungan ketegangan jika salah satu menganggap yang lain sebagai ancaman.
         Menentukan bentuk hubungan yang pas antara historis dan disiplin studi empiris merupakan separuh jalan untuk mengurangi ketegangan antara kedua corak pendekatan tersebut. Ketegangan bisa terjadi, jika masing-masing pendekatan saling menegaskan eksistensi dan menghilangkan manfaat nilai yang melekat pada pendekatan keilmuan yang dimiliki oleh masing-masing tradisi keilmuan.
         Menurut ijtihad, Amin Abdullah bahwa hubungan  antara historis dan disiplin studi empiris adalah ibarat sebuah koin dengan dua permukaan. Hubungan antara keduanya tidak dapat dipisahkan, tetapi secara tegas dan jelas dapat dibedakan. Hubungan keduanya tidak berdiri sendiri-sendiri dan berhadap-hadapan, tetapi keduanya teranyam, terjalin dan terajut sedemikian rupa sehingga keduanya menyatu dalam satu keutuhan yang kokoh dan kompak. Makna terdalam dan moralitas keagamaan tetap ada, tetap dikedepankan dan digaris bawahi dalam memahami liku-liku fenomena keberagaman manusia, maka ia secara otomatis tidak bisa terhindar dari belenggu dan jebakan ruang dan waktu.
34
 
         Walaupun secara realitas studi Islam keberadaannya tidak terbantahkan, tetapi dikalangan para ahli masih terdapat perdebatan di sekitar permasalahan apakah studi Islam dapat dimasukkan ke dalam bidang ilmu pengetahuan, mengingat sifat dan karakteristik antara ilmu pengetahuan dan agama berbeda. Pembahasan di sekitar permasalahan ini banyak dikemukakan oleh para pemikir Islam dewasa ini.
       Amin Abdullah mengatakan jika penyelenggaraan dan penyampaian Islamic Studies, Studi Islam, atau Dirasah Islamiyah hanya mendengarkan dakwah keagamaan di kelas, lalu apa bedanya dengan kegiatan pengajian dan dakwah yang sudah ramai diselenggarakan di luar bangku kuliah. Merespon sinyalemen tersebut menurut Amin Abdullah, pangkal tolak kesulitan pengembangan scope wilayah kajian studi Islam atau Dirasah Islamiyah berakar pada kesukaran seorang agamawan untuk membedakan antara yang bersifat normative dan histories. Pada tataran normative kelihatan Islam kurang pas kalau dikatakan sebagai disiplin ilmu, sedangkan untuk dataran histories nampak  relevan.[12]











[1] Mukti Ali. Metode Memahami Agama Islam (Jakarta: Bulan Bintang 1999). h 25
[2] Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajagrafindo 2009) h.  284
[3] Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam  h.  266
[4] Jamali Sahrodi, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Pustaka Setia 2008)  h 180
[5]Amin Abdullah, Studi Agama, Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999),   h  50
[6] Jackues Waardenburg, Studi Islam di Jerman, dalam Azim Nanji, Peta Studi Islam (Yogyakarta: Fajar Baru , 2003) h  3
[7] Frank Whaling, Pendekatan Teologis, Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: LKIS, 1999) h 321
[8] Mukti Ali, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam. (Bandung: Mizan, 1993)  h. 15
[9]Jamali Sahrodi, Metodologi Studi Islam,  h  182
[10] Amin Abdullah, Studi Agama, Normativitas atau Historisitas,  h  5
[11] Muqowim, Pengantar Studi Islam. (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga 2005) h. 20
                [12] Amin Abdullah, Studi Agama, Normativitas atau Historisitas, h 106

 
BAB III

INTEGRASI ISLAM (AGAMA) DAN FILSAFAT  (SAINS)


   
  1. Integrasi Islam (Agama ) dan Filsafat (Sains)

Ketika kita mendengar kata ”sains” dan ”agama, serta merta orang akan berpikir akan sejarah hubungan seru di antara keduanya. Dalam catatan sejarah perjumpaan agama dengan sains tidak hanya berupa pertentangann belaka, tetapi juga orang berusaha untuk mencari hubungannya antara keduanya pada posisi yaitu sains tidak mengarahkan agama kepada jalan yang dikehendakinya dan agama juga tidak memaksanakan sains untuk tunduk pada kehendaknya. Memang, science and religion merupakan wacana yang selalu menarik perhatian di kalangan intelektual. Hingga kini, masih saja ada anggapan yang kuat dalam masyarakat luas yang mengatakan bahwa ”agama”dan ”ilmu” adalah dua entitas yang tidak dapat dipertemukan. Keduanya mempunyai wilayah masing-masing, terpisah antara satu dan lainnya, baik dari segi objek formal material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan. Ungkapan lain, ilmu tidak memperdulikan agama dan agamapun tidak memperdulikan ilmu[1].
36
 
Banyak pemikir yang sangat yakin bahwa agama tidak akan pernah dapat didamaikan dengan sains. Menurut mereka, apabila saudara seorang ilmuwan, sulitlah membayangkan bagaimana saudara secara jujur dapat serentak ”saleh-beriman”, setidak-tidaknya dalam pengertian percaya akan tuhan.Alasan utama mereka bahwa agama jelas-jelas ”tidak dapat membuktikan” kebenaran ajaran-ajarannya dengan tegas, sedangkan apakah sains dapat melakukan hal itu, yaitu dapat membuktikan kebenaran temuannya[2]
               Persoalan yang muncul sekarang adalah bagaimana memadukan sains dan agama. Pemaduan dan seperti apa yang dapat dilakukan. Dalam wacana sains dan agama, integrasi dalam artian generiknya sebagai upaya memadukan sains dan agama. J.Sudarminta,  misalnya, pernah mengajukan apa yang disebutnya ”integrasi yang valid”, tetapi pada kesempatan lain mengkritik ”integrasi yang naif” istilah yang digunakannya untuk menyebut kecenderungan pencocok-cocokan secara dangkal ayat-ayat kitab suci dengan temuan-temuan ilmiah[3].

Apakah agama bertentangan dengan sains?

Sains dan agama bukan merupakan isu baru dan bahkan banyak pemikir yang yakin bahwa agama tidak akan pernah dapat didamaikan dengan sains[4]. Pertarungan antara sains dan agama seolah-olah tak pernah berhenti. Katakan saja, di satu pihak ada kelompok saintis yang tak pernah dianggap sebagai intelektual. Tetapi kerjanya yang berpijak pada dunia empiris secara nyata yang telah mengubah dunia seperti yang kita lihat sekarang ini. Sementara di sisi lain, para agamawan yang dikategori sebagai kelompok tradisional, mengklaim dan menyebut dirinya sebagai kaum yang berhak berbicara semua hal tentang kebenaran. Kedua kelompok tersebut seolah-olah tak pernah berhenti untuk saling klaim bahwa merekalah yang berhak menentukan kehidupan.
      Agama dan sains, merupakan dua bagian penting dalam kehidupan sejarah umat manusia. Bahkan pertentangan antara agama dan sains tak perlu terjadi jika kita mau belajar mempertemukan ide-ide spiritualitas agama dengan sains yang sebenarnya sudah berlangsung lama. Kerinduan akan tersintesisnya agama dan sains pernah diurai Charles Percy Snow dalam ceramahnya di Universitas Cambridge yang dibukukan dengan judul The Two Cultures yang menyorot kesenjangan antar budaya, yaitu antara kelompok agamawan yang mewakili budaya literer dan kelompok saintis yang mewakili budaya ilmiah[5].
     Pihak skeptis ilmiah selalu menuduh bahwa agama hanya bergantung pada asumsi-asumsi apriori atau sesuatu yang hanya didasarkan pada keyakinan. Selain itu, kelompok sains juga tidak dapat menerima begitu saja segala sesuatu sebagai kebenaran. Kaum teolog (agamawan) kemudian banyak menuai kritik karena terlalu bertumpu pada “imajinasi liar”, sementara para saintis harus berdasarkan fakta secara empiris. Ini adalah tantangan yang dihadapi dan apabila “pemahaman yang kurang tepat mengenai persoalan ini dapat menjebak umat beragama pada upaya-upaya yang tak produktif atau bahkan kontra produktif”[6].
      Selain itu, beberapa kritik menunjukkan bahwa hubungan sains dengan agama terlalu komplek dan terlalu bebas-konteks untuk dihimpun di bawah skema klasifikasi mana pun. Mereka mengklaim bahwa interaksi di antara keduanya sangatlah beragam di sepanjang periode sejarah yang berbeda dan disiplin ilmu yang berbeda untuk menunjukkan pola-pola umum manapun[7].
38
 
      Kaum materialisme dan literalisme biblikal sama-sama mengklaim bahwa “sains” dan “agama” memberikan pertanyaan yang berlawanan dalam domain yang sama sehingga orang harus memilih satu di antara dua. Mereka percaya bahwa orang tidak dapat mempercayai evolusi dan tuhan sekaligus. Memang perkembangan selama ini, menunjukkan bahwa sains didominasi oleh aliran positivisme, sebuah aliran yang sangat menuhankan metode ilmiah dengan menempatkan asumsi-asumsi metafisis, aksiologis dan epistemologis.
Penganut aliran ini mengatakan bahwa sains mempunyai reputasi tinggi untuk menentukan kebenaran dan sains merupakan “dewa” dalam beragam tindakan (sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain). Sedangkan menurut mereka, agama hanyalah merupakan hiasan belaka ketika tidak sesuai dengan sains, begitu kira-kira kata kaum positivisme.
Dengan demikian, upaya untuk menghubungkan dan memadukan antara sains dan agama, tak harus berarti menyatukan atau bahkan mencampuradukkan, karena identitas atau watak dari masing-masing kedua identitas itu tak mesti hilang, atau sebagian orang bahkan akan berkata, harus tetap dipertahankan. Jika tidak, mungkin saja yang diperoleh dari hasil hubungan itu “bukan ini dan bukan itu”, dan tak jelas lagi apa fungsi dan manfaatnya. Integrasi yang diinginkan adalah integrasi yang “konstruktif”, hal ini dapat dimaknai sebagai suatu upaya integrasi yang menghasilkan konstribusi baru untuk sains dan agama yang dapat diperoleh jika keduanya terpisahkan[8].
Ian G. Barbour, membahas tentang hubungan sains dan agama. Menurut fisikawan-cum-agamawan, dalam bukunya, Juru Bicara Tuhan antara Sains dan Agama dari judul asli When Science Meets Relegion: Enemies, Strangers, or Partuers menerangkan bahwa perpaduan antara sains dan agama merupakan salah satu tipologi. Ian G. Barbour, mengusulkan empat hubungan yaitu konflik, perpisahan, dialog  perbincangan dan integrasi perpaduan[9]. Pententangan antara sain dan agama menurut Ian G. Barbour, adalah hubungan yang bertelingkah dan dalam kasus yang ekstrim bahkan bermusuhan. Perpisahan berarti ilmu dan agama berjalan sendiri-sendiri dengan bidang garapan, cara, tujuannya masing-masing tanpa saling mengganggu atau memperdulikan. Dialog atau perbincangan ialah hubungan yang saling terbuka dan saling menghormati, karena kedua belah pihak ingin memahami persamaan dan perbedaan mereka. Perpaduan atau integrasi adalah hubungan yang bertumpu pada keyakinan bahwa pada dasarnya kawasan telaah, rancangan penghampiran, dan tujuan ilmu dan agama adalah sama dan satu[10].
Perpaduan menurut Ian G. Barbour, dapat diusahakan dengan bertolak dari sisi ilmu, atau dari sisi agama. Alternatifnya adalah berupaya menyatukan keduanya di dalam bingkai suatu sistem kefilsafatan, misalnya Process Philosophy. Maka Barbour sendiri secara pribadi cenderung mendukung usaha penyatuan melalui Theology of Nature yang digabungkan dengan penggunaan Process Philoshofy secara berhati-hati. Selain itu, Barbour, juga sepakat dengan pendekatan dialog atau perbincangan. Akan tetapi tidak jelas apakah dukungannya terhadap perpaduan atau integrasi lebih kuat, atau apakah pandangannya justru lebih berat pada dialog atau perbincangan.

     Bagaimana mengintegrasikan ”sains dan agama”?

40
 
                              Wacana integrasi antara sains dan agama sudah cukup lama. Walaupun tak selalu menggunakan kata “integrasi” secara eksplisit. Katakan saja, di kalangan muslim modern gagasan perlunya pemaduan sains dan agama, atau akal dan wahyu (iman), telah cukup lama beredar. Cukup popular juga di kalangan muslim pandangan bahwa pada masa kejayaan sains dalam peradaban Islam, ilmu dan agama telah integrated. Bagi kalangan Kristen kontemporer, pendekatan “integrasi” dipopulerkan oleh Ian G. Barbour, yang menyebut salah satu dari empat tipologi hubungan sains-agama dengan “integrasi”[11]. Teolog-cum-fisikawan Kristen ini dianggap sebagai salah seorang peletak dasar wacana sains dan agama yang berkembang di Barat, tetapi pengaruhnya telah menyebar berkat penerjemahan buku-bukunya, termasuk di Indonesia[12].
            Dari empat pandangan tipologi di atas, Ian G. Barbour lebih berpihak pada dua pandangan terakhir dan khususnya integration. Lebih khusus lagi, integrasi Barbour adalah integrasi teologis. Teori-teori ilmiah mutakhir dicari implikasi teologinya, lalu suatu teologi baru dibangun dengan memperhatikan teologi tradisonal sebagai salah satu sumbernya. Dengan demikian, “integrasi” ala Barbour, memiliki makna yang sangat spesifik, yang bertujuan menghasilkan suatu reformasi teologi dalam bentuk theology of nature. Barbour, membedakannya dari natural theory, yang tujuan utamanya untuk membuktikan kebenaran agama berdasarkan temuan-temuan ilmiah. Ketika berbicara tentang agama, perhatian Barbour nyaris terbatas pada teologi. Dan ketika berbicara tentang sains, perhatiannya terutama tertumpu pada isi teori-teori paling mutakhir dalam ilmu alam.[13]
            Pandangan yang mirip tetapi tak sama dengan Ian G. Barbour, yaitu John F. Haught, yang membagi pendekatan sains dan agama, menjadi pendekatan konflik, pendekatan kontras, pendekatan kontak, dan pendekatan konfirmasi. Keempat pandangan ini dapat dilihat sebagai semacam tipologi seperti yang dibuat Barbour, tetapi Haught juga melihatnya sebagai semacam perjalanan. Untuk itu, secara singkat membahas empat pemikiran Haught tentang hubungan sains dan agama, sebagai berikut :
            Pendekatan Konflik, suatu keyakinan bahwa pada dasarnya sains dan agama tidak dapat dirujuk atau dipadukan, banyak pemikir (saintis) yang memandang bahwa agama tidak akan pernah dapat didamaikan dengan sains. Masing-masing berada pada posisi yang berbeda, sains menguji semua hipotesis dan semua teorinya berdasarkan pengalaman, sedangkan agama berdasarkan keyakinan[14].
             Kaum skeptis ilmiah sering mengatakan agama dilandaskan pada asumsi apriori atau “keyakinan”, sedangkan sains tidak mau menerima begitu saja segala sesuatu sebagai benar. Menurut kaum saintis, memandang agama terlalu bersandar pada imajinasi yang liar, sedangkan sains bertumpuk pada fakta yang dapat diamati. Agama terlalu emosional, penuh gairah dan subjektif, sedangkan sains berusaha untuk tidak memihak, tidak terlalu bergairah, dan objektif .
            Jadi, pertautan antara keduanya tidak dengan mudah dapat dilakukan. Keduanya memiliki perbedaan mendasar sehingga upaya menyandingkan keduanya dalam satu ”kotak” tentu akan memicu beberapa persoalan, terutama terkait dengan benturan-benturan konseptual, metodologis dan ontologis antara ”sains” dan ”agama”. Secara tegas dapat dikatakan, bahwa dalam sejarah, sikap ”ekspansionis” agama maupun ”sains” menolak pengaplingan wilayah masing-masing. Keduanya sulit dipaksa berdiam dalam kotak-kotak tertentu, tetapi ingin memperluas wilayah signifikansinya ke kotak-kotak lain. Maka, ketika satu ”kotak” didiami oleh dua entitas ini, terbukalah peluang terjadinya konflik antara keduanya.
42
 
            Pendekatan kontras, suatu pernyataan bahwa tidak ada pertentangan yang sungguh-sungguh, karena agama dan sains memberi tanggapan terhadap masalah yang sangat berbeda. Banyak ilmuwan dan agamawan (teolog) tidak menemukan adanya pertentangan antara agama dan sains. Menurut kubu kontras, ”agama” dan ”sains” sangatlah berbeda sehingga secara logis tidak mungkin ada konflik di antara keduanya. Agama dan sains sama-sama absah (valid) meskipun hanya dalam batas ruang penyelidikan mereka sendiri yang sudah jelas. Kita tidak boleh menilai agama dengan tolok ukur sains, begitu juga sebaliknya, oleh karena itu keduanya harus dipisahkan antara satu dan lainnya. Jika agama dan sains sama-sama mencoba untuk mengerjakan pekerjaan yang sama, tentu saja mereka akan bertentangan. Sains dan agama benar-benar mempunyai tugas-tugas yang tidak sama dan tetap menjaga agar sains dan agama berada dalam wilayah yurisdiksinya masing-masing. Jadi, agama dan sains tidak perlu mencampuri urusan satu sama lain.[15]
            Pendekatan Kontak, suatu pendekatan yang mengupayakan dialog, interaksi dan kemungkinan adanya ”penyesuaian” antara sains dan agama, dan terutama mengupayakan cara-cara bagaimana sains ikut mempengaruhi pemahaman religius dan teologis. Cara untuk menghubungkan agama dengan sains, sebab Haught, tidak rela membiarkan dunia ini terpilah-pilah menjadi dua ranah (dikotomik). Tetapi ia juga tidak setuju pada harmoni yang dangkal dalam pendekatan peleburan. Maka menurutnya, pendekatan ini setuju bahwa sains dan agama jelas berbeda secara logis dan linguistik, tetapi dalam dunia nyata, mereka tidak dapat dikotak-kotakan dengan mutlak, sebagaimana diandaikan oleh kubu pendekatan kontras. Kata Haught, bagaimanapun di dunia Barat, agama telah membantu membentuk sejarah sains, dan pada gilirannya kosmologi ilmiah pun telah mempengaruhi teologi.
                  Pendekatan kontak mengemukakan bahwa pengetahuan ilmiah dapat memperluas ”cakrawala keyakinan relegius” dan bahwa perspektif keyakinan religius dapat memperdalam pemahaman kita tentang alam semesta. Memang sains, tidak berusaha membuktikan kebenaran tuhan berdasarkan sains, tetapi sudah merasa puas kalau menafsirkan penemuan-penemuan ilmiah di dalam kerangka makna keagamaan. Begitu juga agama, tidak berusaha untuk menopang ajaran-ajaran keagamaan dengan mengacu pada konsep-konsep ilmiah yang pada permukaannya, boleh jadi menunjuk secara langsung kepada desainer Ilahi. Untuk itu, agama dan sains harus saling berbagi secara timbal-balik dalam keterbukaan secara kritis terhadap apa yang nyata. Dengan dasar inilah, akan menjadi landasan bagi adanya ”kontak” sejati antara sains dan agama.
                  Pendekatan Konfirmasi, suatu perspektif yang lebih tenang, tetapi sangat penting, perspektif ini menyoroti cara-cara agama, pada tataran yang mendalam, mendukung dan menghidupkan segala kegiatan ilmiah.[16] Pendekatan konfirmasi, menyarankan agama dan sains agar saling mengukuhkan. Artinya, agama dapat memainkan peran dalam pengembangan sains yang lebih bermakna. Begitu pula, temuan-temuan sains dapat  memperkaya dan memperbarui pemahaman teologis. Dengan demikian, posisi “agama memperkuat dorongan yang dapat memunculkan sains. Agama dengan suatu cara yang sangat mendalam, mendukung seluruh upaya kegiatan ilmiah”. Maka dapat dikatakan bahwa, “pendekatan konfirmasi adalah “memperkuat” atau “mendukung”. Jadi, agama dapat mendukung sepenuhnya dan bahkan melandasi upaya ilmiah dalam memberi makna kepada alam semesta.
44
 
                  Haught, mengatakan iman dalam artian kepercayaan mendasar akan rasionalitas yang luas dari realitas, tidaklah bertentangan dengan sains, melainkan justru merupakan sumbernya. Sains, sebagaimana halnya semua pengetahuan manusia, mempunyai apa yang oleh Michael Polanyi menyebutnya sebagai aspek ”kepercayaan” (fuduciary), dari kata Latin, fideo yang artinya mempercayai[17]. Maka tanpa unsur kepercayaan ini, kiranya tidak bakal ada juga rangsangan untuk mengupayakan kebenaran melalui sains.
                  Keempat pandangan Haught ini, dapat dilihat sebagai semacam tipologi seperti yang dibuat Berbour, tetapi Haught sendiri, melihatnya semacam ”perjalanan”. Tetapi secara lebih spesifik, Smith, menyebut upaya-upaya para ilmuwan ”teologi” tersebut sebagai ”kolonialisasi teologi oleh sains”.[18]
                  Konflik antara sains dan agama yang terjadi akibat pengaburan batas-batas sains dan agama, sebab keduanya dianggap bersaing dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sama, sehingga orang harus memilih salah satunya. Maka dari pandangan Haught ini, langkah pertama yang harus dilakukan adalah “menarik garis pemisah secara jelas sebagai penunjuk kontras keduanya. Langkah berikutnya, setelah perbedaan kedua bidang itu jelas, baru dapat dilakukan kontak. Langkah ini didorong oleh dorongan psikologis yang kuat bahwa bagaimanapun bidang ilmu yang berbeda-beda perlu dibuat koheren.
                  Pada posisi ini, implikasi teologi teori ilmiah ditarik ke wilayah teologis, bukan untuk “membuktikan” doktrin keagamaan, melainkan sekedar menafsirkan temuan ilmiah dalam kerangka makna keagamaan demi memahami teologi dengan lebih baik. Dasar dari pandangan ini adalah keyakinan bahwa apa yang dikatakan sains mengenai alam memiliki relevansi dengan pemahaman keagamaan[19].
                  Pandangan dan gerakan Haught, melangkah lebih jauh pada konfirmasi dengan upaya mengakarkan sains beserta asumsi metafisisnya pada pandangan dasar agama mengenai realitas yang setidaknya dalam tiga agama monoteistik (Yahudi, Kristen, dan Islam) pada dasarnya berakar pada Wujud yang disebut “tuhan”. Maka, asumsi metafisis sains yang disebut Haught di antaranya bahwa alam semesta adalah suatu “keteraturan” (“tertib wujud”) yang rasional. Menurut Haught, tanpa ini sains sebagai upaya pencarian intelektual tak dapat melakukan langkah pertamanya sekalipun.  Pandangan ini, dapat dibayangkan semacam “premis awal” aristotelian yang sifatnya apriori, yang diperlukan untuk menggerakkan silogisme pertama.
                  Maka, bagi kaum beragama, “premis awal” ini merupakan objek “keimanan”. Seorang fisikawan muslim, Mehdi Golshani yang pandangannya dalam soal “strategi” pemaduan sains dan agama, tampaknya memiliki kesamaan dengan Haught yang berteologi Kristen, meskipun ada banyak perbedaan. Dalam mengemukakan pandangannya, mereka bahkan menggunakan “metafora” yang sama “akar”. Katakan saja, Haught, berupaya untuk “mengakarkan” sains pada pandangan agama mengenai realitas. Bagi Golshani, ketika menyebut perbedaan antara apa yang disebutnya “Islamic science” dan “sains sekuler”, Golshani mengatakan, ” tampak pada wilayah-wilayah, yaitu Pertama, praanggapan metafisis dalam sains sering kali “berakar” pada pandangan dunia “religius”. Kedua, pandangan religius efektif dalam memberikan otoritas yang layak dari penerapan sains[20].
46
 
                  Jadi, asumsi-asumsi metafisis sering kali berakar pada pandangan dunia agama. Golshani seperti juga Haught, menjelaskan bahwa sains mau tak mau mesti berasumsi bahwa alam yang menjadi objek kajiannya adalah alam yang rasional teratur dan memiliki hukum-hukum. Menurut Golshani dalam sains sekuler ini menjadi semacam “iman” yang tak perlu dibuktikan meskipun (mau tak mau) diyakini. Maka, tanpa keyakinan bahwa ada hukum yang berlaku secara teratur, tak ada dasar konseptual pengembangan teori-teori ilmiah. Di sinilah pandangan Golshani yang senada  dengan Haught, bahwa agama dapat menjadi dasar untuk kerja sains. Maka untuk mengintegrasikan ”sains dan agama”, Paul Davies, dalam bukunya God and The New Phyisics, merekomendasikan kebangkitan relasi agama dan sains, yaitu : Pertama, adanya ”dialog” yang semakin intensif antara para ahli sains, filsafat dan teolog mengenai persoalan yang berkaitan dengan gagasan penciptaan (evolusi) yang menjadi biang keladi perdebatan agama dan sains karena beda pandangan. Kedua, adanya minat yang besar untuk pemikiran mistik dan filsafat timur. Tampaknya, keinginan kita pun sama dengan kerinduan C.P. Snow, bahwa semua itu dapat termanifestasi dalam sikap dan perilaku kaum agamawan dan saintis. Untuk itu, caranya adalah para saintis dan agamawan harus duduk bersama dalam rangka mengisi kehidupan yang lebih harmonis dan manusiawi.

B. Studi Islam Kontemporer : Devine Science Dalam Studi Filsafat Islam

               Kajian tentang sumber ilmu dalam filsafat adalah masuk dalam rumpun epistemologi.  Dalam perjalanan sejarah pemikiran manusia, kajian tentang epistemologi telah dilakukan sejak zaman Yunani kuno. Dalam dunia Islam, pembahasan tentang epistemologi ilmu sudah dilakukan sejak masa al-Kindi (796-873 M). Secara khusus, kajian tentang epistemologi ini dilakukan dalam kajian filsafat ilmu.[21] 
                  Dalam kajian epistemologi di Barat,  pembahasan tentang sumber ilmu melahirkan tiga mazhab utama, yaitu rasionalisme, empirisme dan fenomenalisme Kant.[22]  Keberatan Islam terhadap ketiga mazhab ini sebagaimana akan ditunjukkan nanti, terutama karena pengingkarannya terhadap wahyu sebagai objek ilmu pengetahuan.
                  Dalam Islam, kajian terhadap sumber ilmu memadukan bahan-bahan empirikal (kealaman) dan spiritual (kewahyuan). Pemaduan kedua bahan inilah yang akan memunculkan konsep epistemologi Islam yang berbeda dengan konsep epistemologi Barat. Konsep tentang sumber ilmu selanjutnya akan berimplikasi terhadap perumusan isi kurikulum dalam pendidikan Islam. Sebagaimana disinggung di atas, kajian yang pokok tentang Devine Science (sumber ilmu) diwakili oleh tiga mazhab utama, yaitu rasionalisme, empirisme dan fenomenalisme Kant. Berikut dijelaskan ketiga mazhab dimaksud, baru kemudian akan menjelaskan pandangan Islam tentang sumber pengetahuan sebagai berikut:
a)  Rasionalisme
48
 
Mazhab ini berasal dari para filosof Eropa seperti Rene Descartes (1596-1650) dan Immanuel Kant (1724-1804), dan lain-lain yang populer disebut sebagai teori rasional.[23] Menurut teori ini ada dua sumber bagi pengetahuan (konsepsi). Pertama, penginderaan (sensasi). Menurut teori ini, konsepsi manusia tentang panas, cahaya, rasa dan suara karena penginderaan terhadap hal-hal itu. Kedua, adalah fitrah, dalam arti bahwa akal manusia memiliki pengertian-pengertian dan konsepsi-konsepsi yang tidak muncul dari indera, tetapi ia sudah ada dalam lubuk  fitrah. Dalam pengertian yang terakhir ini, jiwa menggali gagasan-gagasan tertentu dari dirinya sendiri. Rene Descartes berpandangan konsepsi-konsepsi fitri ini adalah ide “tuhan”, jiwa, perluasan dan gerak serta pemikiran-pemikiran yang mirip dengan semuanya itu dan bersifat sangat jelas dalam akal manusia. Tetapi bagi Kant, semua pengetahuan manusia adalah fitri, termasuk dua bentuk ruang dan waktu serta duabelas kategori Kant.[24]
Menurut mazhab ini, indera adalah sumber pemahaman terhadap konsepsi-konsepsi dan gagasan-gagasan sederhana. Hanya saja indera bukan satu-satunya sumber. Di samping indera, ada fitrah yang mendorong munculnya sekumpulan konsepsi pada akal.

Baqir Ash-Shadr pada teori rasionalis mengatakan bahwa:

Konsepsi manusia tidak mendapatkan alasan munculnya sejumlah gagasan dari indera, karena memang ia bukan konsepsi-konsepsi inderawi, maka harus digali secara esensial dari lubuk jiwa, dari sini jelas bahwa motif filosofis bagi perumusan pada teori rasional  akan hilang sama sekali, jika dapat menjelaskan secara meyakinkan konsepsi mental, tanpa perlu mengandalkan gagasan fitrah[25].

Selanjutnya menurut Harun Nasution  pada teori Descartes bahwa:
Secara metodologi ilmu pengetahuan harus mengikuti jejak ilmu pasti, meskipun ilmu pasti bukanlah metode ilmu yang sebenarnya. Ilmu pasti hanya boleh dipandang sebagai penerapan yang paling jelas dari metode ilmiah. Metode ilmiah itu sendiri lebih umum. Segala konsepsi dan gagasan baru bernilai benar jika secara metodologi dikembangkan dari intuisi yang murni (fitrah). [26]

          Lebih lanjut Harun Nasution menuturkan, teori Descartes dipengaruhi oleh berbagai pertentangan pemikiran filsafat pada zamannya. Pertentangan ini menyebabkan ia bersikap meragukan segala sesuatu. Dalam konteks ini hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu bahwa aku ragu-ragu (aku meragukan segala sesuatu). Sifat meragukan ini bukan khayalan, melainkan suatu kenyataan. Aku ragu-ragu, atau aku berpikir, dan oleh karena aku berpikir maka aku ada (cogito ergo sum). Memang menurut teori Descartes, apa saja yang dipikirkan bisa saja merupakan suatu khayalan, akan tetapi bahwa kegiatan berpikir bukanlah khayalan. Dalam hal ini “tiada seorangpun yang dapat menipu saya, bahwa saya berpikir, dan oleh karena itu di dalam hal berpikir ini saya tidak ragu-ragu, maka aku berada.”[27]
b) Empirisme
Istilah empirik berasal dari kata Yunani emperia, yang berarti pengalaman inderawi. Kaum empiris telah memberi tekanan kepada empirik (pengalaman), baik pengalaman lahiriah maupun batiniah sebagai sumber pengetahuan. Dengan demikian, empirisme bertentangan dengan rasionalisme. Di antara tokohnya adalah Thomas Hobbes (1588-1679) dan John Locke (1632-1704).[28]
            Teori ini berpendapat bahwa penginderaanlah satu-satunya yang membekali akal manusia dengan berbagai konsepsi dan gagasan, dan bahwa potensi mental akal budi adalah potensi yang tercermin dalam berbagai persepsi inderawi. Jadi ketika manusia mengindera sesuatu, ia akan dapat memiliki suatu konsepsi tentangnya, yakni menangkap form dari sesuatu itu dalam akal budi. Adapun tentang gagasan-gagasan yang tidak terjangkau oleh indera, menurut aliran ini, tidaklah dapat diciptakan oleh jiwa, demikian pula jiwa tidak dapat membangunnya secara esensial dalam bentuk yang berdiri sendiri.[29]
      Akal budi berdasarkan teori ini, hanyalah berfungsi mengelola konsepsi dan gagasan inderawi. Hal itu dilakukan dengan cara menyusun konsepsi-konsepsi dan membagi-baginya.
      Baqir Ash-Shadr mengatakan bahwa:
50
 
Mengonsepsikan “sebungkah gunung emas” atau membagi-bagi “pohon” kepada potongan-potongan dan bagian-bagian atau dengan abstraksi dan universalisasi, misalnya dengan memisahkan sifat-sifat dari bentuk itu, dan mengabstraksikan bentuk itu dari sifat-sifatnya yang tertentu agar darinya akal dapat membentuk suatu gagasan universal. Hal ini dapat dicontohkan dengan upaya mengkonsepsikan Zayd, dan mengurungkan setiap kekhasan yang membedakannya dari ‘Umar. Dengan proses substraksi (pengurangan) ini, akal menyarikan suatu gagasan abstrak yang berlaku, baik atas Zayd maupun ‘Umar[30]
        Senada dengan  Baqir Ash-Shadr selanjutnya Harun Nasution pada teori  Thomas Hobbes mengatakan bahwa, aliran empirisme di Inggris pada abad ke-17 telah membangun suatu sistem filsafat yang lengkap mengenai “yang ada” secara mekanis, yang menjadi pijakan dasar filsafat empirisme. Ia adalah seorang materialis pertama dalam filsafat modern[31].
      Lebih lanjut menurut Harun Nasution, segala yang ada bersifat bendawi. Bendawi dimaksudkan ialah segala sesuatu yang tidak bergantung kepada gagasan kita. Ia juga mengajarkan bahwa segala kejadian adalah gerak, yang berlangsung karena keharusan. Realitas segala yang bersifat bendawi  terliput di dalam gerak itu. Segala obyektifitas di dalam dunia luar bersandar kepada suatu proses tanpa pendukung yang berdiri sendiri. Ruang atau keluasan tidak memiliki eksistensi atau keber-“ada”-an sendiri. Ruang justru gagasan tentang hal yang ber-“ada” itu. Sedangkan waktu adalah gagasan tentang gerak.[32]
      Konsistensi gagasannya juga terlihat dalam pandangannya tentang manusia. Ia memandang manusia tidak lebih dari pada suatu bagian alam bendawi yang mengelilinginya. Oleh karena itu, segala sesuatu yang terjadi pada manusia dapat dijelaskan sebagaimana kejadian alamiah bendawi lainnya secara mekanis. Jiwa itu sendiri menurutnya adalah kompleks dari proses-proses mekanis dalam tubuh. Akal bukanlah pembawaan, melainkan hasil perkembangan karena kerajinan.
      Seperti di singgung di atas, pengenalan atau pengetahuan diperoleh karena pengalaman. Pengalaman adalah awal segala pengetahuan. Pengenalan dengan akal hanya memiliki fungsi mekanis, karena pengenalan dengan akal pada hakikatnya mewujudkan suatu proses penjumlahan dan pengurangan. Pengenalan dengan akal dimulai dengan pemakaian kata-kata (pengertian-pengertian), yang hanya mewujudkan tanda-tanda menurut adat-kebiasaan saja, dan yang menjadikan jiwa manusia dapat memiliki gambaran yang diucapkan dengan kata-kata itu. Selanjutnya, hal ini akan membentuk pengalaman (empirik). Isi pengalaman itu adalah keseluruhan atau totalitas segala pengamatan yang disimpan di dalam ingatan dan digabungkan dengan suatu pengharapan masa depan, sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa lampau.[33]
    c) Fenomenalisme Kant
52
 
Filsuf Jerman abad ke-18 Immanuel Kant melakukan pendekatan kembali terhadap masalah hakikat rasio dan indera sebagai sumber pengetahuan setelah memperhatikan kritikan-kritikan yang dilancarkan oleh David Hume terhadap sudut pandang yang bersifat empiris dan rasional. Mengapa pendirian Kant disebut sebagai fenomenalisme. Kant berpendapat bahwa sebab akibat tidak dapat dialami. Marilah kita memperhatikan pernyataan, “kuman tipus dapat menyebabkan demam tipus.” Bagaimanakah kita sampai dapat mengetahui keadaan yang mempunyai hubungan sebab-akibat ini. Kebanyakan orang akan mengatakan, “setelah diselidiki para ilmuan diketahui bahwa bila ada orang yang menderita demam tipus, tentu terdapat kuman tersebut, dan bila kuman ini tidak terdapat di dalam diri seseorang, maka orang itu tidak menderita deman tipus.”[34]
Dari penjelasan di atas dengan jelas terlihat bahwa syarat “adanya kuman tipus” dan “demam tipus” mesti ada sebelum disimpulkan bahwa kuman tersebut menyebabkan demam. Karena boleh jadi “seorang yang dalam dirinya ada kuman tipus” tapi tidak menderita demam. Bagaimanapun, pengamatan akan mengungkapkan kepada kita tentang kuman tersebut dan juga tentang orang yang sehat atau yang sakit. Tetapi pengamatan, betapapun juga banyaknya tidak dapat menunjukkan kepada kita kuman yang menyebabkan penyakit tersebut.  Bagaimanakah kita dapat memperoleh pengetahuan bahwa kuman itulah yang menyebabkan penyakit tersebut. Ditinjau dari sudut pandangan empiris, Hume menolak bahwa kita akan dapat mengetahui sebab akibat sebagai suatu hubungan yang bersifat niscaya.
Jika melihat seekor kucing dan kemudian kita memukulnya, kita tidak dapat mengatakan bahwa kucing itulah yang menyebabkan kita memukulnya, meskipun kita lakukan berkali-kali. Dalam kedua peristiwa di atas tidak tampak hubungan sama sekali. Maka mengapakah kita bila melihat kuman dan kemudian melihat orang sakit, kita lalu mengatakan bahwa kuman itulah yang menyebabkan penyakit.
Indera hanya dapat memberikan data indera, data itu ialah warna, cita rasa, bau, rasa dan sebagainya. Memang benar, kita mempunyai pengalaman, tetapi sama benarnya juga bahwa untuk mempunyai pengetahuan (artinya menghubungkan hal-hal), maka kita harus keluar dari atau menembus pengalaman, kata Kant. Jika dalam memperoleh pengetahuan kita menembus pengalaman, maka jelaslah, dari suatu segi pengetahuan itu tidak diperoleh melalui pengalaman, melainkan ditambahkan pada pengalaman.
Jika orang tidak dapat membayangkan berupa apakah suatu “rasa yang bersahaja” dengan “suatu bunyi yang kasar”, maka jelaslah bahwa data indera yang murni tidaklah merupakan pengetahuan. Pengetahuan terjadi bila akal menghubungkan, untuk memperoleh fakta bahwa tekanan terhadap sesuatu menyebabkan terjadinya bunyi. Hubungan merupakan cara yang dipakai oleh akal untuk mengetahui suatu kejadian, hubungan itu tidak alami.  Hubungan ialah bentuk pemahaman kita, dan bukan isi pengetahuan.[35]

 C. Human Science Dalam Studi Filsafat Islam

   Manusia menempati posisi yang sangat sentral dalam filsafat Islam. Para filsuf muslim memandang manusia sebagai ukuran bagi semua hal (mi’yar kulli syai), persis seperti yang dikatakan kaum filosofis Yunani beberapa abad sebelumnya. Abd al-Karim al-Jilli menganggapnya sebagai ‘makhluk sempurna’ (insan kamil), sementara Ibn Arabi memandangnya sebagai ‘pusat alam raya’ (markaz al-kawn). Berbeda dengan teologi yang mempertentangkan antara tuhan dan manusia, filsafat Islam menganggap manusia sebagai perluasan dari wujud tuhan. Al-Farabi memandang manusia sebagai kulminasi dari proses emanasi (al-fayd) yang ruwet. Manusia tidak diciptakan seperti kita menciptakan kendi dari tanah liat, tapi melewati proses kontemplasi akal murni dari satu jenjang ke jenjang lain.[36]
          Akal adalah daya (quwwah) yang membedakan manusia dari makhluk lain. Dengan akalnya manusia mampu mengetahui yang baik dan yang buruk, yang salah dan yang benar. Dengan akalnya pula manusia berusaha mencari kesenangan dan kebahagiaan. Menurut al-Farabi, kebahagiaan yang sempurna tidak bisa diwujudkan secara individual, tapi harus melibatkan orang lain. Secara alamiah, manusia adalah makhluk sosial yang saling bekerjasama dan tolong-menolong untuk merealisasikan kebahagiaan itu.[37]






54
 



 
     a) Fasilitas/Alat Mendapatkan Ilmu
      Dalam al-Qur`an dijumpai 49  kali kosa kata yang berakar kata a-q-l dalam berbagai bentuk. Sebarannya sebagai berikut: kata (‘aqaluh) dijumpai dalam 1 ayat, kata (ta’qilun) 24 ayat, (na’qil) 1 ayat, (ya’qiluha) 1 ayat, dan (ya’qilun) 22 ayat. Makna kosa kata itu dalam arti paham dan mengerti. Sebagai contoh dapat dilihat pada ayat-ayat berikut:
tbqãèyJôÜtGsùr& br& (#qãZÏB÷sムöNä3s9 ôs%ur tb%x. ×,ƒÌsù öNßg÷YÏiB tbqãèyJó¡o zN»n=Ÿ2 «!$# ¢OèO ¼çmtRqèùÌhptä .`ÏB Ï÷èt/ $tB çnqè=s)tã öNèdur šcqßJn=ôètƒ ÇÐÎÈ  

Artinya : Maka apakah kamu (muslimin) sangat mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, sedangkan segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah memahaminya, padahal mereka mengetahuinya. (Al-Baqarah/2: 75)[38]

óOn=sùr& (#r玍šo Îû ÇÚöF{$# tbqä3tGsù öNçlm; Ò>qè=è% tbqè=É)÷ètƒ !$pkÍ5 ÷rr& ×b#sŒ#uä tbqãèyJó¡o $pkÍ5 ( $pk¨XÎ*sù Ÿw yJ÷ès? ㍻|Áö/F{$# `Å3»s9ur yJ÷ès? Ü>qè=à)ø9$# ÓÉL©9$# Îû ÍrߐÁ9$      
Artinya: Maka tidak pernahkah mereka berjalan di bumi, sehingga hati dan (akal) mereka dapat memahami, telinga mereka dapat mendengar? Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada. (Al-Hajj/22: 46) [39]
Dalam lisan al-‘Arab dijelaskan bahwa al-‘aql berarti al-hijr (menahan) dan al-āqil adalah orang yang menahan diri (yahbis) dan mengekang hawa nafsu. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa al-‘aql mengandung arti kebijaksanaan (al-nuhā), lawan dari lemah pikiran (al-humq). Al-‘aql juga mengandung arti al-qalb (kalbu). Lebih lanjut disebutkan bahwa kata ‘aqala mengandung arti memahami.
Menurut Harun Nasution, kata ‘aqala bermakna mengikat dan menahan. Orang yang āqil di zaman Jahiliyah, dikenal dengan hammiyah atau darahnya  panas adalah orang yang dapat menahan amarahnya dan karenanya dapat mengambil sikap dan tindakan yang berisi kebijaksanaan dalam mengatasi masalah yang dihadapinya.[40]
Dari keseluruhan kosa kata yang berakar pada a-q-l bahwa al-‘aql adalah fakultas manusia yang berfungsi untuk mengerti atau memahami sesuatu. Al-‘aql (rasio) dalam ayat-ayat di atas tidak dibicarakan dalam konteks sumber ilmu tetapi dalam konteks alat yang darinya manusia memperoleh ilmu. Keseluruhan ayat-ayat al-Qur`an yang memiliki akar kata a-q-l, tidak satu pun ayat yang menyebut akal sebagai kata benda, semuanya dalam bentuk kata kerja (fi’il).

Baharuddin mengatakan bahwa:

‘Aql bukanlah suatu substansi (jauhar) yang bereksistensi, melainkan aktivitas dari suatu substansi. Jika dipahami demikian, akan mengandung suatu pertanyaan, yaitu substansi apakah yang berakal itu. Pertanyaan itu dapat dikembalikan kepada al-Qur`an. Dalam ayat lain dijelaskan bahwa substansi yang mampu ber‘aql itu adalah qalb.

b)     Indera
                 Dalam Al-Qur`an alat indera yang beraktifitas dan berfungsi bagi manusia dalam memperoleh pengetahuan adalah al-sam’ dan al-absar. Kata al-sam’ dan berbagai kata jadiannya disebut 185 kali, sedangkan kata al-sam’ sendiri dijumpai 12 kali dalam al-Qur`an.[41]
56
 
                 Kata al-absar dan berbagai kata jadiannya disebut 148 kali. Sementara kata al-absar disebut 18 kali. Di antara ayat-ayat yang mengandung kosa kata al-sam’ sebagai berikut:
ö@è% `tB Nä3è%ãötƒ z`ÏiB Ïä!$yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur `¨Br& à7Î=ôJtƒ yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur `tBur ßl̍øƒä ¢yÛø9$# z`ÏB ÏMÍhyJø9$# ßl̍øƒäur |MÍhyJø9$# šÆÏB ÇcyÛø9$# `tBur ãÎn/yムzöDF{$# 4 tbqä9qà)uŠ|¡sù ª!$# 4 ö@à)sù Ÿxsùr& tbqà)­Gs? ÇÌÊÈ  
Artinya: Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab, “Allah.” Maka katakanlah, “Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” (Yunus/10: 31)[42].

ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& Ÿw šcqßJn=÷ès? $\«øx© Ÿ@yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur   öNä3ª=yès9 šcrãä3ô±s? ÇÐÑÈ  
                  Artinya: Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur. (An-Nahl/16: 78)[43]
                        Berdasarkan penelusuran terhadap ayat-ayat al-Qur`an yang memiliki kosa kata al-sam’ dan al-absar dapat dijelaskan bahwa kemampuan mendengar karena manusia diberikan alat berupa telinga (uzun) dan kemampuan melihat karena manusia diberikan alat berupa mata (‘ain). Mata, yang memiliki kemampuan melihat, bisa saja tidak memberi manusia pengetahuan, oleh karena qalbu-nya tidak paham (buta). Sesuatu yang jelas terlihat bahwa bagi al-Qur`an, al-sam’ dan al-basr adalah aktifitas.
         c)  Hati (Fuad)
Kata fu`ad dan yang seakar kata dengannya tersebar dalam 16 ayat. Semuanya dalam bentuk kata benda, yakni al-fu`ad dan al-af`idah.[44] Mahmud Yunus mengartikannya sebagai hati atau akal.[45] Kedua kata ini seakar dengan fa`idah (jamak: fawa`id) artinya faedah atau guna. Makna yang dapat ditarik dari penggunaan al-Qur’an terhadap kata al-fu`ad dan al-af`idah adalah bahwa al-fu`ad memiliki fungsi akal (memahami, mengerti), sama dengan al-qalb. Secara tekstual, Allah menceritakan yang bermakna Nabi Saw dengan mendengarkan kisah-kisah Rasul terdahulu. Lalu dengan kisah-kisah itu menjadi kuat ­fu`ad (hati) Nabi. Dengan al-fu’ad itu berarti Nabi mendapatkan makna atau hikmah sejarah.
Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa al-fu`ad merupakan sentral dan pengendali bagi aktifitas al-‘aql dan al-qalb dalam menetapkan pengetahuan yang benar, baik dan berguna bagi manusia.
     Secara umum, bagi al-Qur`an indera dalam dan luar manusia seperti al-‘aql, al-qalb, al-fu’ad,  al-sam’, al-absar adalah alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Dan obyek pengetahuan adalah ayat-ayat Allah baik yang qauliyah/tanziliyah maupun yang kauniyah. Berbeda sekali dengan perspektif Barat yang memandang bahwa akal dan indera sebagai fakultas yang memberi manusia pengetahuan.
      Ilmuan Barat berpandangan demikian dikarenakan hirarki pengetahuan mereka hanya berhenti pada tataran empirikal. Asumsi-asumsi teologis metafisis telah terputus dari epistemologi keilmuan Barat, sejalan dengan pandangan humanis mereka yang sekuler-ateistik.
Selanjutnya kajian sumber ilmu dalam Islam, tepatnya kajian tentang epistemologi ilmu telah dilakukan sejak zaman klasik Islam. Kemudian, untuk masa yang lama terhenti  kajian berlanjut di Barat yang hingga kini memasuki abad modern.
58
 
 Ilmuan klasik, Al-Kindi menyebutkan ilmu terbagi dua yaitu ‘ilm ilāhiy (divine science) dan ‘ilm insaniy (human science). ‘Ilm Ilahiy adalah pengetahuan langsung yang diperoleh dari Nabi dan Tuhan. Dasar pengetahuan seperti ini ialah keyakinan. Sedangkan ‘ilm insaniy adalah pengetahuan yang diperoleh dari manusia dan alam. Dasar pengetahuan yang disebut terakhir adalah pemikiran (ratio-reason).[46] Abu Hamid al-Gazali (w. 1111 M) membagi ilmu terkesan tidak jelas. Dalam Mizan al-Amal, ia membagi ilmu kepada teoritis (nazariyyah) dan praktis (‘amaliyah).[47] Pada buku lainnya, ia membagi ilmu kepada fardu ‘ain dan fardu kifayah. Di sisi lain, ia membagi ilmu kepada ilmu religius (syar’iyyah) dan intelektual (‘aliyah).  Al-Gazali juga membagi ilmu kepada hudluri (yang dihadirkan) dan hushuli (yang dicapai). Dari pembagian ini, nampak dengan jelas bahwa al-Gazali memandang bahwa sumber ilmu yang utama adalah wahyu ilahi dan sumber kedua adalah pengalaman (empirik). Dalam mendapatkan ilmu, manusia menurut al-Gazali menggunakan indera, akal dan qalb.
Mahdi Ghulsyani menyebutkan, secara hakiki al-Qur`an sebagai sumber ilmu, prinsip ilmu, yang telah dijelaskan dan yang belum dispesifikasikan, bukan di luar al-Qur`an. Seluruh ilmu ini di raih dari salah satu lautan pengetahuan-Nya, yaitu lautan karya-Nya. Telah disebutkan bahwa al-Qur`an itu laksana lautan yang tak bertepi, dan bahwa sekiranya lautan itu menjadi tinta (untuk menjelaskan) kata-kata Tuhanku, sungguh lautan itu akan habis sebelum kata-kata Tuhan itu berakhir. Di antara perbuatan Allah yang (karena keluasannya dapat disebut) lautan perbuatan-Nya, misalnya adalah menyembuhkan dan menimbulkan penyakit, sebagaimana Allah menceritakan ucapan Ibrahim yang mengatakan, “Ketika aku sakit Dia-lah yang menyembuhkan aku… Perbuatan ini saja hanya dapat diketahui oleh orang yang mengetahui ilmu obat-obatan dengan sempurna, karena ilmu ini tidak berarti apa-apa selain pengetahuan .


[1] M. Amin Abdullah,”Etika Tauhid Sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama (Yogyakarta:  Pilar Relegia Press 2004) h. 3.
[2]John F. Haught, Science and Relegion, From Conflict to Conversation, Pulist Press, New York. terj. Fransiskus Borgias, Perjumpaan Sains dan Agama, dari Konflik ke Dialog, (Bandung: Mizan, 2004) h. 2
[3]Zainal Abidin Bagis, Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi, (Bandung: Mizan,  2005), h 19.
[4] Mehdi Golshani, Issues in Islam and Science, Institute for Humanities and Cultural Studies Teheran, Iran, terj. Ahsin Muhammad, Melacak Jejak Tuhan dalam Sains, Tafsir Islami atas Sains, (Bandung: Mizan, 2004) h. 11.
[5]Mehdi Golshani, Issues in Islam and Science, Institute for Humanities and Cultural Studies Teheran, Iran, terj. Ahsin Muhammad, Melacak Jejak Tuhan dalam Sains, Tafsir Islami atas Sains , h 12
[6]Mehdi Golshani, Issues in Islam and Science, Institute for Humanities and Cultural Studies Teheran, Iran, h.12.
[7]Ian Barbour, When Science Meets Relegion: Enemies, Strangers, or Partuers, terj. E.R. Muhammad, Juru Bicara Tuhan antara Sains dan Agama, (Bandung: Mizan, 2002) h. 44.
[8] Zainal Abidin Bagis, Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi, h.19.
[9] Ian Barbour, When Science Meets Relegion: Enemies, Strangers, or Partuers, terj. E.R. Muhammad, Juru Bicara Tuhan antara Sains dan Agama,  h. 44
[10] Ian Barbour, When Science Meets Relegion: Enemies, Strangers, or Partuers, terj. E.R. Muhammad, Juru Bicara Tuhan antara Sains dan Agama,  h 45
[11] Ian Barbour, When Science Meets Relegion: Enemies, Strangers, or Partuers, terj. E.R. Muhammad, Juru Bicara Tuhan antara Sains dan Agama, h. 42
[12] Zainal Abidin Bagis, Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi h 20
[13]Zainal Abidin Bagis, Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi, h 21
[14]John F. Haught,”Science and Relegion, From Conflict to Conversation, Pulist Press, New York., terj. Fransiskus Borgias,Perjumpaan Sains dan Agama, dari Konflik ke Dialog, (Bandung: Mizan, 2004)    h. 1.
[15] John F. Haught,”Science and Relegion, From Conflict to Conversation, Pulist Press, New York., terj. Fransiskus Borgias,Perjumpaan Sains dan Agama, dari Konflik ke Dialog, h. 8
[16] John F. Haught,”Science and Relegion, From Conflict to Conversation, Pulist Press, New York., terj. Fransiskus Borgias,Perjumpaan Sains dan Agama, dari Konflik ke Dialog, h. 2
[17]Michael Polanyi, Personal Knowledge: Towards a Post-Critical Philosophy,(New York: Harper Torchbooks, tth) h. 299
[18]Huston Smith, Why Religion Matters, terj. Ajal Agama di Tengah Kedigdayaan Sains, (Bandung: Mizan 2003), h. 75.
[19] John F. Haught,”Science and Relegion, From Conflict to Conversation, Pulist Press, New York., terj. Fransiskus Borgias,Perjumpaan Sains dan Agama, dari Konflik ke Dialog, h  19
[20] Mehdi Golshani, Issues in Islam and Science, Institute for Humanities and Cultural Studies Teheran, Iran, terj. Ahsin Muhammad, Melacak Jejak Tuhan dalam Sains, Tafsir Islami atas Sains,  h. 48.
[21] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008). h. 107. 
[22] Louis O. Kattsof, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1996) h. 142.
[23] Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna. Terj. M. Nur Mufid bin Ali (Bandung: Mizan, 1993),   h. 28.
[24] Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna. Terj. M. Nur Mufid bin Ali,  h 29
[25] Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna. Terj. M. Nur Mufid bin Ali,  h  30
[26] Harun Nasution Akal dan Wahyu dalam Islam. (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia UI- Press, tth) h. 20.
[27] Harun Nasution Akal dan Wahyu dalam Islam,  h 21
[28] Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, (Jakarta: Kencana, 2008) h. 105
[29] Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna. Terj. M. Nur Mufid bin Ali , h 32
[30] Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna. Terj. M. Nur Mufid bin Ali,  h 32
[31] Harun Nasution Akal dan Wahyu dalam Islam , h 32
[32] Harun Nasution Akal dan Wahyu dalam Islam,  h 33
[33] Harun Nasution Akal dan Wahyu dalam Islam, h. 34.
[34] Kattsof, Louis O. Pengantar Filsafat. (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1996).h 142
[35] Kattsof, Louis O. Pengantar Filsafat,  h. 143
[36] Abu Nasr al-Farabi. Ara Ahl al-Madinah al-Fadilah. (Beirut: Dar al-Masyriq, tth), h 116
[37] Abu Nasr al-Farabi. Ara Ahl al-Madinah al-Fadilah, h 117
[38] Dep. Agama RI, Al-Qur`an dan Terjemahnya, (Bandung: Syaamil Al-Qur`an, tth), h. 11.
[39] Dep. Agama RI, Al-Qur`an dan Terjemahnya, h. 337
[40] Harun Nasution Akal dan Wahyu dalam Islam  h.  7
[41] Harun Nasution Akal dan Wahyu dalam Islam  h 347
[42]Harun Nasution Akal dan Wahyu dalam Islam  h. 212.
[43]Harun Nasution Akal dan Wahyu dalam Islam  h. 275.
[44]Abd al-Baqy, Muhammad Fuad. Al-Mu’jam al-Mufahras li al-Faz al-Qur`an al-Karim. Kairo: Dar al-Hadis, 1422 H/2001 M. h  621/2
[45] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, ( Jakarta: Hidakarya Agung) h. 306.
[46] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990). h. 15.
[47]Al-Gazali, Abu Hamid. Mizan al- amal. (Kairo: Silsilah Saqafat Islamiyah, tth). h 37

 
BAB IV
STUDI ISLAM KONTEKS HUKUM : HUKUM ISLAM DAN TRANSFORMASI SOSIAL MASYARAKAT JAHILIYYAH: STUDI HISTORIS TENTANG KARAKTER EGALITER HUKUM ISLAM


Pendahuluan
Nabi Muhammad saw mendapatkan wahyu dari Allah SWT pertama kali pada hari Senin tanggal 17 Ramadhan tahun ke-41 dari kelahirannya, bertepatan dengan tanggal 6 Agustus 610 M.[1] Semenjak saat itu, Muhammad bin Abdullah  mengemban amanat nubuwwah dari Allah SWT untuk membawa agama Islam ke tengah-tengah manusia, yang ternyata merupakan sebuah ajaran yang merombak seluruh system social, terutama system hukum yang ada pada masyarakat Jahiliyyah.[2] Islam datang ke tengah-tengah masyarakat Jahiliyyah dengan membawa syari'ah (system hukum) yang sempurna sehingga mampu mengatur relasi yang adil dan egaliter antar individu manusia dalam masyarakat. Secara prinsip, kemunculan Nabi Muhammad saw dengan membawa ajaran-ajaran egaliter, dapat dinilai sebagai sebuah perubahan social terhadap kejahiliyyahan yang sedang terjadi di dalam masyarakat, terutama system hukumnya, dengan wahyu dan petunjuk dari Allah SWT.[3]
60
 
Hukum Islam (Islamic Law) merupakan perintah-perintah suci dari Allah SWT yang mengatur seluruh aspek kehidupan setiap Muslim[4], dan meliputi materi-materi-materi hukum secara murni serta materi-materi spiritual keagamaan.[5] Melalui penelitian sejarah yang empiris, Joseph Schacht menyebut Islamic Law sebagai ringkasan dari pemikiran Islam, manifestasi way of life Islam yang sangat khas, dan bahkan sebagai inti dari Islam itu sendiri.[6]
Pada periode Islam awal, yaitu periode Islam di Makkah, hukum Islam dimulai dengan tetap membiarkan praktek-praktek hukum yang telah ada di dalam masyarakat. Namun kemudian, sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Hamidullah, secara bertahap, berdasarkan wahyu (al-Qur'an) dan sunnah Nabi Muhammad saw, system hukum yang telah menjadi kebiasaan pada masyarakat Jahiliyyah tersebut diperbaiki, dirombak dan bahkan diganti sama sekali dengan system hukum Islam yang berbeda dalam kurun waktu sekitar dua puluh tiga tahun.[7]
Sebagai konsekuensi dari sebuah transformasi (perubahan) social, hukum Islam berposisi sebagai hukum yang berbeda dan merombak hukum Jahiliyyah.[8] Dalam sejarah, Nabi Muhammad saw beserta para pemeluk Islam awal benar-benar membuat sikap kontra terhadap system hukum Jahiliyyah dalam perilaku dan tindak tanduk mereka, sehingga mendapatkan pertentangan yang keras dari para tokoh penegak system hukum Jahiliyyah. Dan bahkan kemudian, pendekatan Muhammad saw sebagai pembawa Islam awal terhadap kelompok yang 'terpinggirkan' dalam stratifikasi social untuk membawa ajaran Islam di masyarakat, juga menjadi poin penting dalam konsekuensi tersebut.[9]
Sebuah pemahaman bahwa hukum Islam yang terlibat dengan sejarah manusia –dalam konteks ini dengan hukum Jahiliyyah-, merupakan sebuah gejala budaya dan bisa diteliti dengan pendekatan ilmu budaya serta perangkat-perangkat metodologisnya.[10] Dengan kelebihan dan kekurangannya, studi tentang perubahan social oleh hukum Islam terhadap hukum Jahiliyyah sebagai latar belakang kemunculannya, yang menjadi pembahasan dalam makalah ini, diupayakan mampu menjauhkan diri dari sikap yang disebut Richard C. Martin sebagai fideistic subjectivism ataupun scientific objectivism.[11] Lebih penting lagi, sisi yang memotret keberpihakan Islam terhadap kaum mustadl'afin menjadi sebuh penyadaran penting yang kritis terhadap adanya perubahan social oleh hukum Islam di dalam masyarakat.

Sistem Hukum Jahiliyyah Masyarakat Arab Pra-Islam
Secara umum, periode Makkah pra-Islam disebut sebagai periode Jahiliyyah yang berarti kebodohan dan barbarian. Secara nyata, dinyatakan oleh Philip K. Hitti, masyarakat Makkah pra-Islam adalah masyarakat yang tidak memiliki takdir keistimewaan tertentu (no dispensation), tidak memiliki nabi tertentu yang terutus dan memimpin (no inspired prophet) serta tidak memiliki kitab suci khusus yang terwahyukan (no revealed book) dan menjadi pedoman hidup.[12]
62
 
Merujuk kata "Jahiliyyah" dalam al-Qur'an, yaitu dalam surat Ali Imron/3 ayat 154 (…yazhunnuna bi Allahi ghayra al-haqqi zhanna al-jahiliyyati…), surat al-Ma'idah/5 ayat 50 (afahukma al-jahiliyyati yabghuna…), surat al-Ahzab/33 ayat 33 (wala tabarrujna tabarruja al-jahiliyyati …) dan surat al-Fath/48 ayat 26 (…fi qulubihmu al-hamiyyata hamiyyata al-jahiliyyati…) sebagaimana ditunjuk oleh Philip K. Hitti[13] dan diidentifikasi oleh Muhammad Fuad sebagai ayat-ayat yang mengandung kata "Jahiliyyah",[14] cukup memberikan sebuah petunjuk bahwa masyarakat Jahiliyyah itu memiliki ciri-ciri yang khas pada aspek keyakinan terhadap Tuhan (zhann bi Allahi), aturan-aturan peradaban (hukm), life style (tabarruj) dan karakter kesombongannya (hamiyyah). Sehubungan dengan sejarah kemanusiaan, hukum Jahiliyyah ternyata membuat keberpihakan pada kelompok tertentu yang dapat disebut memiliki karakter rasial, feudal dan patriarkhis.
1. Karakter Rasial
Sifat pertama, rasial, yang terdapat pada hukum Jahiliyyah bisa ditunjukkan dengan adanya perasaan kebangsaan yang berlebihan (ultra nasionalisme) dan kesukuan ('ashabiyyah) serta adanya pembelaan terhadap orang-orang yang berada dalam komunitas kesukuan (qabilah) yang sama. Pada masyarakat Arab pra-Islam, dikenal istilah al-'ashabiyyah atau al-qawmiyyah yang berarti kecenderungan seseorang untuk membela dengan mati-matian terhadap orang-orang yang berada di dalam qabilah-nya dan dalam qabilah lain yang masuk ke dalam perlindungan qabilah-nya. Benar atau salah posisi seseorang di dalam hukum, asal dia dinilai sebagai inner group-nya, pasti akan selalu dibela mati-matian ketika berhadapan dengan orang yang dinilai sebagai outer group-nya.[15]
Orang-orang Arab pra-Islam memiliki perasaan kebangsaan yang luar biasa (ultra nasionalisme). Mereka menganggap diri mereka (Arab) sebagai bangsa yang mulia dan menganggap bangsa lain ('Ajam) memiliki derajat di bawahnya. Ibn Jarir al-Thabari menceritakan sebuah peristiwa hukum perkawinan jahiliyyah yang berkarakter rasial dengan didasari semangat ultra nasionalisme. Cerita tersebut adalah kisah penolakan Nu'man Ibn Munzhir terhadap lamaran seorang raja Persia Kisra Abruwiz pada anaknya yang bernama Hurqa karena adanya hukum Jahiliyyah yang dipegangi oleh Nu'man bahwa bangsa Arab adalah bangsa "super" di atas bangsa selain Arab dan oleh karenanya dilarang berhubungan nikah dengan seorang 'ajam –sekalipun pelamarnya adalah seorang raja-, karena diyakini bisa menurunkan kualitas ke-'Arab-an yang "super" pada diri Nu'man dan anaknya.[16]
64
 
Dalam pergaulan antar kelompok, orang Arab pra-Islam selalu membela anggota kelompok dan kepentingan kelompoknya. Seseorang akan selalu dibela oleh anggota se-qabilah (inner group) ketika berhadapan dengan anggota kelompok lain (outer group), baik dalam posisi benar maupun dalam posisi salah.[17] Kebenaran dan kesalahan seseorang ditentukan oleh keputusan masing-masing qabilah-nya.[18] Sebuah contoh yang bisa dikemukakan adalah hukum berperang dan pembunuhan pada masyarakat Jahiliyyah yang sangat ditentukan oleh perasaan 'ashabiyah. Yaitu peristiwa perang Fijar yang sebenarnya terjadi pada bulan yang terlarang untuk berperang (asyhur al-hurum) antara suku Kinanah dengan suku Qays 'Ailan (keduanya adalah nama suku dalam suku besar Quraysy) yang disaksikan oleh Muhammad saw ketika berusia 14/15 tahun (beliau belum diangkat menjadi Rasulullah). Perang tersebut terjadi karena pembelaan terhadap anggota kedua suku masing-masing yang terlibat bentrok dan pembunuhan di pasar Ukaz, tanpa mempertimbangkan kesalahan dari masing-masing orang yang dibela. Apapun kondisinya, kalau ada salah satu anggota dari suatu kelompok terlibat bentrok, maka dengan serta-merta seluruh anggota kelompoknya akan membela dia.[19]

2. Karakter Feudal
Karakter feudal pada hukum Arab pra-Islam tergambar dengan adanya superioritas yang dimiliki oleh kaum kaya dan kaum bangsawan di atas kaum miskin dan lemah. Kehidupan dagang yang banyak dijalani oleh orang Arab Makkah pada waktu itu –yang mengutamakan kesejahteraan materi-[20] menjadikan tumbuhnya superioritas golongan kaya dan bangsawan di atas golongan miskin dan lemah. Kaum kaya dan bangsawan Arab pra-Islam adalah pemegang tampuk kekuasaan dan sekaligus menjadi golongan yang makmur dan sejahtera di Makkah, kebalikan dari kaum miskin dan lemah.[21]
Sekalipun ada nilai kebaikan (al-muru'ah) dalam masyarakat Arab pra-Islam, sebagaimana yang tergambar dalam puisi-puisi Arab pra-Islam, yaitu bahwa salah satu kebaikan yang harus dimiliki oleh pemimpin kelompok adalah kedermawanan  -sebagaimana dicatat oleh Philip K. Hitti-,[22] namun disebutkan oleh Lapidus bahwa masyarakat Arab pra-Islam mempunyai rasa kebanggaan yang salah, yaitu neglect of the poor, neglect of almsgiving and of support for the weaker member of the community (menampik orang miskin, menolak memberi sedekah dan bantuan kepada anggota masyarakat yang lemah).[23] Sistem hukum dan sejarah perbudakan di kalangan Arab pra-Islam merupakan bukti kuat adanya karakter feudal pada hukum Jahiliyyah masyarakat Arab pra-Islam tersebut. Budak adalah manusia rendahan yang memiliki derajat jauh di bawah rata-rata manusia pada umumnya, bisa diperjualbelikan, bisa diperlakukan apa saja oleh pemiliknya, dan tidak memiliki hak-hak asasi manusia sewajarnya selaku seorang manusia.[24]

3. Karakter Patriarkhis
Karakter berikutnya yang melekat kuat pada hukum Jahiliyyah adalah patriarkhis. Dalam penelitian Haifaa, kaum lelaki pada waktu itu memegang kekuasaan yang tinggi dalam relasi laki-laki dengan perempuan, diposisikan lebih tinggi di atas kaum perempuan, Kaum perempuan mendapatkan perlakuan diskriminatif, tidak adil dan bahkan dianggap sebagai biang kemelaratan dan symbol kenistaan (embodiment of sin). Dalam sistem hukum Jahiliyyah, perempuan tidak memperoleh hak warisan, bahkan dijadikan sebagai harta warisan itu sendiri. Kelahiran anak perempuan dianggap sebagai aib, sehingga banyak yang kemudian dikubur hidup-hidup ketika masih bayi. Secara singkat, dalam istilah Haifaa, perempuan diperlakukan sebagai a thing dan bukan sebagai a person.[25]
66
 
Kondisi perempuan pada masa Jahiliyyah seperti dalam penelitian Haifaa tersebut, tergambarkan dalam al-Qur'an surat al-Nahl/16 ayat 58-59 sebagai berikut (wa idza busysyira ahaduhum bi al-untsa zhalla wajhuhu muswaddan wa huwa kazhim, yatawara min al-qawmi min su'in ma busysyira bihi, ayumsikuhu 'ala hunin am yadussuhu fi al-turab…). Ayat tersebut bercerita tentang sikap orang Jahiliyyah dalam menanggapi berita kelahiran anak perempuannya yang dianggap sangat memalukan, menurunkan harga diri orang tua dan keluarga, sehingga anak perempuan tersebut kalau perlu dibunuh atau dikubur hidup-hidup. Cerita tersebut dan beberapa cerita lain tentang perempuan Arab pra-Islam, cukup mewakili gambaran tentang karakter patriarkhis pada system hukum Jahiliyyah.
Sistem hukum Jahiliyyah pada masyarakat Arab pra-Islam dengan ketiga karakter utama seperti yang dipaparkan di atas, kemudian menjadi latar belakang kemunculan Islam dengan membawa perubahan social di dalam hukum yang revolusioner.[26]

Hukum Islam yang Revolusioner dan Egaliter
Secara jelas, al-Qur'an menolak penggunaan hukum Jahiliyyah yang dinilai penuh dengan pertimbangan hawa nafsu dan pemihakan terhadap kelompok tertentu yang berkuasa di dalam masyarakat. Selanjutnya ditegaskan bahwa hukum Islam merupakan satu-satunya hukum yang harus dipegangi oleh manusia karena berasal dari Allah SWT dan membawa prinsip keadilan dan kesetaraan social.[27]
Pada periode awal Islam, Nabi Muhammad saw menyebarkan ajaran Islam secara universal kepada seluruh manusia, di bawah bimbingan wahyu Allah SWT. W.M. Watt merinci ajaran Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw pada periode awal Islam tersebut ke dalam 5 (lima) tema pokok, yaitu; kebaikan dan kekuasaan Tuhan (God's Goodness and Power), pengadilan Tuhan di akhirat (the Return to God for Judgement), respon manusia untuk bersyukur dan menyembah Tuhan (Man's Response –gratitude and worship), respon manusia di hadapan Tuhan untuk seorang dermawan (Man Response to God –Generosity) dan risalah kenabian Muhammad saw (Muhammad's own vocation).[28]
Inti ajaran awal Nabi Muhammad saw adalah ajaran tawhid yaitu ajaran untuk beriman kepada Allah yang Maha Esa, Yang Maha Kuasa, Pencipta alam semesta dan Penguasa alam akhirat yang mengadili pertanggungjawaban seluruh makhluk-Nya (termasuk manusia) atas semua perbuatannya.[29] Konsekuensi logis dari ajaran ini adalah adanya kewajiban untuk menyembah dan bersyukur kepada Tuhan serta kewajiban untuk menjadi egaliter dan saling menyayangi antar sesame makhluk, terutama sesama manusia.[30] Sementara itu, secara singkat bisa dikatakan bahwa dasar ajaran pada periode awal tersebut adalah kesalihan keakhiratan, kemuliaan etis dan ibadah shalat, seperti dikemukakan oleh Lapidus bahwa eschatological piety, ethical nobility and prayer formed the basis of early Islam.[31]
68
 
Secara umum, hukum Islam berdiri di atas prinsip-prinsip yang harus dipertahankan secara absolut dan universal. Prinsip-prinsip tersebut, sebagaimana dikemukakan oleh Masdar F. Mas'udi, adalah ajaran yang qath'i dan menjadi tolok ukur pemahaman dan penerimaan hukum Islam secara keseluruhan.[32] Prinsip-prinsip tersebut diidentifikasikan oleh Masdar yang antara lain adalah prinsip kebebasan dan pertanggungjawaban individu,[33] prinsip kesetaraan derajat manusia di hadapan Allah,[34] prinsip keadilan,[35] prinsip persamaan manusia di hadapan hukum,[36] prinsip tidak merugikan diri sendiri dan orang lain,[37] prinsip kritik dan kontrol sosial,[38] prinsip menepati janji dan menjunjung tinggi kesepakatan,[39] prinsip tolong menolong untuk kebaikan,[40] prinsip yang kuat melindungi yang lemah,[41] prinsip musyawarah dalam urusan bersama,[42] prinsip kesetaraan suami-istri dalam keluarga,[43] dan prinsip saling memperlakukan dengan ma'ruf antara suami dan istri.[44]
Berkenaan dengan egalitarianitas dalam Islam, surat al-Hujurat/49 ayat 13 menegaskan bahwa orang yang paling mulia di hadapan Allah SWT adalah orang yang paling bertaqwa, bukan orang yang paling kaya, paling pandai atau paling berkuasa, entah itu laki-laki atau perempuan dan entah berasal dari suku bangsa apapun. Disebutkan di permulaan ayat bahwa manusia itu tercipta dari asal muasal yang sama, yaitu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang kemudian tersebar ke berbagai kelompok dan suku bangsa. Ditegaskan pula bahwa antar sesama manusia perlu mengadakan komunikasi dan interaksi timbal balik. Ayat tersebut diceritakan turun berkenaan dengan beberapa peristiwa, antara lain peristiwa yang terjadi pada waktu fath al-makkah. Diceritakan bahwa Bilal bin Rabah mengumandangkan seruan adzan dan dinilai oleh al-Harits bin Hisyam tidak pantas karena Bilal adalah seorang "bekas" budak yang berkulit hitam. Suhayl bin Amru merespon penilaian tersebut dengan menyatakan bahwa jika perbuatan Bilal itu salah, tentu Allah SWT akan mengubahnya dan turunlah ayat tersebut.[45]
Jika kemudian ada aturan-aturan dalam hukum Islam yang kelihatannya tidak sesuai dengan prinsip egaliter dan dan prinsip-prinsip lainnya, maka aturan tersebut harus dipahami sesuai dengan konteks realitas sosial yang melingkupinya dan memperhatikan fungsinya sebagai legal counter terhadap aturan-aturan hukum non-egaliter yang berlaku pada masa Jahiliyyah. Sebagai contoh hukum waris yang membagi harta warisan pada laki-laki dan perempuan dengan bagian satu berbanding dua sebagaimana disebutkan di dalam al-Qur'an, menurut pemahaman yang egaliter, sebagaimana diungkapkan oleh Masdar misalnya, harus dipahami dengan memperhatikan dua hal yang penting. Pertama, dengan memberi bagian warisan kepada perempuan serta mendudukkan laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai subyek penerima warisan, maka berarti hukum Islam telah melakukan reformasi yang cukup revolusioner dan radikal terhadap hukum Jahiliyyah yang telah ada sebelumnya, yaitu tidak menjadikan perempuan sebagai subyek penerima harta warisan dan bahkan bisa menjadi harta warisan itu sendiri. Kedua, setting sosial  ekonomi dalam kehidupan keluarga pada masa munculnya aturan hukum tersebut adalah beban nafkah keluarga ditanggung oleh laki-laki, sehingga pembagian warisan yang membagi laki-laki dengan bagian warisan yang lebih besar daripada bagian warisan perempuan merupakan pembagian yang adil.[46] Dengan begitu, maka aturan-aturan hukum Islam adalah aturan hukum yang memiliki karakter egaliter, tidak rasial, tidak feudal dan tidak patriarkhal.


Reaksi Masyarakat Jahiliyyah Terhadap Islam dan Hukum Islam
Islam muncul pada masyarakat Jahliliyyah dengan membawa perubahan sosial, melawan sistem hukum yang telah ada sebelumnya.[47] Dengan adanya perubahan yang signifikan oleh Islam terhadap hukum masyarakat Arab pra-Islam, misi Islam mendapatkan sambutan dan respon dari masyarakat, baik dari kelompok masyarakat yang menghendaki perubahan maupun dari kelompok masyarakat yang menjadi penopang hukum Jahiliyyah yang telah ada.[48]

1. Penerimaan Islam Oleh Masyarakat Jahiliyyah
Para penerima ajaran Islam awal, sebagaimana yang diidentifikasikan oleh Albert Hourani terdiri dari beberapa pemuda (dalam jumlah yang relatif kecil) dari keluarga Quraisy yang berpengaruh, beberapa orang (dalam jumlah yang relatif besar) anggota keluarga-keluarga yang kecil dan lemah, orang-orang yang termasuk anggota suku-suku yang berada di bawah perlindungan suku Quraisy dan beberapa pekerja (tukang-tukang) serta beberapa orang budak.[49] Orang-orang Jahiliyyah yang menyambut baik ajaran Islam —termasuk juga di dalamnya para migran yang marginal dan kaum miskin— dikatakan oleh Lapidus adalah orang-orang yang sangat tidak puas dengan kondisi moral dan kondisi sosial yang ada dan kemudian menerima alternatif pengganti oleh Nabi Muhammad saw. itu.[50]
Secara jelas, orang yang mula-mula masuk Islam adalah kaum perempuan, yaitu istri Nabi Muhammad saw., Khadijah binti Khuwaylid,[51] lalu seorang pemuda Quraisy berusia 10 tahun, anak paman Nabi Muhammad saw. yang lama diasuh oleh Nabi Muhammad saw., yaitu 'Ali bin Abi Thalib sebagai anak laki-laki pertama yang mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw.,[52] disusul kemudian seorang budak pemberian Khadijah yang kemudian dimerdekakan oleh Nabi Muhammad saw. sebelum beliau mendapat tugas nubuwwah, yaitu Zayd bin Haritsah[53] dan orang keempat berikutnya adalah seorang ansabu Quraisy li Quraisy yang lemah lembut dan penyayang, yaitu Abu Bakr al-Siddiq bin Abu Quhafah, yang mempunyai nama asli 'Abd Allah dan laqab 'Atiq.[54] Dimulai dengan keempat orang tersebut, perlahan-lahan Nabi Muhammad saw. mulai mendapat sambutan baik dari masyarakat Jahiliyyah lainnya yang mau menerima perubahan, terutama dari kelompok yang diidentifikasikan di atas.
Nabi Muhammad saw. selalu memberikan perlakuan yang egaliter kepada para pengikut Islam, tanpa membeda-bedakan asal-usul, status sosial dan jenis kelaminnya. Nabi Muhammad saw menjadi teladan utama bagi kaum muslim awal dengan memiliki sikap yang rendah hati pada para pengikut Islam. Ada perintah Allah swt. —yang turun 3 tahun setelah turunnya wahyu yang pertama— dalam kerangka perintah untuk menyebarkan Islam secara terang-terangan,[55] yang memuat perintah untuk mempunyai sikap rendah hati kepada para pengikut keimanan Islam yang telah ada.[56].
72
 
Tercatat dalam sejarah, beberapa peristiwa yang menggambarkan kehidupan egaliter dan kontras dengan hukum Jahiliyyah, antara lain peran yang besar dari seorang perempuan bernama Khadijah binti Khuwaylid dalam nubuwwah Nabi Muhammad saw. dan penyebaran Islam,[57] pembebasan Bilal bin Rabah oleh Abu Bakr,[58] penolakan Nabi Muhammad saw. terhadap sikap feodal dan rasial terhadap Bilal bin Rabah,[59] perubahan sikap 'Umar bin Khattab setelah rnasuk Islam yang menjadi penentang hukum Jahiliyah[60] dan beberapa peristiwa lainnya.

2. Pertentangan Jahiliyyah terhadap Transfromasi Sosial Islam yang Dibawa Nabi Muhammad saw.
Sebelum Nabi Muhammad saw. mengadakan perombakan terhadap seluruh bangunan hukum Jahiliyyah, terutama yang diawali dengan persoalan keimanan dan ritual keagamaan, hampir-hampir tidak ada satu pertentangan pun terhadap Islam dari masyarakat Jahiliyyah.[61] Namun setelah Nabi Muhammad saw. secara terang-terangan melakukan indzar kepada masyarakat Jahiliyyah pra-Islam, Islam memperoleh pertentangan yang hebat dari kelompok bangsawan yang kaya dan berkuasa pada masa Jahiliyyah, yaitu kelompok Quraisy yang sebenarnya merupakan suku yang dimiliki oleh Nabi Muhammad saw. sendiri.[62]55
Tor Andrae menegaskan bahwa berdasarkan pada deskripsi dalam Al-Qur'an, pertentangan antara Nabi Muhammad saw. (Islam) dengan kaum Quraysy Jahiliyyah, memiliki dua aspek yang berhubungan erat yaitu aspek keagamaan dan aspek sosial. Aspek keagamaan bermuara pada kepercayaan tentang Tuhan dengan keharusan meninggalkan ritual sesembahan masing-masing qabilah untuk kemudian beralih menyembah Allah yang Esa. Ditambah lagi dengan kepercayaan tentang alam akhirat yang menjadi tempat pertanggungjawaban perbuatan manusia yang belum pernah didengar oleh orang Quraisy dari nenek moyangnya. Ternyata, aspek keagamaan yang dianut oleh suku-suku Jahiliyyah ini sekaligus menjadi sebuah ikatan sosial yang mepersatukan anggota-anggota dari masing-masing suku. Sehingga, menganut ajaran Islam berarti dianggap keluar dari ikatan kesukuan yang telah ada dan mengubah tatanan kekuasaan pada masyarakat Jahiliyyah[63]
Dalam sejarah, tercatat ada beberapa perbincangan dan debat antara Quraisy dengan Abu Thalib, antara Quraisy dengan Nabi Muhammad saw. sendiri dan antara Quraisy dengan Raja Najasyi di Abyssinia yang menyimpulkan beberapa keberatan Quraisy terhadap Islam dan Nabi Muhammad saw. Paling tidak ada tiga kali perbincangan antara Quraisy dengan Abu Thalib yang menjadi pelindung Nabi Muhammad saw.: (1) dengan datang baik-baik,[64] (2) dengan mencoba memberi tekanan yang dikaitkan dengan posisi Abu Thalib dalam suku Quraisy,[65] dan (3) dengan menawarkan pertukaran Muhammad saw. dengan Umarah bin al-Walid.[66]
74
 
Dalam pembicaraan dengan Nabi Muhammad saw. sendiri tercatat paling tidak ada tiga peristiwa yang penting yaitu (1) memaki-maki Nabi Muhammad saw. sebagai penyihir, penyair, dukun, dan bahkan orang gila,[67] (2) perbincangan di Hijr yang kemudian berakhir dengan menganggap Nabi Muhammad saw. sebagai orang bodoh,[68] dan (3) penawaran agar menghentikan ajaran Islam dan menjadi orang yang paling kaya, paling berkuasa, paling mulia dan akan dilindungi dari gangguan jin.[69] Sedangkan perbicangan antara Quraisy dengan raja Najasyi di Abyssinia adalah untuk meminta agar raja mengembalikan pengungsi Muslim Makkah ke tempat asalnya.[70]
Pertentangan Quraisy terhadap Islam yang tergambar dalam beberapa peristiwa perbincangan di atas secara garis besar memuat keberatan Quraisy terhadap Nabi Muhammad saw. yang dianggap telah melakukan beberapa kesalahan yang antara lain : sabb al-alihah, 'aib a1-din, tasfih al-ahkam, syatm al-aba' dan tafriq al-jama'ah.[71] Meski divonis melakukan beberapa kesalahan tersebut, Nabi Muhammad saw. tetap menolak untuk menghentikan penyebaran ajaran Islam kepada masyarakat umum dan menolak hukum yang memakai pola pikir Jahiliyyah. Ketetapan hati Nabi Muhammad saw. ini tergambar dan pernyataan beliau kepada Abu Talib, ya 'amm law wadha'uw al-syams ft yamini wa a1-qamar fi yasari 'a/a an atruka hadza al-amr hatta yuzhhirahu Allahu aw ahlaka fihi ma taraktuhu.[72]
Tampaknya penolakan Quraysh terhadar Islam dan counter dari Nabi Muhammad saw. terhadap penolakan tersebut berkaitan erat dengan perubahan hukum yang mempengaruhi struktur sosial dan pola kepemimpinan masyarakat. Struktur social dan kepemimpinan yang bernuansa pemihakan kepada kelompok kaya, bangsawan dan penguasa, menuju ke struktur social dan kepemimpinan yang bernuansa egaliter dan pemihakan kepada kelompok muastadl'afin dalam struktur social.



[1] Muhammad Ridho,  Muhammad Rasul Allah Shalla Alllahu 'alayhi wa Sallama, cet. V (Kairo: Dar al-Ihya' al-'Arabiyyah, 1966 M / 1385 H) h. 59.
[2] Marshal G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, Vol. I The Classical Age of Islam (Chicago: Chicago University Press, 1974), h. 174.
[3]Robert Roberts, The Social Laws of the Qur'an: Considered and Compared with Those of the Hebrew and other Ancient Codes, cet. I (London: Curzon Press, 1990), h. 2.
[4] Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, cet. II (Oxford: Oxford University Press, 1964),  h 1.
[5]S.D. Goitein, "The Birth-Hour of Muslim Law; an Essay in Exegesis" dalam Jurnal The Muslim World, vol. L (Hartdford: The Hartdford Seminary Foundation, 1960), h. 23.
[6]Schacht, An Introduction…, h. 1.
[7] Muhammad Hamidullah, The Emergence of Islam, Afzal Iqbal (translator and editor), cet. I (Islamabad: Islamic Research Institut, 1993), h. 64.
[8]Andrew Rippin, Muslims; Their Beliefs and Practices, vol. I The Formative Period, cet. I (London: Routledge, 1990), h. 10.
[9]Lihat Marshal G. S. Hodgson, The Venture of Islam…, h. 174.
[10] Ini bukan berarti bahwa Islam diyakini hanya sebagai hasil kreasi manusia semata, namun Islam tetap diyakini sebagai wahyu yang datang dari Allah SWT, lihat M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam Dalam teori dan Praktek, cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 37-38.
[11] Richard C. Martin, Approach to Islam Religious Studies (Tucson: Arizona Press, 1985), hlm. 2. Bandingkan dengan M. Atho Mudzhar yang menyatakan adanya dua pendekatan yang saling berlawanan dalam memahami Islam, yaitu idealist approach dan reductionist approach, M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam…, h. 43.
[12]Philip K. Hitti, History of Arabs from Earliest Times to the Present, edisi X  (London: The Macmillan Press, 1974), h. 87.
[13] Ibid.
[14]Lihat Muhammad Fuad Abd al-Baqi, al-Mu'jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur'an al-Karim, cet. I (ttp.: Dar al-Fikr, 1986 M / 1406 H), h. 184.
[15] LIhat nukilan dari al-'Aruba fi Mizan al-Qawmiyyah, hlm 10 yang terdapat dalam Ali Husni al-Khurbuthuli, Ma'a al-'Arab (I): Muhammad wa al-Qawmiyyah al-'Arabiyyah, cet. II (Kairo: al-Mathbu'ah al-Haditsah, 1959), h. 5.
[16] Nukilan dari al-Thabari, Tarikh al-Tabari, II: 150-156 dalam buku 'Ali Abd al-Wahid Wafi, al-Musawah fi al-Islam, Anshari Umar Sitanggal dan Rosichin (penterjemah) (Bandung: al-Ma’arif, 1984), h. 17-18.
[17] 'Ali Husni al-Khurbuthuli menyatakan bahwa orang Arab pra-Islam (Jahiliyyah) benar-benar selalu membela anggota qabilah-nya, baik dalam posisi menganiaya (zhalim) maupun dalam posisi teraniaya (mazhlum), lihat 'Ali Husni al-Khurbuthuli, Ma'a al-'Arab (I) …, h. 21.
[18] Lihat Ibid., h. 6.
[19]Lihat Ibn Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah li Ibn Hisyam, notasi oleh Mushthafa al-Saqa, dkk., cet. II (Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba'ah Mushthafa al-Babi al-Halabi wa Awladihi, 1955 M / 1375 H), jilid I, h. 184.
[20]W. Montgomery Watt, Muhammad: Prophet and Statesman, cet. II (Oxford: Oxford University Press, 1969), h. 51-52.
[21]M.A. Shaban, Islamic History: A New Interpretation I A.D. 600-750, cet. IX (Cambridge: Cambridge University Press, 1971), h. 8.
[22] Philip K. Hitti, History of Arab…, h. 95.
[23]Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, cet. X (Cambridge: Cambridge University Press, 1995), h. 24.
[24]Lihat Washington Irving, Life of Mahomet (London: J.M. Dent & Son Lt., 1949), h. 13-14.
[25]Lihat Haifaa A. Jawad, The Rights of Women in Islam; An Authentic Approach, cet I (New York: S.T. Martin's Press, 1989), h. 1-3.
[26]Lihat Ira M. Lapidus, A History of Arab…, h. 19-20.
[27]Ayat al-Qur'an surat Al-Ma'idah ayat 50 berbunyi, "afa hukma al-jahiliyyati yabghuna. Wa man ahsanu min Allahi hukman li qawmin yuqinun". Ayat ini didahului dengan ayat yang menerangkan perintah Allah SWT untuk memerangi dan menggunakan hukum Islam yang telah diturunkan oleh Allah SWT, lihat surat Al-Ma'idah ayat 48-49.
[28]W.M. Watt, Muhammad; Prophet and Statesman, cet. II (reprint) (Oxford: Oxford University Press, 1969), h. 23-24.
[29]Marshal G.S. Hodgson, The Venture… I:163.
[30]Ira M. Lapidus, A History…, h. 24.
[31] Ibid.
[32] Masdar Farid Mas'udi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan: Dialog Fiqh Pemberdayaan, cet. II (Bandung: Mizan, 1997), h. 29-30.
[33]Surat al-Zalzalah/99 ayat 7-8, Fa man ya'mal mitsqala dzarrotin khairan yarahu. Ma man ya'mal mitsqala dzarrotin syarran yarahu.
[34] Surat al-Hujurat/49 ayat 13, Ya ayyuha al-nassu inna khalaqnakum min dzakarin wa untsa wa ja'alnakum syu'uban wa qaba'ilan li ta'arafu, inna akramakum 'inda Allahi atqakum.
[35]Surat Al-Ma'idah/5 ayat 8, I'dilu huwa aqrabu li al-taqwa.
[36]Surat Al-Ma'idah/5 ayat 8, ..Wa la yajrimannakum syana'anu qawmin 'ala alla ta'dilu… dan juga hadits riwayat al-Bukhari, Ya ayyuha al-nassu innama halaka al-ladzina min qablikum annahum kanu idza saraqa fihim al-syarifu tarakahu wa idza saraqa fihim al-dha'ifu aqamu 'alayhi al-haddu wa aymu Allahi, law anna Fatimata binta Muhammadin saraqat laqatha'tu yadaha.
[37] Surat al-Baqarah/2 ayat 279, La tadzlimuna wa la tudzlamuna dan Hadits riwayat Ibn Majah, La dharara wa la dhirara.
[38]Surat al-'Ashr/103 ayat 1-3, Wa al-'Ashri, inna al-insana lafi khusrin, illa al-ladzina amanu wa 'amilu al-shalihati wa tawashaw bi al-haqqi wa tawashau bi al-shabri.
[39]Surat al-Isra'/17 ayat 34, …Wa awfu bi al-'ahdi, inna al-'ahda kana mas'ulan
[40] Surat al-Ma'idah/5 ayat 2, Wa ta'awanu 'ala al-birri wa al-taqwa.
[41]Surat al-Nisa'/4 ayat 75, Wa ma lakum la tuqatiluna fi sabili Allahi wa al-mustadh'afina min al-rijali wa al-nisa'I wa al-wildani
[42]Surat al-Syura/42 ayat 38, Wa amruhum syura baynahum.
[43] Surat al-Baqarah/2 ayat 187, …Hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna
[44]Surat al-Nisa'/4 ayat 19, …Wa 'asyiru hunna bi al-ma'ruf
[45]Abu al-Hasan 'Ali bin Ahmad al-Wahidi, Asbab al-Nuzul, Abu al-Qasim Hibatullah ibn Salamah Abu Nashr (pentahqiq), (Kairo: Maktabah al-Dakwah, t.t.), h. 295.
[46]Masdar F. Mas'udi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi…, h. 52-53.
[47]Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law…, h. 10.
[48]Marshal G.S. Hodgson, The Venture…, I: 174.
[49]Albert Hourani, A History of The Arab Peoples, cet. I (Cambridge: Belknap Press of Harvard University Press, 1992), h. 17.
[50]Ira M. Lapidus, A History,.., h. 24.
[51]Ibn Hisyam, al-Sira,.., I: 240
[52]Ibid, h. 245
[53]Ibid., h. 247-248
[54]Ibid., h. 249-250
[55]Ibid., h. 262
[56] wa andzir 'asyirataka al-aqrabin wakhfidh  janahaka li man 'ittaba'aka min al-mu 'minin…
[57]Tercatat bahwa Khadijah adalah orang yang menenangkan kegelisahan Nab Muhammad saw. setelah menerima wahyu, meyakinkan Nabi Muhammad saw. terhadap kebenaran tentang datangnya wahyu dari Allah swt., penyumbang harta untuk kepentingar Islam dan sebagainya. Lihat Ibn Hisyam, Ibid, h. 237-239.
[58] Bilal dimerdekakan tanpa syarat oleh Abu Bakr dari tuannya, Umayyah bin Khalaf, lihat Ibn Hisyam, Ibid., h. 317-318.
[59]Rasulullah memperingatkan Abu Dzar al-Ghifari yang memanggil Bilal dengar sebutan Ibn al-sawda' dan beliau mengatakan, innaka imru 'un fika Jahiliyya. laysa li ibn 'I baydha' 'ala ibn a l-sawda' fadhl illa bi al-taqwa aw 'amal salih, lihat 'Ali Abd a1-Wahid Wafi, al-Musawah..., h. 11-12.
[60]Umar menangis apabila mengingat perbuatannya pernah membunuh anak perempuannya sendiri hidup-hidup dan pernah menjadi peminum minuman keras pada masa Jahiliyyah, lihat Ibn Hisyam, Sira..., I: 400-402.
[61]Tor Andrae, Mohammed The Man and His Faith (Mohammed Sein Leben und Sem Glaube), Theophil Menzel (translator), cet. I (New York: Harper Torchbooks, 1960), h.116
[62]Ibid., h. 117-118
[63]Ibid., hlm 120-122.
[64]Ibn Hisyam, al-Sira.,  I: 265.
[65]Ibid.
[66]Ibid., h. 266-267.
[67]Ibid., h. 289.
[68]Ibid.
[69] Ibid., h. 293-294.
[70]Sebelumnya, beberapa pengikut Nabi Muhammad saw. hijrah dan minta perlindungan pada raja Abyssinia dan kemudian wakil Quraisy datang serta meminta agar para pengungsi dikembalikan dengan sejumlah kompensasi hadiah, namun raja Abyssinia menolak untuk mengekstradisi mereka karena percaya terhadap kebenaran ajaran Muhammad saw. yang sesuai dengan isyarat di dalam kitab Injil, Ibid., h. 300.
[71]Lihat A. Guillaume, The Life of Muhammad, A Translation of Ibn Ishaq's Sirat Rasul Allah, cet. Ill (Karachi: Pakistan Branch Oxford University Press, 1970), hlm. nx-no
[72]Ibn Hisyam, al-Sira..., I: 265-266.

                                                                BAB V

METODE STUDI ISLAM : KAJIAN AL ISLAM, FAHAM DAN  ALIRAN

Pendahuluan

Pendidikan Islam bukanlah sekedar transfer of knowledges atau transfer of values tetapi merupakan aktivitas character building (pembentukan karakter, kepribadian). Tujuannya agar potensi yang dimiliki anak didik (potential capacity )menjadi kemampuan nyata (actual ability) dan tetap berada dalam posisi suci bersih (fitrah) dan lurus kepada Allah (hanief). Untuk mencapai itu, maka seorang guru harus mengajarkan Islam ilmu (yang berdasarkan dalil), bukan Islam persepsi (yang berdasarkan kira-kira), secara integrated, komprehensif dan. Integrated meliputi penajaman IQ, EQ dan SQ. Tujuannya adalah agar anak memiliki kualitas kognitif (pengetahuan), afektif (keimanan) dan psikomotor (amaliyah) yang lebih baik dengan target akhir adanya perubahan prilaku (behavior change) yang lebih baik  (taqwa, muttaqin).

A. Hakikat Pendidikan Al-Islam

Pada hakikatnya pendidikan al-Islam adalah proses bimbingan terhadap anak didik (santri, siswa, mahasiswa) untuk mengembangkan potensi (potential capasity) yang dimilikinya menjadi kemampuan nyata (actual ability) secara optimal sehingga tetap dalam kondisi fitrah dan hanief (lurus) sebagaimana keadaan ketika lahir.  Potensi yang dimiliki anak didik antara lain Intellegence Quotien (IQ), Emotional Quotien (EQ) dan Spiritual Quotien (SQ). Juga potensi bertuhan Allah dan potensi-potensi lainnya.

B. Tujuan antara Pendidikan al-Islam

·        
76
 
Aspek Kognitif : Agar  mahasiswa memahami al-Islam dengan paradigma yang benar (berfikir paradigmais).
·         Asepk Afektif : Agar anak didik mampu mengapresiasi al-Islam secara mendalam sehingga mereka mampu mengimani kebenaran al-Islam, mampu memenej emosinya secara benar, dan mampu mengahayati ajaran al-Islam sehingga dapat meningkatkan keimanan dan ketaqwaannya.
·         Aspek psikomotor : Mampu mengamalkan al-Islam secara komprehensif, baik dalam Hablum minallah, hablum minannas, dan hablum minal 'alam.
Sedangkan tujuan akhir Pendidikan Agama adalah terwujudnya insan yang berperilaku Al-Qur'an, atau manusia yang sanggup melaksanakan seluruh ayat Al-Qur'an tanpa kecuali, secara integratif dan  komprehensif, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam bermasyarakat.

C.    Materi Pendidikan Al-Islam

·         Materi Aqidah adalah menanamkan ketauhidan (Tauhid Rubbubiyah, Mulkiyah dan Uluhiyah)  seraya mencabut sikap syirik dengan akar-akarnya melalui analisis terhadap fenomena alam dan perilaku sosial masyarakat.
·         Aspek Syari’ah adalah mengajarkan tentang kaifiyat (tatacara, how to do) tentang ritual (ibadah mahdloh) dan mu’amalah (ibadah ghair mahdloh), beserta  falsafahnya sehingga setiap sendi syari'ah terasa mempunyai makna.
·         Materi Akhlak adalah memberikan pemahaman tentang dimensi- dimensi akhlak yang meliputi hablum minallah, hablum minannas dan hablum minal ‘alam dengan parameter yang jelas, terukur, terdeteksi, menekankan pembiasaan dan perlunya figur sebagai whole model (usawah hasanah).

D.    Cara Mempelajari Islam

Pengetahuan terbagi dua, yakni pengetahuan yang benar dan pengetahuan yang belum pasti benar.  Pengetahuan yang benar adalah al-ilmu atau alhaq, sedangkan pengetahuan yang salah atau  belum pasti benar disebut persepsi. Seorang ustadz, guru, dosen harus mengajarkan Islam Ilmu  bukan  Islam Persepsi. Islam Ilmu adalah Islam yang berdasarkan dalil, bukan karena pendapat, mayoritas, juga tidak terikat figur atau tradisi nenek moyang.
Untuk memperoleh Islam ilmu,  manusia harus menemukan dasar hukum (rujukan) yang jelas, bukan semata-mata perkiraan fikiran, terikat dengan figur atau terikat dengan mayoritas.

1) Mempelajari Islam dengan Ilmu

Mempelajari Islam dengan ilmu, bukan dengan kira-kira. Hal ini tercantum dalam Al-Qur'an QS 17 : 36

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا(36)

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.

2)      Beragama Tidak Atas Dasar Mayoritas

Beragama tidak atas dasar mayoritas, sebab mayoritas tidak menjamin orsinalitas. Perlu menjadi catatan penting bahwa kebenaran hanya ditentukan oleh kualitas argumentasi bukan oleh kuantitas penganutnya. 

3) Agama Bukan Berdasarkan Warisan

Beragama tidak boleh atas dasar keturunan atau warisan leluhur. Seperti yang tercantum dalam (QS. 2 :170)

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ ءَابَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ ءَابَاؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلاَ يَهْتَدُونَ  البقرة  170))





78
 



 
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk (QS. 2 : 170).

4) Beragama Tidak Atas Dasar Figur

Beragama tidak atas dasar figur seseorang, seperti pada (QS.9 :31)

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ َ(31)
Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah. (QS. 6 : 61).

D.  Azas Filosofis dalam Pendidikan Islam

Islam ilmu yang disampaikan dengan pendekatan yang tepat  akan mudah dicerna oleh peserta didik. Oleh karena itu penyajian materi pendidikan al-Islam harus sistimtis, rasional, objektif, komprehensif dan radikal.
Sistimatis  : Berurutan/ runtun, dari mana memulainya, terus ke mana dan bermuara di mana.
Rasional : Gampang difahami, mampu menjelaskan hubungan sebab akibat, sangat merangsang berfikir, dan tidak dogmatis.
Objektif : Berdasarkan dalil, jelas rujukannya, bukan sekedar kata orang, kira-kira atau dugaan – dugaan.
Komprehensif : Yakni menganalisis Islam dari berbagai sisi. Dalam hal ini sangat baik menggunakan multi pendekatan, antara lain Pendekatan Kebahasaan, Kesejarahan, Teologis., Filosofis, Sosiologis, Politis, Ekonomi, Kesehatan, Militer, dll.
Radikal : Sampai kepada kesimpulan, tajam, menggigit dan sangat menyentuh perasaan dan nurani.


Mengenai penggunaan akal / rasio  dalam memahami al-Islam, para tokoh pemikir Islam berbeda-beda corak pemikirannya. Paling tidak ada empat corak :
·      Tokoh Sinkretik : Sinkretik adalah percampuran antara budaya lokal dengan agama. Tokoh ini sering tidak peduli kepada dalil dan ratio. Pemikiran mereka lebih didominasi oleh sikap sosiologis,  cari aman.
·      Tokoh Scripturalis /Tekstualis : terikat dengan teks kurang memperhatikan konteks. Para tokoh Sripturalis bukan tidak menggunakan ratio tetapi lebih terikat dengan teks Al-qur’an dan hadits apa adanya.
·      Tokoh Rasional Kontekstual : Memperhatikan teks dan konteks. Tokoh ini banyak menggunakan argumentasi rasio di samping melihat teks Al-Qur’an dan hadits.
·      Tokoh Rasional Liberal : Tidak terikat teks. Analisis tehdapa ajaran islam yang dilakukan tokoh Rasional Liberal lebih didominasi oleh argumnetasi akal. Beberapa metode pendekatannya adalah Tafsir Metaforis, Tafsir Hermenetika dan pendekatan social kesejarahan.
Dari sini kelak lahirlah faham dan aliran keagamaan. Faham dan aliran adalah dua kata yang seakan-akan bermakna sama karena keduanya menggambarkan adanya suatu pemikiran yang kemudian jadi anutan bahkan pengamalan sebuah kelompok atau komunitas tertentu, tetapi sebenarnya kedua kata itu memiliki perbedaan. Perbedaannya dapat dirinci sebagaimana dijelaskan pada tabel di bawah ini.






80
 



 
      Tabel 1. PERBEDAAN ANTARA FAHAM DAN ALIRAN[1]

Faham
Aliran

Kata faham lebih berkonotasi kepada suatu alur pemikiran yang menganut prinsip tertentu.
Kata aliran lebih berkonotasi kepada suatu hasil pemikiran yang eksklusif.

Tidak terorganisir, tidak memiliki pemimpin pusat meskipun ia memiliki tokoh sentral yang menjadi figur faham tersebut
Terorganisir : ada ketua, pengurus dan anggotanya serta mempunyai aturan-aturan tertentu
Biasanya pengikut suatu faham tertentu adalah orang-orang yang kritis, senang berfikir, terbuka dan menyambut adanya diolog, walaupun tidak selalu demikian.
Biasanya para anggotanya tidak dibiarkan berfikir kritis tetapi bersifat taqlâd, dogmatis, tidak suka dialog, anti kritik dan cenderung merasa benar sendiri (truth claim).


Faham apapun sebenarnya merupakan hasil pemikiran, sedangkan hasil pemikiran sangat tergantung kepada paradigma berfikir yang bersangkutan. Dengan demikian, mengetahui paradigma setiap tokoh pemikir adalah sesuatu yang amat penting.
Secara garis besar corak pemikiran tokoh Islam terbagi dua yakni pemikir Rasional dan Pemikir Tradisional.
Apabila ditelusuri jauh ke belakang, akar pemikiran Rasional periode Modern di dunia Islam sebenarnya dipengaruhi oleh pemikiran rasional dari Barat. Walaupun asalnya Barat dipengaruhi pemikiran rasional Islam zaman Klasik. Pemikiran Rasional dibawa oleh para sarjana Barat yang telah mempelajari berbagai ilmu pengetahuan termasuk filsafat dari universitas Cordova ketika Spanyol dikuasai pemerintahan Islam Bani Umayah di bawah pemerintahan Islam pertama yakni Abd ar-Rahmán ad-Dakhili.
Sejarah Pemikiran di dunia Barat secara kronologis dimulai dengan Masa Yunani Kuno (6 abad sebelum Masehi), Masa Hellenika Romawi (abad 4 SM), Masa Parsitik (abad 2 M), Masa Skolastik (abad 8 M), Masa Rennaissanse ( abad 14-16 M), yang kemudian memasuki masa Aufklaerung (abad 18), atau memasuki periode Modern (abad 19) serta postmodernisme (abad 20).
Pada abad 17 muncul pemikiran falsafah Empirisme atau mazhab Empirisme dengan tokohnya antara lain Francis Bacon (1561-1626), Thomas Hobes (1588-1679), dan John Locke (1632-1704). Kemudian muncul pula mazhab Rasionalisme dengan tokohnya Rene Descartes (1596-1650), dan Spinoza (1632-1677).
Rasionalisme dianggap sebagai tonggak dimulainya pemikiran falsafati yang sebenarnya karena benar-benar menggunakan kemampuan ratio untuk memikirkan sesuatu secara mendalam, tidak terpengaruh oleh doktrin agama dan mitos. Mazhab ini menaruh kepercayaan kepada akal sangat besar sekali. Mereka berkeyakinan bahwa dengan kemampuan akal, pasti manusia dapat menerangkan segala macam persoalan, dan memahami serta me-mecahkan segala permasalahan manusia.
Dengan kepercayaan kepada akal yang terlampau besar, mereka menentang setiap kepercayaan yang bersifat dogmatis seperti terjadi pada abad Pertengahan, serta menyangkal setiap tatasusila yang bersifat tradisi dan terhadap keyakinan atau apa saja yang tidak masuk akal. Aliran filsafat Rasionalisme ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang memadai dan dapat dipercaya adalah akal (rasio). Metode yang digunakan oleh Rasio-nalisme ini adalah metode deduktif.
82
 
Rene Descartes (1598-1650) sebagai tokoh rasionalisme, dengan berlandaskan kepada prinsip “a priori” meraguragukan segala macam pernyataan kecuali kepada satu pernyataan saja yaitu kegiatan meragu-ragukan itu sendiri. Itulah sebabnya ia menyatakan: ”saya berfikir jadi saya ada (Cogito ergo sum).
Sedangkan mazhab Empirisme yang kemudian dikembangkan oleh David Hume (1611-1776), menyatakan bahwa sumber satu-satunya untuk memperoleh pengetahuan adalah pengalaman. Ia menentang kelompok rasionalisme yang berlandaskan kepada prinsip “a pripori:” tetapi mereka menggunakan prinsip “a posteriori”.[2]
Untuk menyelesaikan perbedaan antara Rasionalisme dan Empirisme, Iammnuel Kant mengajukan sintesis a pripori. Menurutnya, pengetahuan yang benar adalah yang sintesis a pripori, yakni pengetahuan yang bersumber dari rasio dan empiris yang sekaligus bersifat a pripori dan a posteriori. Immanuel Kant adalah pembawa mazhab Kritisisme atau Rasionalisme Kritis atau lebih dikenal dengan Modernisme. Kemudian pada abad 19 muncul pula Aguste Comte (1798-1857) membawa aliran filsafat Posistivisme yang pada hakikatnya sebagai Empirisme Kritis. Sedangkan aliran filsafat abad 20 atau masa Kontemporer antara lain muncul aliran filsafat Eksistensialisme, Strukturalisme, dan Poststrukturalisme, Postmodernisme. Dalam hal ini penulis tidak perlu membahas seluruh aliran filsafat tersebut karena persoalannya akan melebar tidak fokus.
Dengan pergumulan dua induk aliran filsafat, yakni Rasionalisme dan Empirisme, maka pada ujungnya para pemikir Barat hanya mengakui dua macam ilmu yakni Empirical science dan Rational Science. Sedangkan di luar itu hanyalah beliefs atau kepercayaan, bukan ilmu.
Mazhab pemikiran filsafat yang masuk dan mendominasi para pemikir muslim adalah mazhab Rasionalisme, sehingga para pemikir muslim Rasionalisme sangat memberikan penghargaan yang sangat tinggi kepada akal. Konsekuensinya, mereka menolak semua hadits yang bertentangan dengan akal, sehingga apabila ada hadits bertentangan dengan kesimpulan akal, maka yang dipakai adalah kesimpulan akal. Bahkan ayat-ayat al-Qur’an pun -- apabila secara literal (tekstual) isinya bertentangan dengan akal -- akan ditafsirkan sesuai dengan penerimaan akal melalui penafsiran metaforis.
Para pemikir muslim Rasionalis yang terpengaruh oleh filsafat Barat secara diametral bertentangan dengan para pemikir muslim Tradisionalis yang bersikap sebaliknya, yakni mereka tetap menggunakan hadits Ahad walaupun bertentangan dengan akal bahkan mereka pun berpegang kepada makna hakiki dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an bukan dengan tafsir metaforis sebagaimana diketengahkan oleh para pemikir Rasionalis. Pemikir Tradisionalis banyak menghindari – kalau tidak dikatakan memusuhi -- filsafat Barat.
Amin Abdullah yang mengutip pendapat Muhammad ‘Abid al-Jabiry menyatakan bahwa para tokoh Ilmu Kalam banyak yang memusuhi filsafat akibatnya antara filsasat dan Ilmu Kalam tidak ada titik temu. Abid al-Jabiry menyatakan bahwa di lingkungan generasi pertama Ahl as-Sunnah atau juga dengan Asy‘ariyah di mana terdapat tokoh-tokoh seperti al-Ghazali dan asy-Syahrastani (479-549 H), -- sangatlah menentang filsafat dan para ahli filsafat. Bahkan selanjutnya karya al-Ghazali Taháfut al-Falásifah dan karya asy-Syahrastanâ Musá‘arah al-Falásifah merupakan buku “wajib” yang harus diikuti oleh para penulis ilmu Kalam.[3]
Perbedaan pendekatan yang digunakan dalam filsafat dan ilmu kalam dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
84
 
 
Tabel 2. PERBEDAAN PENDEKATAN YANG DIGUNAKAN DALAM
              FILSAFAT DAN ILMU KALAM [4]

Filsafat
Ilmu Kalam
Lebih menekankan dimensi keberagaman yang paling dalam-esoteris dan transendental.
Seringkali menekankan dimensi lahiriyah eksoteris dan final konkret.
Lebih menekankan ketenangan ke dalam jiwa karena mendapat kepuasan pemikiran.
Lebih menekankan keramaian (syi‘ar) yang bersifat ekspressif-keluar.
Lebih menggarisbawahi comprhension (pemahaman akal).
Lebih menekankan transmission (pemindahan, pewarisan atau yang biasa disebut naql).
Lebih bercorak prophetic philosophy
Lebih bercorak priestly religion (keulamaan).
Lebih menekankan dimensi being religious.
Lebih menekankan dimensi having a religion.


Walaupun pada periode Pertengahan, filsafat dijauhi, maka mulai abad 18 (Periode Modern) filsafat mulai didekati lagi bahkan dijadikan kerangka berfikir oleh sebahagian pemikir muslim.
Masalahnya sekarang adalah – demikian Amin ‘Abdullah -- bagaimana kita menyikapi filsafat dan ilmu Kalam lebih luas lagi doktrin agama, apakah mau bersifat Paralel, Linear atau Sirkular ?
Kalau menggunakan pendekatan paralel maka metode berfikir yang digunakan akan berjalan masing-masing, tidak ada titik temu sehingga manfaat yang dicapainya pun akan sangat minim. Kalau menggunakan pendekatan linear maka pada ujungnya akan terjadi kebuntuan. Pola linear akan mengasumsikan bahwa salah satu dari keduanya akan menjadi primadona. Seorang ilmuwan agama akan menepikan masukan dari metode filsafat, karena pendekatan yang ia gunakan dianggap sebagai suatu pendekatan yang ideal dan final. Kebuntuan yang dialami oleh pemikir yang menggunakan pendekatan naqli semata adalah kesimpulan yang bersifat dogmatis – teologis, biasanya berujung pada truth claim yang ekslusif yang mencerminkan pola fikir “right or wrong is my caountry” atau juga kebuntuan historis empirik dalam bentuk pandangan yang skeptis, relativistik, dan nihilistik. Atau dapat juga kebuntuan filosofis tergantung kepada jenis tradisi atau aliran filosofis yang disukainya.
Baik pendekatan paralel maupun linear bukan merupakan pilihan yang baik yang dapat memberikan guidance, karena pendekatan paralel akan terhenti dan bertahan pada posisinya sendiri-sendiri dan itulah yang disebut “truth claim”. Sedangkan pendekatan linear yang mengasumsikan adanya finalitas, akan menjebak seseorang atau kelompok ke dalam situasi ekslusif – polemis.
Mungkin yang terbaik adalah yang bersifat sirkular,dalam arti karena masing masing pendekatan memiliki keterbatasan dan kekurangan maka dilakukanlah pendekatan itu secara bersamaan (multi approach) yang di dalamnya saling menutupi kekurangan[5].
Dalam menyikapi perlu tidaknya pola berfikir filsafat dalam pembahasan teologi dan hukum Islam, para pemikir muslim terbelah dua, yakni Pemikir Tradisional dan Rasional. Pemikir Tradisional kemudian menjadi dua corak yakni Tradisional Literal (Tekstual) dan Tradisional Kontekstual. Pemikir Rasional terbagi dua juga, yakni Rasional Kontekstual dan Rasional – Liberal, sehingga para pemikir Islam dikelompokkan menjadi empat corak.
86
 
Pemikir Tradisional yang Tekstual (Literal) adalah kelompok pemikir Tradisional yang memahami Al-Qur’an dan terutama hadits sangat terikat dengan teks tanpa melihat konteks. Misalnya mereka makan dengan tiga jari sebagaimana hadits nabi, mereka tidak memakai handuk setelah mandi janabat karena nabi pun demikian, mereka memakai gamis dan sorban karena nabi pun berpakaian demikian, juga mereka memelihara jenggot karena nabi memerintahkan memelihara jenggot. Para pemikir yang berada di lingkungan Front Pembela Islam (FPI), Lasykar Jihad, Jama’ah Tagligh, Darul Arqam, merupakan contoh-contoh Pemikir Tradisional yang Literal.
Corak kedua adalah Tradisional yang Kontekstual, yaitu banyak mengacu kepada hasil Ijtihad Ulama Salaf serta banyak menggunakan hadits Ahad dengan pemahaman dan pendekatan rasio.
Corak ketiga adalah Pemikir Rasional-Kontekstual, ialah pemikir yang tidak terikat dengan hal-hal Dhanny, baik hadits Ahad maupun ayat Al-Qur’an yang Dhanny dalálah-nya. Mereka dengan leluasa menggunakan pendekatan rasio dan memegang prinsip kausalitas dan kontekstual dengan kaidah “al-hukm yaduru ma‘a al-‘illat” (Hukum bergantung kepada ‘illat).
Corak keempat adalah Pemikir Rasional yang Liberal, yaitu pemikir yang pemikirannya sangat bebas merambah hal-hal yang oleh Tradisional dinilai “haram” untuk dijadikan objek ijtihad. Contoh pemikir tipe Rasional – Liberal ini antara lain Abdurrahman Wahid (Gusdur) dan Nurcholis Madjid (ini paling tidak menurut Charles Kurzman dalam bukunya “Wacana Islam Liberal”.
Itu penilaian subjektif penuilis, namun sangat mungkin – sebagaimana dikatakan oleh Charles Kurzman, editor buku “Wacana Islam Liberal” bahwa yang bersangkutan mungkin setuju dan mungkin tidak, dikelompokkan demikian.[6] Juga penting dicatat di sini sebagaimana dijelaskan oleh Azyumardi Azra, pemikiran seorang tokoh tertentu kadang-kadang sangat kompleks tidak bisa lagi dijelaskan dalam satu kerangka atau tipologi tertentu, terjadi tumpang tindih dan bahkan saling silang.[7]



F.  Rasionalitas dalam Beragama

Dalam tataran realita, akal tidak selalu mampu mencari kebenaran karena akal, nalar, ratio adalah tergantung kepada biologis. Karena akal memiliki keterbatasan maka perlu bantuan wahyu. Dengan demikian, pada hakikatnya akal dengan wahyu tidak boleh bertentangan.
Dalam mempelajari Islam tidak bisa hanya menggunakan pendekatan emprik dan rasio biasa tetapi perlu ada keterlibatan iman. Dalam hal ini paling tidak terdapat empat katagori ilmu yakni :
·      Empirical Science, yakni ukuran benar tidaknya adalah dibuktikan secara empirik melalui eksperimen. Sumbernya adalah pancaindera, terutama mata. Mata itu bahasa Arabnya adalah ain, maka disebutlah ainul yaqin . Yang termasuk ke dalam empirical science antara lain kedokteran, fisika, kimia, bilogi, goelogi.
·      Rational  Science , ialah ilmu yang kebenarannya ditentukan oleh hubungan sebab – akibat. Kalau ada hubungan yang logis disebutlah rational. Sumbernya adalah  ratio, maka disebutlah ilmul yaqin. termasuk ke dalam katagori ilmu ini antara lain bahasa, filsafat, matematika.
·      Suprarational  Science , ialah manakala kebenarannya ditentukan oleh hal-hal di luar  ratio yang berkembang pada zaman itu. Sumbernya adalah hati (qalbu), maka disebutlah Haqqul Yaqin. Yang termasuk ke dalam ilmu ini antara lain Isra Mi'raj, doa, mukjizat.
·      Metarational  Science adalah Ilmu Ghaib, semacam siksa dan nikmat qubur, syurga neraka, dll. Sumbernya adalah Ruh.
·      Memahami al-Islam dengan hanya menggunakan katago Empirical science dan Rational Science akan mengalami kesulitan. Akibatnya ayat-ayat Al-Qur'an yang dianggap kurang rasional dipaksakan haraus rasional, maka terjadilah rasionalisasi al-Qur'an.
88
 
 

G. Pengamalan Al-Islam dengan pendekatan

·         Law Approach yakni pengamalan Islam sebatas haram – halal, yang penting sah, yang penting tidak haram.
·         Love Aproach yakni lebih kepada target sempurna.

H.  Beberapa istilah dalam studi Islam

Terdapat beberapa termonologi yang peting difahami adalam memahami Islam yakni Islam Simbolik dan Islam Substantif, Islam Radikal, Islam Salafi, Islam Kontemporer,  dan Sunni- Syi'ah.

·         Apakah anda percaya bahwa Allahlah yang telah memberikan potensi-potensi pada diri anda ?  Jawabannya : Ya,  percaya sekali.
·         Apakah anda sadar bahwa otak anda adalah karunia besar dari Allah ?. Jawabannya : Ya.
·         Apakah anda meyadari bahwa otak manusia tanpa bimbingan wahyu Allah akan dapat mengungkap tabir segala hal termasuk persoalan  ghaib ? Jawabannya : Tidak mungkin.
·         Manfaatkah apabila  pendidikan al-Islam tidak menghasilkan perubahan prilaku ke arah yang lebih baik ? Jawabannya : sangat tidak berguna, sia-sia.
·         Dari mana anda tahu tentang malaikat dan jin, apakah dari ilmu – ilmu alam atau dari Al-Qur’an ? Jawabannya : Dari Al-Qur’an,
·         Mana yang bisa menjamin keselamatan anda,  mengikuti  Islam sebagai ajaran Allah atau mengikuti ajaran hasil karya manusia ? Jawabannya :  Ajaran Islam ciptaan Allah.
·         Mungkinkah Allah sebagai Tuhan Yang Maha Tahu dan Maha Suci dari kealpaan berbuat salah ? Jawabannya : Tidak mungkin, mustahil.
·         Kalau begitu, mungkinkah Al-Qur’an yang diciptakan Allah mengandung kesalahan ? Jawabannya : Tidak mungkin.
·         Kalau otak anda belum memahami pesan Al-Qur’an, yang salah Al-Qur’annya atau karena otak yang masih bodoh ? Jawabannya : Otak yang bodoh.
·         Apakah anda mengakui bahwa otak anda tidak dapat mengetahui segala  hal ? Jawabannya : ya, yakin sekali.
·         Kalau begitu, maukah anda yang masih belum tahu banyak hal mengikuti pemberitahuan dari Allah melalui al-Qur’annya ? Jawabannya : ?????




[1] Diolah dari : Hartono Ahmad Azis, Aliran dan Faham Sesat di Indonesia, ( Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2002 ) , hal. vii.
[2] Mazhab Empirisme kemudian berkembang ke arah Positivisme. Perkembangan ilmu pengetahuan termasuk ilmu sosial dianggap mencapai bentuknya secara definitif dengan kehadiran Aguste Comte (1798-1857) dengan grand - theory-nya yang digelar dalam kaya utamanya Courus de Philospphie Positive (1855). Comte menjelaskan bahwa tahap positive dicapai setelah manusia melampaui tahap theologik dan metafisik. Menurut madzhab Positivisme bahwa sesuatu benar dan nyata haruslah konkret, eksak, akurat dan memberi kemanfaatan.[2] Dalam pandangan positivisme, Ilmu-ilmu kealaman memperoleh objektivitas yang khas semata-mata bersifat empiris – eksperimental. Filsafat Comte ini adalah anti-metafisis, ia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif- ilmiah.

[3] Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam: Pentingnya Filsafat Dalam Memecahkan Persoalan-persoalan keagamaan, Makalah, disajikan dalam acara Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia, 22-29 Agustus 1999, hal.12.
[4] Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam", hal.8

[5] Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam, hal 18-19.
[6] Charles Kurzman (Ed.), Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global (Jakrta : Penerbit Paramadina, 2001), hal. xii-xiii.
[7] Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post Modernisme, (Jakarta : Penerbit Paramadina, 1996), hal. xii.