Kamis, 23 Oktober 2014

STUDI AGAMA, LINGKUP, SASARAN, URGENSI DAN SIGNIFIKANSI STUDI AGAMA-AGAMA MELALUI TINJAUAN BERSIFAT ANALITIS KRITIS ESENSI BERAGAMA DAN KEBERAGAMAAN MASYARAKAT PLURAL


BAB I
STUDI AGAMA, LINGKUP, SASARAN, URGENSI DAN SIGNIFIKANSI STUDI AGAMA-AGAMA MELALUI TINJAUAN BERSIFAT ANALITIS KRITIS ESENSI BERAGAMA DAN KEBERAGAMAAN MASYARAKAT PLURAL
Pendahuluan

Mengapa suatu metode dapat digunakan dalam berbagai obyek? Pertanyaan ini muncul seiring dengan pemikiran dan penalaran akal manusia, atau yang menyangkut dengan pekerjaan fisik. Agama dan kehidupan beragama merupakan fenomena yang tak terlepaskan dari kehidupan dan perjalanan sejarah kehidupan manusia. Agama menjadi sesuatu hal yang sangat penting  dalam pembinaan karakter manusia dan mental manusia dalam menjalani proses kehidupan ini. Bagi seorang muslim, studi Agama  tidak lepas dari metode, yakni suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik guna untuk mencapai suatu pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan oleh Allah di dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkannya kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, kita dapat memahami petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat  di dalam sumber ajarannya, Al Qur’an dan hadits, tampak ideal dan Agung.

A. Pengertian Islam dan Agama
Ada dua hal yang mendasar yang penting untuk dipahami dalam studi Islam adalah definisi tentang Islam dan agama. Menurut M. Quraish Shihab sangat sulit untuk bisa merumuskan definisi tentang agama, apalagi didunia ini kita menemukan kenyataan bahwa agama amat beragam. Persoalan yang menjadi topik pembicaraan apakah mau tak mau harus muncul ,”Apakah agama yang masih relefan dengan  kehidupan masa kini ? Sebelum menjawab terlebih dahulu dijawab: Apakah manusia dapat melepaskan diri dari agama ?[1] Islam harus dilihat dari perspektif sejarah sebagai sesuatu yang selalu berubah, berkembang, dan selalu terus berkembang dari generasi ke generasi dalam merespon realitas dan makna kehidupan ini. Sedangkan konsep agama meliputi dua aspek, yaitu pengalaman dalam dan perilaku luar manusia.  Pengalaman dalam dan perilaku luar manusia itu saling terkait. Perilaku luar manusia secara umum merupakan manifestasi dari pengalaman dalamnya, walaupun hal ini tidak berlaku mutlak.[2]
Wilfred Cantwell Smith, sebagaimana dikutip Adams dalam mendefinisikan agama Islam, berpendapat bahwa dalam agama terdapat aspek eksternal keagamaan, sosial dan historis agama yang dapat diobservasi dalam masyarakat. Dengan pemahaman konseptual seperti ini, tujuan studi agama adalah untuk memahami pengalaman pribadi dan perilaku nyata seseorang. Manusia memiliki bermacam ragam kebutuhan batin maupun lahir akan tetapi, kebutuhan manusia terbatas karena kebutuhan tersebut juga dibutuhkan oleh manusia lainnya.
Said Agil Husin Al Munawar berpendapat, bahwa golongan beragama berpegang kepada doktrin mutlak wahyu Tuhan  yang dijadikan sebagai landasan pertimbangan dalam cara berpikir, segala ucapan dan tindakan dari sudut sosiologi akan dipandang terpuji jika mempertanggungjawabkan kebebasan berpikir dan menghilangkan rasa takut  dan bimbang dalam menghadap kehidupan, dan menghilangkan rasa kebencian dan permusuhan dalam masyarakat.[3]
Dengan demikian, aspek yang tersembunyi dan yang nyata dari fenomena keberagaman harus dieksplorasi secara komprehensif oleh studi Islam.  Diantara dua aspek tersebut tidak ada yang berdiri sendiri, melainkan antar satu dengan yang lain saling terkait.
Kaitannya dengan studi Islam, menurut Adams tidak ada metode yang paling tepat untuk mendekati aspek kehidupan dalam atau faith seseorang dan masyarakat beragama. Tetapi pengkaji harus menggunakan tradition atau aspek luar sebagai keberagamaan sebagai pijakan dalam memahami dan melakukan studi agama. Dalam mengkaji Islam sebagai sebuah agama, pengkaji harus melampaui dimensi tradition agar mampu menjelaskan dimensi faith seseorang.
Menurut Adams, pengkaji Islam dalam melakukan studinya bisa menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan normatif dan pendekatan deskriptif. Pendekatan normatif meliputi tiga pendekatan, yaitu pendekatan misionaris tradisional, pendekatan apologetik, dan pendekatan simpatik (irenic). Sedangkan pendekatam deskriptif meliputi pendekatan filologis dan sejarah, pendekatan sosial dan pendekatan fenomenologis.
Secara etimologi merupakan dari bahasa Arab Dirasah Islamiyah. Dalam kajian Islam di Barat disebut Islamic Studies secara harfiyah adalah kajian tentang hal-hal yang berkaitan dengan keislaman. Secara terminologis adalah kajian secara sistematis dan terpadu untuk mengetahui, memakai dan menganalisis secara mendalam hal-hal yang berkaitan dengan agama Islam, pokok-pokok ajaran Islam, sejarah Islam maupun realitas pelaksanaannya dalam kehidupan Islam pada hakikatnya membawa ajaran yang bukan hanya mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia. sumber ajaran yang mengambil berbagai aspek ialah Al-Qur'an dan Hadits. Kedua sumber ini sebagai pijakan dan pegangan dalam mengakses wacana pemikiran dan membumikan praktik penghambaan kepada Tuhan, baik bersifat teologis maupun humanistis.Islam secara harfiyah berasal dari bahasa Arab yang mengandung arti selamat, sentosa dan damai. Arti pokok Islam adalah ketundukan, keselamatan dan kedamaian. [4] Tidak mudah bagi kita untuk menentukan pengertian agama, karena agama bersifat batiniah, subyektif, dan individualistis. Kalau kita membicarakan agama akan dipengaruhi oleh pandangan pribadi, juga dari pandangan agama yang kita anut.
 Selanjutnya Mukti Ali dalam Abudin Nata  pernah mengatakan , barangkali tidak ada kata yang paling sulit diberi pengertian dan definisi selain dari kata agama, pengalaman agama adalah aspek batini, subjektif,  dan sangat individualis sifatnya. Senada dengan pendapat Mukti Ali, M. Sastrapanedja dalam Abudin Nata mengatakan  bahwa salah satu kesulitan untuk berbicara masalah agama  secara umum ialah  adanya perbedaan-perbedaan  dalam memahami arti agama, disamping adanya perbedaan juga  dalam cara memahami  serta penerimaan setiap agama  terhadap suatu usaha memahami agama. Setiap agama memiliki intepretasi diri  yang berbeda dan keluasan intepretasi  diri itu juga berbeda-beda.
Pengertian agama yang diangkat dari apa yang dipraktikkan oleh kaumnya perlu disikapi dengan kritis dan hati-hati. Berkenaan dengan ini Taufik Abdullah misalnya telah mengkritik pendapat Durkheim tentang agama. Taufik Abdullah dalam hal ini mengatakan, barangkali saya tidak perlu bertolak dari sini, pertama ia  (Durkheim) sampai pada kesimpulan tersebut karena ia hanya meneliti agama melalui  tulisan-tulisan para pengembara misionaris dan kehidupan keagamaan di suku-suku Aborigin di Australia yang dianggapnya paling murni. Sedangkan penelitian saya adalah  pada agama yang bersifat universal. Kedua, Durkheim terlalu sekuler bagi selera saya. Demikian Taufik Abdullah menilai. Durkheim misalnya mengatakan,  bahwa makin modern suatu masyarakat  maka makin berfungsi solidaritas yang organik. Dalam suasana ini agama telah kehilangan relevansinya, karena telah digantikan moralitas ilmiah.[5]
Selanjutnya karena demikian banyaknya definisi tentang agama yang dikemukakan ahli, Harun Nasution mengatakan bahwa dapat diberi definisi tentang agama sebagai berikut :
1)      Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi.
2)      Pengakuan terhadapa adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia.
3)      Mengikatkan diri pada suatu  bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia yang mempengaruhi perbuatan manusia.
4)      Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu.
5)      Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari kekuatan gaib.
6)      Pengakuan adanya kewajiban-kewajiban diyakini bersumber pada suatu kekuatan gaib.
7)      Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah  dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam al;am sekitar manusia.
8)      Ajaran yang diwahyukan kepada manusia melalui seorang Rasul.5

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan :
Agama bertitik tolak dari adanya suatu kepercayan terhadap suatu yang lebih berkuasa, lebih agung, lebih mulia dari pada makhluk. Agama berhubungan dengan masalah ketuhanan, dimana manusia yang mempercayainya harus menyerahkan diri kepada-Nya, mengabdikan diri sepenuhnya karena manusia mempercayainya.
1)      Baik agama, religi, dan dien kesemuanya mempunyai pengertian yang sama.
2)      Bahwa agama dalam arti luas merupakan suatu penerimaan terhadap aturan-aturan dari pada kekuatan yang lebih tinggi dari manusia
3)      Aktivitas dan kepercayaan agama, religi, dan dien mencakup masalah: kepercayaan kepada Tuhan.

B. Ruang lingkup Islam dan Agama
Ruang lingkup Islam yang merupakan produk sejarah misalnya tentang fiqh/mazhab, tasawuf/sufi, filsafat/kalam, seni/arsitektur Islam, budaya/tradisi Islam. Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini  kita melihat semakin tumbuh  dan maraknya kesadaran  dikalangan kaum  muslim untuk lebih patuh  kepada ketentuan-ketentuan hukum Islam. Gejala ini untuk konteks Indonesia misalnya, terlihat pada kebangkitan Jilbab, busana muslim, tuntunan pencantuman label halal-haram  pada makanan, penerapan sistem ekonomi dan perbankan Islam dan sebagainya. Bangunan pengetahuan kita pada wilayah Islam tersebut adalah produk sejarah yang dapat dijadikan sasaran penelitian.[6]
Sejak tahun 1970-an penelitian agama mulai diperkenalkan oleh beberapa pakar  dan ilmuan kepermukaan Indonesia. Mukti Ali misalnya, mengemukakan bahwa pentingnya sebuah penelitian terhadap masalah-masalah keagamaan. Tidak saja penting, penelitian keagamaan merupakan bagian yang memperkukuh dasar dan pondasi agama itu sendiri. Tanpa upaya demikian, agama hanya akan menjadi urusan yang bersifat individual, eksklusif dan komunal.


C.  Sasaran Penelitian Agama
Antara agama dan ilmu pengetahuan masih dirasakan adanya hubungan yang belum serasi. Jaringan komunikasi ilmiah dianggap belum menjangkau agama. Dalam bidang agama terdapat sikap dogmatis, sedang dalam bidang ilmiah terdapat sikap sebaliknya, yakni sikap rasional dan terbuka. Antara agama dan ilmu pengetahuan memang terdapat unsur-unsur yang saling bertentangan. Dari unsur perbedaan itu sulit untuk dipertemukan.
Senada dengan hal diatas Imam Suprayogo mengemukakan, ” bahwa objek sasaran penelitian agama adalah ajaran dan keberagaman. Ajaran adalah teks (tulisan atau lisan), yang menggambarkan doktrin teologis, simbol, norma, dan etika yang harus dipahami, diyakini, disosialisasikan, diamalkan, dilembagakan dalam kehidupan. Ajaran ini bisa berupa teks AlQur’an, Hadits, pemikiran para ulama. Sedangkan keberagamaan adalah fenomena sosial yang diakibatkan oleh agama. Fenomena ini bisa berupa struktur sosial, pranata sosial, dan prilaku sosial.”[7] Studi Islam sebagai kajian tidak lepas dari keduanya. Antara apek sasaran keagamaan dan keilmuan sama-sama dibutuhkan dalam diskursus ini. Oleh karena itu, aspek sasaran Studi Islam meliputi dua hal tersebut, yaitu aspek sasaran keagamaan dan aspek sasaran keilmuan berikut:
1.      Aspek sasaran keagamaan. IAIN maupun perguruan tinggi agama sebagai lembaga keagamaan, menuntut para pengelola dan civitas akademiknya untuk lebih menonjolkan sikap pemihakan, idealitas, bahkan seringkali diwarnai pembelaan yang bercorak apologis. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal berfungsi dalam menyiapkan generasi penerus. Dalam menannamkan dan membina sikap toleransi.[8] Dari aspek sasaran ini, wacana keagamaan dapat ditransformasikan secara baik dan menjadikan landasan kehidupan dalam berperilaku tanpa melepaskan kerangka normatif. Pertama, Islam sebagai dogma juga merupakan pengalaman universal dari kemanusiaan. Kedua, Islam tidak hanya terbatas pada kehidupan setelah mati, tetapi orientasi utama adalah dunia sekarang. 
2.      Aspek sasaran keilmuan. Studi keilmuan memerlukan pendekatan yang kritis, analitis, metodologis, empiris dan histories. Oleh karena itu, konteks ilmu harus mencerminkan ketidakberpihakan pada satu agama, tetapi lebih mengarah pada kajian yang bersifat obyektif. Dengan demikian, studi Islam sebagai aspek sasaran keilmuan membutuhkan berbagai pendekatan.

Dalam studi Islam, kerangka pemikiran ilmiah di atas ditarik dalam konteks  keislaman. Pengkajian terhadap Islam yang bernuansa ilmiah tidak hanya terbatas  pada aspek-aspek yang normative dan dogmatis, tetapi juga pengkajian yang menyangkut aspek sosiologis dan empiris. Pengkajian Islam ini dapat dilakukan secara paripurna dengan pengujian secara terus menerus atas fakta-fakta empiric dalam masyarakat yang dinilai sebagai kebenaran nisbi dengan mempertemukan pada nilai agama yang bersumber dari wahyu sebagai kebenaran absolute. Dengan demikian, kajian keislaman yang bernuansa ilmiah meliputi aspek kepercayaan normative-dogmatif yang bersumber dari wahyu dan aspek perilaku manusia yang lahir dari dorongan kepercayaan.
Dikalangan para ahli masih terdapat perdebatan disekitar permasalahan apakah studi Islam (agama) dapat dimasukkan ke dalam bidang ilmu pengetahuan, mengingat sifat dan karakteristiknya  antara ilmu pengetahuan dan agama berbeda. Pada dataran normativitas studi Islam agaknya masih banyak terbebani oleh misi keagamaan yang bersifat memihak, romantis dan apologis, sehingga kadar muatan analisis, kritis , metodologis, historis , empiris terutama dalam menelaah teks-teks  atau naskah-naskah keagamaan produk sejarah terdahulu  kurang begitu ditonjolkan, kecuali dalam lingkungan para peneliti tertentu yang masih sangat terbatas.[9] Bagi umat Islam, mempelajari Islam mungkin untuk memantapkan keimanan dan mengamalkan ajaran Islam, sedangkan bagi non muslim hanya sekedar diskursus ilmiah, bahkan mungkin mencari kelemahan umat Islam dengan demikian tujuan sasaran studi Islam adalah sebagai berikut:
Pertama, untuk memahami dan mendalami serta membahas ajaran-ajaran Islam agar mereka dapat melaksanakan dan mengamalkan secara benar, serta menjadikannya sebagai pegangan dan pedoman hidup. Memahami dan mengkaji Islam direfleksikan  dalam   konteks   pemaknaan   yang  sebenarnya bahwa Islam adalah agama yang mengarahkan pada pemeluknya sebagai hamba yang berdimensi teologis, humanis, dan keselamatan di dunia dan akhirat. Dengan studi Islam, diharapkan tujuan di atas dapat di tercapai.
Kedua, untuk menjadikan ajaran-ajaran Islam sebagai wacana ilmiah secara transparan yang dapat diterima oleh berbagai kalangan. Dalam hal ini, seluk beluk agama dan praktik-praktik keagamaan yang berlaku bagi umat Islam dijadikan dasar ilmu pengetahuan. Dengan kerangka ini, dimensi-dimensi Islam tidak hanya sekedar dogmentis, teologis. Tetapi ada aspek empirik sosiologis. Ajaran Islam yang diklain sebagai ajaran universal betul-betul mampu menjawab tantangan zaman, tidak sebagaimana diasumsikan sebagian orientalis yang berasumsi bahwa Islam adalah ajaran yang menghendaki ketidak majuan dan tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Dalam memahami agama, Abuddin Nata menjelaskan bahwa pendekatan teologis normativ lebih menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap suatu  yang   benar  dibandingkan  dengan    yang   lainnya.   Islam adalah nama suatu agama yang berasal dari Allah, SWT. Nama Islam demikian itu memiliki perbedaan yang luar biasa  dengan nama agama lainnya. Kata Islam tidak mempunyai hubungan dengan orang tertentu atau dari golongan manusia  atau dari suatu negri. Kata Islam adalah nama yang diberikan oleh Tuhan sendiri.[10]
Dengan demikian dapat disimpulkan sasaran studi Islam adalah untuk memahami dan mendalami serta membahas ajaran-ajaran Islam sebagai wacana ilmiah yang dapat diterima oleh berbagai kalangan. Aspek-aspek sasaran studi Islam  yaitu aspek keagamaan dan aspek sasaran keilmuwan.

D.  Urgensi  dan   signifikansi   studi   agama –agama  dalam  tinjauan yang bersifat  analitis-kritis sehingga diperoleh  pemahaman  komprehensif tentang esensi  beragama dan keberagaman dalam masyarakat plural.

Berbicara tentang hubungan antar agama, wacana pluralisme agama menjadi perbincangan utama. Pluralisme agama sendiri  dimaknai secara berbeda-beda di kalangan cendekiawan Muslim Indonesia, baik secara sosiologis, teologis maupun etis.
10
 
Dalam pandangan Islam, sikap menghargai dan toleransi kepada pemeluk agama lain adalah mutlak untuk dijalankan (Pluralitas). Namun bukan berarti beranggapan bahwa semua agama adalah sama (pluralisme), artinya tidak menganggap bahwa Tuhan yang kami sembah adalah Tuhan yang kalian sembah. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menentang paham pluralisme dalam agama Islam. Namun demikian, paham pluralisme ini banyak dijalankan dan kian disebarkan oleh kalangan Muslim itu sendiri. Solusi Islam terhadap adanya pluralisme agama adalah dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing. Tapi solusi paham pluralisme agama diorientasikan untuk menghilangkan konflik dan sekaligus menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada.[11]
Durkheim tertarik kepada unsur-unsur solidaritas masyarakat. Dia mencari prinsip yang mempertalikan anggota masyarakat. Email Durkhim menyatakan agama mempunyai fungsi, agama  bukan ilusi, tetapi merupakan fakta sosial yang dapat diidentifikasi dan mempunyai kepentingan sosial.  Bagi Emile Durkhim, agama memainkan peranan yang fungsional, karena agama adalah prinsip solidaritas masyarakat.[12] Secara sosiologis, pluralisme agama adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah berbeda-beda, beragam dan plural dalam hal beragama. Ini adalah kenyataan sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak dapat dipungkiri lagi. Dalam kenyataan sosial, kita telah memeluk agama yang berbeda-beda. Pengakuan terhadap adanya pluralisme agama secara sosiologis ini merupakan pluralisme yang paling sederhana, karena pengakuan ini tidak berarti mengizinkan pengakuan terhadap kebenaran teologi atau bahkan etika dari agama lain.
Sebagai seorang muslim misalnya, Amin Abdullah menyatakan menyadari sepenuhnya bahwa ia  involved (terlibat) dengan Islam. Namun, Amin mengakui bahwa dalam kenyataan sejarah masyarakat adalah multi-complex yang mengandung religious pluralism, bermacam-macam agama. Hal ini adalah realitas, karena itu mau tidak mau kita harus menyesuaikan diri, dengan mengakui adanya religious pluralism dalam masyarakat Indonesia.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa upaya penelitian terhadap agama dimaksudkan untuk melihat gejala yang lebih empirik yang dipandang secara positif. Gejala empirik inilah yang dapat diteliti dengan berbagai sudut pandang analisa yang digunakan. Sebab, dalam agama memiliki keragaman pemahaman. Masing-masing pemahaman tersebut merupakan akumulasi yang muncul dari doktrin agama yang telah terkonstrur menjadi prilaku, tindakan bahkan ideologi.
Dalam pandangan Amin Abdullah mengatakan agama pada saat ini tidak dapat didekati dan difahami hanya lewat pendekatan teologis-normativ semata-mata, sebab ada pergeseran paradigma dari pemahaman yang berkisar pada doktrin ke arah entitas sosiologis, dari diskursus esensi ke arah eksistensi.[13]
Pengakuan pluralisme secara sosiologis ini juga dikemukakan oleh Mukti Ali. Mukti Ali secara sosial tidak mempersoalkan adanya pluralisme, dalam pengakuan-pengakutan sosial, tetapi ia sangat tegas dalam hal-hal teologis. Ia menegaskan bahwa  keyakinan terhadap hal-hal teologis tidak bisa dipakai hukum kompromistis. Oleh karena itu, dalam satu persoalan (objek) yang sama, masing-masing pemeluk agama memiliki sudut pandang yang berbeda-beda, misalnya pandangan tentang al-Qur’an, Bibel, Nabi Muhammad, Yesus dan Maria.
Menurutnya, orang Islam melakukan penghargaan yang tinggi terhadap Maria dan Jesus. Hal itu merupakan bagian keimanan orang Islam. Orang Islam sungguh tidak dapat mempercayai (mengimani) ketuhanan Jesus Kristus tetapi mempercayai  kenabiannya sebagaimana Nabi Muhammad. Kemudian, orang Islam juga tidak  hanya memandang al-Qur’an tetapi  juga Torah dan Injil sebagai Kitab Suci (Kitabullah). Yang menjadi persoalan, apakah Kitab Bibel yang ada sekarang ini otentik atau tidak, dan apakah seluruhnya merupakan wahyu Tuhan. Hal ini bukan berarti bahwa orang Islam  selalu menolak Wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Musa, Isa atau rasul-rasul lain, meskipun orang Islam tidak bisa mengakui bahwa Bibel sebagaimana sebelum mereka hari ini terdiri dari Kalam Tuhan seluruhnya. Namun demikian, orang Islam percaya bahwa Bibel  memuat/mengandung  Kalam Tuhan.
Tampak Mukti Ali ingin menegaskan bahwa masing-masing agama memiliki keyakinan teologis yang tidak bisa dikompromikan. Islam memiliki keimanan sendiri, bahkan termasuk mengenai hal-hal yang diyakini oleh umat agama lain, misalnya konsep tentang Nabi Isa. Begitu juga, Kristen memiliki keimanan sendiri, bahkan termasuk mengenai hal-hal yang  diyakini oleh Islam, misalnya konsep tentang Nabi Muhammad. Berkaitan dengan keyakinan teologi tersebut Abudin Nata dalam Amin Abdullah mengatakan bahwa, pendekatan teologi semata-mata tidak dapat memecahkan masalah essensial pluralitas agama saat sekarang ini. Berkenaan dengan ini, saat ini muncul apa yang disebut dengan istilah analitis kritis, yaitu suatu usaha manusia untuk memperoleh pemahaman penghayatan imannya  atau penghayatan agamanya, suatu penafsiran  atas sumber-sumber aslinya dan tradisinya dalam konteks permasalahan masa kini., yaitu teologi yang bergerak antara dua kutub teks dan situasi, masa lampau dan masa kini. Hal demikian mesti ada  dalam setiap agama meskipun dalam bentuk dan fungsinya  yang berbeda-beda.[14]
 Jadi, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa  pengakuan tentang pluralismenya berada pada tataran sosial, yakni bahwa secara sosiologis kita memiliki keimanan dan keyakinan masing-masing. Persoalan kebenaran adalah persoalan dalam wilayah masing-masing agama sehingga diperoleh  pemahaman  yang komprehensif tentang esensi  beragama dan keberagaman dalam masyarakat plural.
Anwar Harjono menegaskan,  Islam telah memasuki  arena komunikasi  antara berbagai bangsa  yang  mempunyai kepercayaan, kebangsaan, dan kebudayaan  yang berbeda- beda dengan pemikiran terbuka tanpa perasaan curiga, Anwar Harjono mengembangkan pendapatnya bahwa Islam tidak menyemai permusuhan daam berbagai bangsa, dan Islam mengembangkan  persaudaraan  dan  persamaan  diantara manusia berbagai bangsa.[15]
Senada dengan pendapat di atas Mukti Ali menjelaskan bahwa ada beberapa pemikiran diajukan orang untuk mencapai kerukunan dalam kehidupan beragama. Pertama, sinkretisme, yaitu pendapat yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Kedua, reconception, yaitu menyelami dan meninjau kembali agama sendiri dalam konfrontasi dengan agama-agama lain. Ketiga, sintesis, yaitu menciptakan suatu agama baru yang elemen-elemennya diambilkan dari pelbagai agama, supaya dengan demikian tiap-tiap pemeluk  agama merasa bahwa sebagian dari ajaran agamanya telah terambil dalam agama sintesis (campuran) itu. Keempat, penggantian, yaitu mengakui bahwa agamanya sendiri itulah yang benar, sedang agama-agama lain adalah salah; dan berusaha supaya orang-orang yang lain agama masuk dalam agamanya. Kelima, agree in disagreement (setuju dalam perbedaan), yaitu percaya bahwa agama yang dipeluk itulah agama yang paling baik, dan mempersilahkan orang lain untuk mempercayai bahwa agama yang dipeluknya adalah agama yang paling baik. Diyakini bahwa antara satu agama dan agama lainnya, selain terdapat perbedaan, juga terdapat persamaan.
Pluralisme pada satu sisi mensyaratkan ukuran-ukuran kelembagaan dan legal yang melindungi dan mensyahkan kesetaraan dan menembangkan rasa persaudaraan di antara umat manusia sebagai pribadi dan kelompok, baik ukuran-ukuran itu bersifat bawaan atau perolehan.
Begitu pula pluralisme menuntut suatu pendekatan yang serius terhadap upaya memahami pihak lain dan kerja sama yang membangun kebaikan semua. Semua manusia harus menikmati hak-hak dan kesempatan-kesempatan yang sama, dan seharusnya memenuhi kewajiban-kewajiban yang sama sebagai warga dunia dan warga Negara. Setiap kelompok seharusnya memiliki hakhak untuk berkumpul (berhimpun) dan berkembang, memelihara identitas dan kepentingannya, dan menikmati kesetaraan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam negara dan dunia internasional.
Gusdur  menegaskan bahwa Ajaran agama yang paling mendalam dan fundamentil, yang sangat doktriner maupun ajaran- ajaran praktis, dalam proses pembentukan tingkahlaku masyarakat yang menganutnya  akan membentuk sistem nilai. Senada dengan pendapat tersebut Koentjcoroningrat mengatakan, dikategorikan  dalam bentuk wujud kebudayaan  sebagai kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, yaitu wujud ideal dari kebudayaan yang sifatnya abstrak, yang loksainya dalam alam pikir ”  manusia warga masyarakat”. [16] Pluralisme berarti bahwa kelompok-kelompok minoritas dapat berperan secara penuh dan setara dalam kelompok mayoritas dalam masyarakat, sembari mempertahankan identitas dan perbedaan mereka yang khas. Pluralisme harus dilindungi oleh hukum dan Negara, baik hukum Negara maupun hukum internasional.
Sementara itu, Abdurrahman Wahid menegaskan masalah pluralisme bukan dalam pengertian pluralisme yang dikemukakan oleh Djohan Effendi dan Nurcholish Madjid di muka. Ia menekankan pandangan keterbukaan untuk menemukan kebenaran di mana pun juga. Signifikansi   tinjauan pluralisme yang ditekankan Gus Dur adalah pluralisme dalam bertindak dan berpikir. Inilah yang melahirkan toleransi. Sikap toleran tidak bergantung pada tingginya tingkat pendidikan formal atau pun kepintaran pemikiran secara alamiah, tetapi merupakan persoalan hati, persoalan perilaku. Tidak pula harus kaya dulu. Bahkan, seringkali semangat ini terdapat justru pada mereka yang   tidak pintar juga tidak kaya, yang biasanya disebut “orang-orang terbaik”. Gus Dur memberi contoh sebagaimana yang dilakukan oleh Kyai Iskandar, dengan cara bergaul secara berbaur dalam masyarakat.
Gus Dur mengembangkan pandangan anti eksklusivisme agama. Menurutnya, berbagai peristiwa kerusuhan yang berkedok agama di beberapa tempat adalah akibat adanya eksklusivisme agama. Apa yang disampaikan oleh Gus Dur  sebenarnya lebih merupakan otokritik bagi umat Islam sendiri, karena adanya politisasi agama dan pendangkalan agama. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk mengembangkan sikap permusuhan kepada mereka selama tidak memerangi agama Islam. Selain itu, menurutnya, esensi “saling menyantuni” justru terletak pada sikap-sikap di mana kita bisa saling mengoreksi sesama orang Islam. Nabi pernah mencontohkan, bahwa jika Fatimah (putri beliau) melakukan pencurian maka ia tetap harus dihukum. Jadi, sikap santun tidak boleh dengan standar ganda atau tidak boleh mengabaikan keadilan kepada siapa pun, termasuk orang berlainan agama.
Gus Dur memandang bahwa tidak menerima konsep dasar  bukan berarti mesti mengembangkan sikap permusuhan atau perlawanan. Kristen dan Yahudi tidak bisa menerima konsep dasar Islam adalah sudah pasti. Begitu juga sebaliknya, Islam juga tidak bisa menerima konsep dasar agama Kristen dan Yahudi. Oleh karena itu, menurutnya, kita tidak akan goyang dari konsep Tauhid, tapi kita menghargai  pendapat orang lain. Pendapat orang lain ini tentu saja berarti keyakinan orang lain.Taufik Abdullah mengatakan, bahwa sejak mula kelahiran manusia sudah menghadirkan baku bantah. Bahkan baku bantah itu antara Tuhan Pencipta dengan iblis, karena itu tidak mengherankan  jika kita hasil budidaya manusia sendiri yang dinamakan ilmu pengetahuan menimbulkan baku bantah., tentulah hal ini terjadi antara manusia dengan manusia (sekurang-kurangnya sama-sama menggeluti ilmu pengetahuan.[17]       
 Senada dengan pendapat diatas Muhammad Abduh dalam Muhammad Al Bahiy dalam kritikannya mengatakan ” apakah tidak terbetik dihati kita untuk kembali kepada pegangan kaum salaf kita yang benar, kita tinggalkan segala bid’ah oleh orang – orang setelah mereka, sebab itu akan mematikan kita bersama mereka. Syekh Muhammad Abduh telah menggoyahkan fanatisme suatu mazhab untuk kembali kepada sumber agama Islam semula yakni AlQur’an dan hadits.[18]  Sementara itu, Alwi Shihab menunjukkan dua komitmen penting yang harus dipegang oleh dialog, yaitu sikap toleransi dan  sikap pluralisme. Toleransi adalah upaya untuk menahan diri agar potensi konflik dapat ditekan.
Adapun yang dimaksud dengan pluralisme adalah 1) tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan, namun adanya keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan, dalam kebhinekaan, 2) pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme menunjuk pada suatu realita di mana aneka ragam agama, ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Namun, interaksi positif antar penduduk ini, khususnya di bidang agama, sangat minimal, kalaupun ada, 3) konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Karena, konsekuensi dari paham relativisme agama bahwa doktrin agama apapun harus dinyatakan benar. Atau, “semua agama adalah sama”.
Oleh karena itu, seorang relativis tidak akan mengenal, apalagi menerima, suatu kebenaran universal yang berlaku untuk semua dan sepanjang masa. Namun demikian, paham pluralisme terdapat unsur relativisme, yakni unsur tidak mengklaim kebenaran tunggal (monopoli) atas suatu kebenaran, apalagi memaksakan kebenaran tersebut kepada pihak lain. Paling tidak, seorang pluralis akan menghindari sikap absolutisme yang menonjolkan keunggulannya terhadap pihak lain, 4) pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut. Satu hal yang ditegaskan oleh Alwi adalah apabila konsep pluralisme agama hendak diterapkan di Indonesia, maka ia harus bersyaratkan komitmen yang kokoh terhadap agama masing-masing. Seorang pluralis, dalam berinteraksi dengan aneka ragam agama, tidak saja dituntut untuk membuka diri, belajar dan menghormati mitra dialognya, tetapi yang terpenting ia harus committed terhadap agama yang dianutnya. Hal ini untuk menghindari relativisme agama. Ia menekankan perlunya membudayakan sikap keterbukaan, menerima perbedaan, dan menghormati kemajemukan agama, dibarengi loyalitas komitmen terhadap agama masing-masing. Alwi menegaskan, Islam sejak semula menganjurkan dialog dengan umat lain. Dikatakan, terhadap pengikut Isa a.s. dan Musa a.s., al-Qur’an menggunakan kata ahl al-kitab (yang memiliki kitab suci). Penggunaan kata ahl, yang berarti keluarga, menunjukkan keakraban dan kedekatan hubungan.
Dari berbagai pandangan tentang pluralisme di atas penulis dapat mengklasifikasi ada tiga model pluralisme. Pertama, pandangan pluralisme yang masih menyisakan adanya absolutisme agama. Pandangan ini dikemukakan Rasjidi dan Natsir. Kedua, pandangan pluralisme liberal. Ini dikemukakan oleh Djohan Effendi, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid Keempat, pandangan pluralisme yang menempati posisi antara absolutisme agama dan pluralisme liberal. Pandangan ini masih memegang adanya hal-hal yang bersifat absolut yang tidak dapat dipertemukan atau disamakan, tetapi juga mengakui bahwa pluralisme itu tidak hanya sekedar ada namun juga harus diwujudkan dalam keterlibatan aktif dalam memahami perbedaan dan persamaan. Ada sikap terbuka, menerima perbedaan, dan menghormati kemajemukan agama, tetapi ada loyalitas komitmen terhadap agama masing-masing.
Sementara itu Azzumardi Azra mengatakan, bahwa dalam agama manapun konsepsi manusia tidaklah bersumber dari pengetahuan, tetapi dari kepercayaan pada suatu otoritas  mutlak yang berbeda  dari satu agama dengan agama lainnya. Agama juga merupakan suatu realitas sosial, ia hidup dan termanifestasikan  di dalam masyarakat, disini doktrin agama yang merupakan konsepsi tentang realitas harus berhadapan dengan kenyataan adanya, dan bahkan keharusan  atau sunnatullah perubahan sosial dan keberagaman dalam masyarakat plural.[19]  Perbedaan suku-bangsa, agama, adat dan kedaerahan sering kali  disebut sebagai ciri masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk. Istilah masyarakat majemuk (plural societies) ini diperkenalkan oleh J.S. Furnivall untuk menggambarkan masyarakat Indonesia pada zaman Hindia-Belanda. Plural societies yaitu suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain dalam kesatuan politik. Masyarakat Indonesia zaman Hindia Belanda tersebut adalah tipe masyarakat tropis dimana mereka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai memiliki perbedaan ras.
Oleh karena itu, apa pun alasannya, multikultural atau keberagaman itu harus diterima, dirawat, dan dilestarikan agar tidak menjadi momok yang dapat merusak kebersamaan. Namun, untuk membangun dan mengembangkan masyarakat yang multikultural ini jelas tidak mudah. Tidak pelak selalu melahirkan komplikasi sosial yang rumit, yang sedikit banyak menciptakan peluang tercabik-cabiknya kebinekaan. Realitas menunjukkan, semangat kebersamaan dalam keberagaman yang selalu dibanggakan itu ternyata sangat rawan oleh konflik kepentingan antaragama, antaretnis, dan antarbudaya. Jadi, dalam kebersamaan itu masih terus menyimpan noda yang dapat merusak keberagaman. Fenomena riil masyarakat yang kadang-kadang mudah terprovokasi itulah yang kemudian mencuatkan kegelisahan tentang lahirnya konflik yang bisa terjadi pada pilpres belum lama ini, jika kondisi politik tidak bisa dikendalikan. Lihat bagaimana kampanye hitam yang begitu mengganas pada Pilpres 2014.
Studi dalam Islam dimaksudkan sebagai usaha memperoleh serta menyampaikan pengetahuan sehingga memungkinkan terjadinya transmisi kebudayaan dari satu generasi ke generasi yang lain. Transformasi budaya yang dimaksud adalah nilai-nilai kebaikan yang terdapat dari adanya pluralitas yang hal tersebut sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah agama.Sejak Islam pertama kali datang bersama Rasulullah Saw di tanah Arab, wajah Islam yang toleran dan cinta damailah yang diperkenalkan oleh Nabi kepada umatnya. Umat Islam sudah memiliki pengalaman untuk membangun harmonisasi kehidupan antar penganut agama. Di tengah keragaman atau pluralitas keberagamaan pada masa kenabian Muhammad Saw, beliau tidaklah menghalangi untuk mengembangkan sikap-sikap toleransi antar pemeluk agama atau kepercayaan yang berbeda.



[1] M. Quraish Shihab, Wawasan Al Quran, (Bandung: Mizan 1997), h. 375
[2] http//Pendekatan Dalam Studi Islam (Studi atas Pemikiran Charles J. Adams), donload google.com 10 Agustus 2011
 [3] Said Agil Husin, Fiqih Hubungan Antar Agama, (Jakarta : Ciputat Press, 2003).  h.18
[4] Manshur, Faiz, (www Google.com 10 Agustus 2011)
[5] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, h. 12
[6] Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 214
[7] Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial Agama, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2003), h. 20
[8] Said Agil Husin, Fiqih Hubungan Antar Agama, h. 15
[9] Amin Abdullah Dalam Abudin Nata, Studi Agama Normalitas atau Historitas, (Yogyakarta Pustaka Pelajar, 1999), h. 150
[10] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, h. 65
[11] Pluralisme Agama ( www. Google.com) diakses , 11 Agustus 2014
[12] Syamsuddin Abdullah, Agama dan Masyarakat, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 31
[13]Abdullah, M Amin, (www. Google.com, diakses 11 Agustus 2014)
[14] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, h. 31
[15] Anwar Harjono, Pemikiran Berwawasan Iman, Islam ( Jakarta, Gema Insani Press, 1995), h.38
[16] Abdurrahman Wahid, Muslim Di Tegah Pegumulan, ( Jakarta: Lappenas, tth), h.56
[17]Taufik Abbdullah, Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Tiara Wacana , tth),  h. 97
[18] Muhammad Al  Bahiy, Pemikiran Islam Modern, (Jakarta: Pustaka Panjimas , tth), h.88.
        [19] Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia, h. 11

0 komentar:

Posting Komentar