BAB I
STUDI AGAMA, LINGKUP, SASARAN, URGENSI DAN
SIGNIFIKANSI STUDI AGAMA-AGAMA MELALUI TINJAUAN BERSIFAT ANALITIS KRITIS ESENSI BERAGAMA DAN KEBERAGAMAAN MASYARAKAT PLURAL
Pendahuluan
Mengapa
suatu metode dapat digunakan dalam berbagai obyek? Pertanyaan ini muncul
seiring dengan pemikiran dan penalaran akal manusia, atau yang menyangkut
dengan pekerjaan fisik. Agama dan kehidupan beragama merupakan fenomena yang
tak terlepaskan dari kehidupan dan perjalanan sejarah kehidupan manusia. Agama
menjadi sesuatu hal yang sangat penting dalam pembinaan karakter manusia
dan mental manusia dalam menjalani proses kehidupan ini. Bagi seorang muslim,
studi Agama tidak lepas dari metode,
yakni suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik guna untuk mencapai suatu pemahaman
yang benar tentang apa yang dimaksudkan oleh Allah di dalam ayat-ayat Al-Qur’an
yang diturunkannya kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, kita dapat
memahami petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia,
sebagaimana terdapat di dalam sumber
ajarannya, Al Qur’an dan hadits, tampak ideal dan Agung.
A. Pengertian Islam dan Agama
Ada dua hal yang mendasar yang penting untuk dipahami dalam studi Islam
adalah definisi tentang Islam dan agama. Menurut M. Quraish Shihab sangat sulit
untuk bisa merumuskan definisi tentang agama, apalagi didunia ini kita
menemukan kenyataan bahwa agama amat beragam. Persoalan yang menjadi topik
pembicaraan apakah mau tak mau harus muncul ,”Apakah agama yang masih relefan
dengan kehidupan masa kini ? Sebelum
menjawab terlebih dahulu dijawab: Apakah manusia dapat melepaskan diri dari
agama ?[1] Islam
harus dilihat dari perspektif sejarah sebagai sesuatu yang selalu berubah,
berkembang, dan selalu terus berkembang dari generasi ke generasi dalam
merespon realitas dan makna kehidupan ini. Sedangkan konsep agama meliputi dua
aspek, yaitu pengalaman dalam dan perilaku luar manusia. Pengalaman dalam
dan perilaku luar manusia itu saling terkait. Perilaku luar manusia secara umum
merupakan manifestasi dari pengalaman dalamnya, walaupun hal ini tidak berlaku
mutlak.[2]
Wilfred Cantwell Smith, sebagaimana dikutip Adams dalam mendefinisikan
agama Islam, berpendapat bahwa dalam agama terdapat aspek eksternal keagamaan,
sosial dan historis agama yang dapat diobservasi dalam masyarakat. Dengan
pemahaman konseptual seperti ini, tujuan studi agama adalah untuk memahami
pengalaman pribadi dan perilaku nyata seseorang. Manusia memiliki bermacam
ragam kebutuhan batin maupun lahir akan tetapi, kebutuhan manusia terbatas
karena kebutuhan tersebut juga dibutuhkan oleh manusia lainnya.
Said Agil Husin Al Munawar berpendapat, bahwa golongan beragama berpegang
kepada doktrin mutlak wahyu Tuhan yang
dijadikan sebagai landasan pertimbangan dalam cara berpikir, segala ucapan dan
tindakan dari sudut sosiologi akan dipandang terpuji jika
mempertanggungjawabkan kebebasan berpikir dan menghilangkan rasa takut dan bimbang dalam menghadap kehidupan, dan
menghilangkan rasa kebencian dan permusuhan dalam masyarakat.[3]
Dengan demikian, aspek yang tersembunyi dan yang nyata dari fenomena
keberagaman harus dieksplorasi secara komprehensif oleh studi Islam.
Diantara dua aspek tersebut tidak ada yang berdiri sendiri, melainkan antar
satu dengan yang lain saling terkait.
Kaitannya dengan studi Islam, menurut Adams tidak ada metode yang paling
tepat untuk mendekati aspek kehidupan dalam atau faith seseorang dan masyarakat
beragama. Tetapi pengkaji harus menggunakan tradition atau aspek luar sebagai
keberagamaan sebagai pijakan dalam memahami dan melakukan studi agama. Dalam
mengkaji Islam sebagai sebuah agama, pengkaji harus melampaui dimensi tradition
agar mampu menjelaskan dimensi faith seseorang.
Menurut Adams, pengkaji Islam dalam melakukan studinya bisa menggunakan dua
pendekatan, yaitu pendekatan normatif dan pendekatan deskriptif. Pendekatan
normatif meliputi tiga pendekatan, yaitu pendekatan misionaris tradisional,
pendekatan apologetik, dan pendekatan simpatik (irenic). Sedangkan pendekatam
deskriptif meliputi pendekatan filologis dan sejarah, pendekatan sosial dan
pendekatan fenomenologis.
Secara etimologi merupakan dari bahasa Arab Dirasah Islamiyah. Dalam kajian
Islam di Barat disebut Islamic Studies secara harfiyah adalah kajian tentang
hal-hal yang berkaitan dengan keislaman. Secara terminologis adalah kajian
secara sistematis dan terpadu untuk mengetahui, memakai dan menganalisis secara
mendalam hal-hal yang berkaitan dengan agama Islam, pokok-pokok ajaran Islam,
sejarah Islam maupun realitas pelaksanaannya dalam kehidupan Islam pada
hakikatnya membawa ajaran yang bukan hanya mengenai berbagai segi dari
kehidupan manusia. sumber ajaran yang mengambil berbagai aspek ialah Al-Qur'an
dan Hadits. Kedua sumber ini sebagai pijakan dan pegangan dalam mengakses
wacana pemikiran dan membumikan praktik penghambaan kepada Tuhan, baik bersifat
teologis maupun humanistis.Islam secara harfiyah berasal dari bahasa Arab yang
mengandung arti selamat, sentosa dan damai. Arti pokok Islam adalah ketundukan,
keselamatan dan kedamaian. [4] Tidak mudah bagi kita untuk menentukan pengertian agama, karena agama
bersifat batiniah, subyektif, dan individualistis. Kalau kita membicarakan
agama akan dipengaruhi oleh pandangan pribadi, juga dari pandangan agama yang
kita anut.
Selanjutnya Mukti Ali dalam Abudin
Nata pernah mengatakan , barangkali
tidak ada kata yang paling sulit diberi pengertian dan definisi selain dari
kata agama, pengalaman agama adalah aspek batini, subjektif, dan sangat individualis sifatnya. Senada
dengan pendapat Mukti Ali, M. Sastrapanedja dalam Abudin Nata mengatakan bahwa salah satu kesulitan untuk berbicara
masalah agama secara umum ialah adanya perbedaan-perbedaan dalam memahami arti agama, disamping adanya
perbedaan juga dalam cara memahami serta penerimaan setiap agama terhadap suatu usaha memahami agama. Setiap
agama memiliki intepretasi diri yang
berbeda dan keluasan intepretasi diri
itu juga berbeda-beda.

Selanjutnya karena demikian banyaknya definisi tentang
agama yang dikemukakan ahli, Harun Nasution mengatakan bahwa dapat diberi
definisi tentang agama sebagai berikut :
1) Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan
kekuatan gaib yang harus dipatuhi.
2) Pengakuan terhadapa adanya kekuatan gaib yang menguasai
manusia.
3) Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada
suatu sumber yang berada di luar diri manusia yang mempengaruhi perbuatan
manusia.
4) Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan
cara hidup tertentu.
5) Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari kekuatan
gaib.
6) Pengakuan adanya kewajiban-kewajiban diyakini bersumber
pada suatu kekuatan gaib.
7) Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan
lemah dan perasaan takut terhadap
kekuatan misterius yang terdapat dalam al;am sekitar manusia.
8) Ajaran yang diwahyukan kepada manusia melalui seorang
Rasul.5
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan :
Agama bertitik tolak dari adanya suatu kepercayan
terhadap suatu yang lebih berkuasa, lebih agung, lebih mulia dari pada makhluk.
Agama berhubungan dengan masalah ketuhanan, dimana manusia yang mempercayainya
harus menyerahkan diri kepada-Nya, mengabdikan diri sepenuhnya karena manusia
mempercayainya.
1) Baik agama, religi, dan dien kesemuanya mempunyai
pengertian yang sama.
2) Bahwa agama dalam arti luas merupakan suatu penerimaan
terhadap aturan-aturan dari pada kekuatan yang lebih tinggi dari manusia
3) Aktivitas dan kepercayaan agama, religi, dan dien
mencakup masalah: kepercayaan kepada Tuhan.
B. Ruang lingkup Islam dan Agama
Ruang lingkup Islam yang merupakan produk sejarah misalnya tentang
fiqh/mazhab, tasawuf/sufi, filsafat/kalam, seni/arsitektur Islam,
budaya/tradisi Islam. Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini kita melihat semakin tumbuh dan maraknya kesadaran dikalangan kaum muslim untuk lebih patuh kepada ketentuan-ketentuan hukum Islam.
Gejala ini untuk konteks Indonesia misalnya, terlihat pada kebangkitan Jilbab,
busana muslim, tuntunan pencantuman label halal-haram pada makanan, penerapan sistem ekonomi dan
perbankan Islam dan sebagainya. Bangunan pengetahuan kita pada wilayah Islam
tersebut adalah produk sejarah yang dapat dijadikan sasaran penelitian.[6]
Sejak tahun 1970-an penelitian agama mulai diperkenalkan oleh beberapa
pakar dan ilmuan kepermukaan Indonesia.
Mukti Ali misalnya, mengemukakan bahwa pentingnya sebuah penelitian terhadap
masalah-masalah keagamaan. Tidak saja penting, penelitian keagamaan merupakan
bagian yang memperkukuh dasar dan pondasi agama itu sendiri. Tanpa upaya
demikian, agama hanya akan menjadi urusan yang bersifat individual, eksklusif
dan komunal.
C. Sasaran Penelitian
Agama
Antara agama dan ilmu pengetahuan masih dirasakan adanya
hubungan yang belum serasi. Jaringan komunikasi ilmiah dianggap belum
menjangkau agama. Dalam bidang agama terdapat sikap dogmatis, sedang dalam
bidang ilmiah terdapat sikap sebaliknya, yakni sikap rasional dan terbuka.
Antara agama dan ilmu pengetahuan memang terdapat unsur-unsur yang saling
bertentangan. Dari unsur perbedaan itu sulit untuk dipertemukan.
Senada dengan hal diatas Imam Suprayogo mengemukakan, ”
bahwa objek sasaran penelitian agama adalah ajaran dan keberagaman. Ajaran
adalah teks (tulisan atau lisan), yang menggambarkan doktrin teologis, simbol, norma,
dan etika yang harus dipahami, diyakini, disosialisasikan, diamalkan,
dilembagakan dalam kehidupan. Ajaran ini bisa berupa teks AlQur’an, Hadits,
pemikiran para ulama. Sedangkan keberagamaan adalah fenomena sosial yang
diakibatkan oleh agama. Fenomena ini bisa berupa struktur sosial, pranata
sosial, dan prilaku sosial.”[7] Studi Islam sebagai kajian tidak lepas dari keduanya. Antara apek sasaran
keagamaan dan keilmuan sama-sama dibutuhkan dalam diskursus ini. Oleh karena
itu, aspek sasaran Studi Islam meliputi dua hal tersebut, yaitu aspek sasaran
keagamaan dan aspek sasaran keilmuan berikut:
1.
Aspek sasaran keagamaan. IAIN maupun perguruan
tinggi agama sebagai lembaga keagamaan, menuntut para pengelola dan civitas
akademiknya untuk lebih menonjolkan sikap pemihakan, idealitas, bahkan
seringkali diwarnai pembelaan yang bercorak apologis. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal berfungsi dalam menyiapkan
generasi penerus. Dalam menannamkan dan membina sikap toleransi.[8] Dari aspek sasaran ini, wacana keagamaan dapat
ditransformasikan secara baik dan menjadikan landasan kehidupan dalam
berperilaku tanpa melepaskan kerangka normatif. Pertama, Islam sebagai
dogma juga merupakan pengalaman universal dari kemanusiaan. Kedua, Islam
tidak hanya terbatas pada kehidupan setelah mati, tetapi orientasi utama adalah
dunia sekarang.
2.
Aspek sasaran keilmuan. Studi keilmuan memerlukan pendekatan yang kritis, analitis, metodologis,
empiris dan histories. Oleh karena itu, konteks ilmu harus mencerminkan
ketidakberpihakan pada satu agama, tetapi lebih mengarah pada kajian yang
bersifat obyektif. Dengan demikian, studi Islam sebagai aspek sasaran keilmuan
membutuhkan berbagai pendekatan.
Dalam studi Islam, kerangka pemikiran ilmiah di atas
ditarik dalam konteks keislaman. Pengkajian
terhadap Islam yang bernuansa ilmiah tidak hanya terbatas pada aspek-aspek yang normative dan dogmatis,
tetapi juga pengkajian yang menyangkut aspek sosiologis dan empiris. Pengkajian
Islam ini dapat dilakukan secara paripurna dengan pengujian secara terus
menerus atas fakta-fakta empiric dalam masyarakat yang dinilai sebagai
kebenaran nisbi dengan mempertemukan pada nilai agama yang bersumber dari wahyu
sebagai kebenaran absolute. Dengan demikian, kajian keislaman yang bernuansa
ilmiah meliputi aspek kepercayaan normative-dogmatif yang bersumber dari wahyu
dan aspek perilaku manusia yang lahir dari dorongan kepercayaan.

Pertama,
untuk memahami dan mendalami serta membahas ajaran-ajaran Islam agar mereka
dapat melaksanakan dan mengamalkan secara benar, serta menjadikannya sebagai
pegangan dan pedoman hidup. Memahami dan mengkaji Islam direfleksikan dalam
konteks pemaknaan yang
sebenarnya bahwa Islam adalah agama yang mengarahkan pada pemeluknya
sebagai hamba yang berdimensi teologis, humanis, dan keselamatan di dunia dan
akhirat. Dengan studi Islam, diharapkan tujuan di atas dapat di tercapai.
Kedua,
untuk menjadikan ajaran-ajaran Islam sebagai wacana ilmiah secara transparan
yang dapat diterima oleh berbagai kalangan. Dalam hal ini, seluk beluk agama
dan praktik-praktik keagamaan yang berlaku bagi umat Islam dijadikan dasar ilmu
pengetahuan. Dengan kerangka ini, dimensi-dimensi Islam tidak hanya sekedar
dogmentis, teologis. Tetapi ada aspek empirik sosiologis. Ajaran Islam yang
diklain sebagai ajaran universal betul-betul mampu menjawab tantangan zaman,
tidak sebagaimana diasumsikan sebagian orientalis yang berasumsi bahwa Islam
adalah ajaran yang menghendaki ketidak majuan dan tidak mampu menyesuaikan diri
dengan perubahan zaman. Dalam memahami agama, Abuddin Nata menjelaskan bahwa
pendekatan teologis normativ lebih menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang
bertolak dari keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap
suatu yang benar
dibandingkan dengan yang
lainnya. Islam adalah nama suatu
agama yang berasal dari Allah, SWT. Nama Islam demikian itu memiliki perbedaan
yang luar biasa dengan nama agama
lainnya. Kata Islam tidak mempunyai hubungan dengan orang tertentu atau dari
golongan manusia atau dari suatu negri.
Kata Islam adalah nama yang diberikan oleh Tuhan sendiri.[10]
Dengan demikian dapat disimpulkan sasaran studi Islam adalah untuk memahami dan mendalami serta
membahas ajaran-ajaran Islam sebagai wacana ilmiah yang dapat diterima oleh
berbagai kalangan. Aspek-aspek sasaran studi Islam yaitu aspek keagamaan dan aspek sasaran
keilmuwan.
D. Urgensi dan
signifikansi studi agama –agama
dalam tinjauan yang bersifat analitis-kritis sehingga diperoleh pemahaman
komprehensif tentang esensi
beragama dan keberagaman dalam masyarakat plural.
Berbicara
tentang hubungan antar agama, wacana pluralisme agama
menjadi perbincangan utama. Pluralisme agama sendiri dimaknai secara berbeda-beda di kalangan
cendekiawan Muslim Indonesia, baik secara sosiologis, teologis maupun etis.
|

Durkheim
tertarik kepada unsur-unsur solidaritas masyarakat. Dia mencari prinsip yang
mempertalikan anggota masyarakat. Email Durkhim menyatakan agama mempunyai
fungsi, agama bukan ilusi, tetapi
merupakan fakta sosial yang dapat diidentifikasi dan mempunyai kepentingan
sosial. Bagi Emile Durkhim, agama memainkan
peranan yang fungsional, karena agama adalah prinsip solidaritas masyarakat.[12] Secara sosiologis, pluralisme agama adalah suatu
kenyataan bahwa kita adalah berbeda-beda, beragam dan plural dalam hal
beragama. Ini adalah kenyataan sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak dapat
dipungkiri lagi. Dalam kenyataan sosial, kita telah memeluk agama yang
berbeda-beda. Pengakuan terhadap adanya pluralisme agama secara sosiologis ini
merupakan pluralisme yang paling sederhana, karena pengakuan ini tidak berarti
mengizinkan pengakuan terhadap kebenaran teologi atau bahkan etika dari agama
lain.
Sebagai
seorang muslim misalnya, Amin Abdullah menyatakan menyadari sepenuhnya bahwa
ia involved (terlibat) dengan Islam.
Namun, Amin mengakui bahwa dalam kenyataan sejarah masyarakat adalah
multi-complex yang mengandung religious pluralism, bermacam-macam agama. Hal
ini adalah realitas, karena itu mau tidak mau kita harus menyesuaikan diri,
dengan mengakui adanya religious pluralism dalam masyarakat Indonesia.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa upaya penelitian terhadap agama dimaksudkan
untuk melihat gejala yang lebih empirik yang dipandang secara positif. Gejala empirik inilah yang dapat diteliti dengan berbagai sudut pandang
analisa yang digunakan. Sebab, dalam agama memiliki keragaman pemahaman.
Masing-masing pemahaman tersebut merupakan akumulasi yang muncul dari doktrin
agama yang telah terkonstrur menjadi prilaku, tindakan bahkan ideologi.
Dalam
pandangan Amin Abdullah mengatakan agama pada saat ini tidak dapat didekati dan
difahami hanya lewat pendekatan teologis-normativ semata-mata, sebab ada
pergeseran paradigma dari pemahaman yang berkisar pada doktrin ke arah entitas
sosiologis, dari diskursus esensi ke arah eksistensi.[13]
Pengakuan pluralisme secara
sosiologis ini juga dikemukakan oleh Mukti Ali. Mukti Ali secara sosial tidak
mempersoalkan adanya pluralisme, dalam
pengakuan-pengakutan sosial, tetapi ia sangat tegas dalam hal-hal teologis. Ia
menegaskan bahwa keyakinan terhadap
hal-hal teologis tidak bisa dipakai hukum kompromistis. Oleh karena itu, dalam
satu persoalan (objek) yang sama, masing-masing pemeluk agama memiliki sudut
pandang yang berbeda-beda, misalnya pandangan tentang al-Qur’an, Bibel, Nabi
Muhammad, Yesus dan Maria.
Menurutnya, orang Islam melakukan penghargaan yang tinggi
terhadap Maria dan Jesus. Hal itu merupakan bagian keimanan orang Islam. Orang
Islam sungguh tidak dapat mempercayai (mengimani) ketuhanan Jesus Kristus
tetapi mempercayai kenabiannya
sebagaimana Nabi Muhammad. Kemudian, orang Islam juga tidak hanya memandang al-Qur’an tetapi juga Torah dan Injil sebagai Kitab Suci
(Kitabullah). Yang menjadi persoalan, apakah Kitab Bibel yang ada sekarang ini
otentik atau tidak, dan apakah seluruhnya merupakan wahyu Tuhan. Hal ini bukan
berarti bahwa orang Islam selalu menolak
Wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Musa, Isa atau rasul-rasul lain,
meskipun orang Islam tidak bisa mengakui bahwa Bibel sebagaimana sebelum mereka
hari ini terdiri dari Kalam Tuhan seluruhnya. Namun demikian, orang Islam
percaya bahwa Bibel memuat/mengandung Kalam Tuhan.
Tampak Mukti Ali ingin menegaskan bahwa masing-masing
agama memiliki keyakinan teologis yang tidak bisa dikompromikan. Islam memiliki
keimanan sendiri, bahkan termasuk mengenai hal-hal yang diyakini oleh umat
agama lain, misalnya konsep tentang Nabi Isa. Begitu juga, Kristen memiliki
keimanan sendiri, bahkan termasuk mengenai hal-hal yang diyakini oleh Islam, misalnya konsep tentang
Nabi Muhammad. Berkaitan dengan keyakinan teologi tersebut Abudin Nata dalam
Amin Abdullah mengatakan bahwa, pendekatan teologi semata-mata tidak dapat
memecahkan masalah essensial pluralitas agama saat sekarang ini. Berkenaan
dengan ini, saat ini muncul apa yang disebut dengan istilah analitis kritis,
yaitu suatu usaha manusia untuk memperoleh pemahaman penghayatan imannya atau penghayatan agamanya, suatu
penafsiran atas sumber-sumber aslinya
dan tradisinya dalam konteks permasalahan masa kini., yaitu teologi yang
bergerak antara dua kutub teks dan situasi, masa lampau dan masa kini. Hal
demikian mesti ada dalam setiap agama
meskipun dalam bentuk dan fungsinya yang
berbeda-beda.[14]
Jadi, dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa
pengakuan tentang pluralismenya berada pada tataran sosial, yakni bahwa
secara sosiologis kita memiliki keimanan dan keyakinan masing-masing. Persoalan
kebenaran adalah persoalan dalam wilayah masing-masing agama sehingga
diperoleh pemahaman yang komprehensif tentang esensi beragama dan keberagaman dalam masyarakat
plural.
Anwar Harjono menegaskan,
Islam telah memasuki arena
komunikasi antara berbagai bangsa yang mempunyai kepercayaan, kebangsaan, dan
kebudayaan yang berbeda- beda dengan
pemikiran terbuka tanpa perasaan curiga, Anwar Harjono mengembangkan
pendapatnya bahwa Islam tidak menyemai permusuhan daam berbagai bangsa, dan
Islam mengembangkan persaudaraan dan
persamaan diantara manusia
berbagai bangsa.[15]
Senada dengan pendapat di atas Mukti Ali menjelaskan
bahwa ada beberapa pemikiran diajukan orang untuk mencapai kerukunan dalam
kehidupan beragama. Pertama, sinkretisme, yaitu pendapat yang menyatakan bahwa
semua agama adalah sama. Kedua, reconception, yaitu menyelami dan meninjau
kembali agama sendiri dalam konfrontasi dengan agama-agama lain. Ketiga,
sintesis, yaitu menciptakan suatu agama baru yang elemen-elemennya diambilkan
dari pelbagai agama, supaya dengan demikian tiap-tiap pemeluk agama merasa bahwa sebagian dari ajaran
agamanya telah terambil dalam agama sintesis (campuran) itu. Keempat,
penggantian, yaitu mengakui bahwa agamanya sendiri itulah yang benar, sedang
agama-agama lain adalah salah; dan berusaha supaya orang-orang yang lain agama
masuk dalam agamanya. Kelima, agree in disagreement (setuju dalam perbedaan),
yaitu percaya bahwa agama yang dipeluk itulah agama yang paling baik, dan
mempersilahkan orang lain untuk mempercayai bahwa agama yang dipeluknya adalah
agama yang paling baik. Diyakini bahwa antara satu agama dan agama lainnya,
selain terdapat perbedaan, juga terdapat persamaan.
Pluralisme pada satu sisi mensyaratkan ukuran-ukuran
kelembagaan dan legal yang melindungi dan mensyahkan kesetaraan dan
menembangkan rasa persaudaraan di antara umat manusia sebagai pribadi dan
kelompok, baik ukuran-ukuran itu bersifat bawaan atau perolehan.
Begitu pula pluralisme menuntut suatu pendekatan yang
serius terhadap upaya memahami pihak lain dan kerja sama yang membangun
kebaikan semua. Semua manusia harus menikmati hak-hak dan kesempatan-kesempatan
yang sama, dan seharusnya memenuhi kewajiban-kewajiban yang sama sebagai warga
dunia dan warga Negara. Setiap kelompok seharusnya memiliki hakhak untuk
berkumpul (berhimpun) dan berkembang, memelihara identitas dan kepentingannya,
dan menikmati kesetaraan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam negara dan dunia
internasional.
Gusdur menegaskan
bahwa Ajaran agama yang paling mendalam dan fundamentil, yang sangat doktriner
maupun ajaran- ajaran praktis, dalam proses pembentukan tingkahlaku masyarakat
yang menganutnya akan membentuk sistem
nilai. Senada dengan pendapat tersebut Koentjcoroningrat mengatakan, dikategorikan dalam bentuk wujud kebudayaan sebagai kompleks ide-ide, gagasan,
nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, yaitu wujud ideal dari
kebudayaan yang sifatnya abstrak, yang loksainya dalam alam pikir ” manusia warga masyarakat”. [16]
Pluralisme berarti bahwa kelompok-kelompok minoritas dapat berperan secara
penuh dan setara dalam kelompok mayoritas dalam masyarakat, sembari
mempertahankan identitas dan perbedaan mereka yang khas. Pluralisme harus
dilindungi oleh hukum dan Negara, baik hukum Negara maupun hukum internasional.
Sementara itu, Abdurrahman Wahid menegaskan masalah
pluralisme bukan dalam pengertian pluralisme yang dikemukakan oleh Djohan
Effendi dan Nurcholish Madjid di muka. Ia menekankan pandangan keterbukaan
untuk menemukan kebenaran di mana pun juga. Signifikansi tinjauan pluralisme yang
ditekankan Gus Dur adalah pluralisme dalam bertindak dan berpikir. Inilah yang
melahirkan toleransi. Sikap toleran tidak bergantung pada tingginya tingkat
pendidikan formal atau pun kepintaran pemikiran secara alamiah, tetapi
merupakan persoalan hati, persoalan perilaku. Tidak pula harus kaya dulu.
Bahkan, seringkali semangat ini terdapat justru pada mereka yang tidak pintar juga tidak kaya, yang biasanya
disebut “orang-orang terbaik”. Gus Dur memberi contoh sebagaimana yang
dilakukan oleh Kyai Iskandar, dengan cara bergaul secara berbaur dalam
masyarakat.
Gus Dur mengembangkan pandangan anti eksklusivisme agama.
Menurutnya, berbagai peristiwa kerusuhan yang berkedok agama di beberapa tempat
adalah akibat adanya eksklusivisme agama. Apa yang disampaikan oleh Gus
Dur sebenarnya lebih merupakan otokritik
bagi umat Islam sendiri, karena adanya politisasi agama dan pendangkalan agama.
Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk mengembangkan sikap
permusuhan kepada mereka selama tidak memerangi agama Islam. Selain itu,
menurutnya, esensi “saling menyantuni” justru terletak pada sikap-sikap di mana
kita bisa saling mengoreksi sesama orang Islam. Nabi pernah mencontohkan, bahwa
jika Fatimah (putri beliau) melakukan pencurian maka ia tetap harus dihukum. Jadi,
sikap santun tidak boleh dengan standar ganda atau tidak boleh mengabaikan
keadilan kepada siapa pun, termasuk orang berlainan agama.
Gus Dur memandang bahwa tidak menerima konsep
dasar bukan berarti mesti mengembangkan
sikap permusuhan atau perlawanan. Kristen dan Yahudi tidak bisa menerima konsep
dasar Islam adalah sudah pasti. Begitu juga sebaliknya, Islam juga tidak bisa
menerima konsep dasar agama Kristen dan Yahudi. Oleh karena itu, menurutnya,
kita tidak akan goyang dari konsep Tauhid, tapi kita menghargai pendapat orang lain. Pendapat
orang lain ini tentu saja berarti keyakinan orang lain.Taufik Abdullah
mengatakan, bahwa sejak mula kelahiran manusia sudah menghadirkan baku bantah.
Bahkan baku bantah itu antara Tuhan Pencipta dengan iblis, karena itu tidak
mengherankan jika kita hasil budidaya
manusia sendiri yang dinamakan ilmu pengetahuan menimbulkan baku bantah.,
tentulah hal ini terjadi antara manusia dengan manusia (sekurang-kurangnya
sama-sama menggeluti ilmu pengetahuan.[17]
Senada dengan
pendapat diatas Muhammad Abduh dalam Muhammad Al Bahiy dalam kritikannya
mengatakan ” apakah tidak terbetik dihati kita untuk kembali kepada pegangan
kaum salaf kita yang benar, kita tinggalkan segala bid’ah oleh orang – orang
setelah mereka, sebab itu akan mematikan kita bersama mereka. Syekh Muhammad
Abduh telah menggoyahkan fanatisme suatu mazhab untuk kembali kepada sumber
agama Islam semula yakni AlQur’an dan hadits.[18] Sementara itu, Alwi Shihab menunjukkan dua
komitmen penting yang harus dipegang oleh dialog, yaitu sikap toleransi
dan sikap pluralisme. Toleransi adalah
upaya untuk menahan diri agar potensi konflik dapat ditekan.
Adapun yang dimaksud dengan pluralisme adalah 1) tidak
semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan, namun adanya
keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pengertian
pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui
keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan
persamaan guna tercapainya kerukunan, dalam kebhinekaan, 2) pluralisme harus
dibedakan dengan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme menunjuk pada suatu realita
di mana aneka ragam agama, ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi.
Namun, interaksi positif antar penduduk ini, khususnya di bidang agama, sangat
minimal, kalaupun ada, 3) konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan
relativisme. Karena, konsekuensi dari paham relativisme agama bahwa doktrin
agama apapun harus dinyatakan benar. Atau, “semua agama adalah sama”.
Oleh karena itu, seorang relativis tidak akan mengenal,
apalagi menerima, suatu kebenaran universal yang berlaku untuk semua dan
sepanjang masa. Namun demikian, paham pluralisme terdapat unsur relativisme,
yakni unsur tidak mengklaim kebenaran tunggal (monopoli) atas suatu kebenaran,
apalagi memaksakan kebenaran tersebut kepada pihak lain. Paling tidak, seorang
pluralis akan menghindari sikap absolutisme yang menonjolkan keunggulannya
terhadap pihak lain, 4) pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni
menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian
komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama
baru tersebut. Satu hal yang ditegaskan
oleh Alwi adalah apabila konsep pluralisme agama hendak diterapkan di
Indonesia, maka ia harus bersyaratkan komitmen yang kokoh terhadap agama
masing-masing. Seorang pluralis, dalam berinteraksi dengan aneka ragam agama,
tidak saja dituntut untuk membuka diri, belajar dan menghormati mitra
dialognya, tetapi yang terpenting ia harus committed terhadap agama yang
dianutnya. Hal ini untuk menghindari relativisme agama. Ia menekankan perlunya
membudayakan sikap keterbukaan, menerima perbedaan, dan menghormati kemajemukan
agama, dibarengi loyalitas komitmen terhadap agama masing-masing. Alwi
menegaskan, Islam sejak semula menganjurkan dialog dengan umat lain. Dikatakan,
terhadap pengikut Isa a.s. dan Musa a.s., al-Qur’an menggunakan kata ahl
al-kitab (yang memiliki kitab suci). Penggunaan kata ahl, yang berarti keluarga,
menunjukkan keakraban dan kedekatan hubungan.
Dari berbagai pandangan tentang pluralisme di atas
penulis dapat mengklasifikasi ada tiga model pluralisme. Pertama, pandangan
pluralisme yang masih menyisakan adanya absolutisme agama. Pandangan ini dikemukakan
Rasjidi dan Natsir. Kedua, pandangan pluralisme liberal. Ini dikemukakan oleh
Djohan Effendi, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid Keempat, pandangan
pluralisme yang menempati posisi antara absolutisme agama dan pluralisme
liberal. Pandangan ini masih memegang adanya hal-hal yang bersifat absolut yang
tidak dapat dipertemukan atau disamakan, tetapi juga mengakui bahwa pluralisme
itu tidak hanya sekedar ada namun juga harus diwujudkan dalam keterlibatan
aktif dalam memahami perbedaan dan persamaan. Ada sikap terbuka, menerima
perbedaan, dan menghormati kemajemukan agama, tetapi ada loyalitas komitmen
terhadap agama masing-masing.
Sementara itu Azzumardi Azra mengatakan, bahwa dalam
agama manapun konsepsi manusia tidaklah bersumber dari pengetahuan, tetapi dari
kepercayaan pada suatu otoritas mutlak
yang berbeda dari satu agama dengan
agama lainnya. Agama juga merupakan suatu realitas sosial, ia hidup dan
termanifestasikan di dalam masyarakat,
disini doktrin agama yang merupakan konsepsi tentang realitas harus berhadapan
dengan kenyataan adanya, dan bahkan keharusan
atau sunnatullah perubahan sosial dan keberagaman dalam masyarakat
plural.[19] Perbedaan suku-bangsa,
agama, adat dan kedaerahan sering kali
disebut sebagai ciri masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk. Istilah
masyarakat majemuk (plural societies) ini diperkenalkan oleh J.S. Furnivall
untuk menggambarkan masyarakat Indonesia pada zaman Hindia-Belanda. Plural
societies yaitu suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup
sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain dalam kesatuan politik.
Masyarakat Indonesia zaman Hindia Belanda tersebut adalah tipe masyarakat
tropis dimana mereka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai memiliki perbedaan
ras.
Oleh
karena itu, apa pun alasannya, multikultural atau keberagaman itu harus
diterima, dirawat, dan dilestarikan agar tidak menjadi momok yang dapat merusak
kebersamaan. Namun, untuk membangun dan mengembangkan masyarakat yang
multikultural ini jelas tidak mudah. Tidak pelak selalu melahirkan komplikasi
sosial yang rumit, yang sedikit banyak menciptakan peluang tercabik-cabiknya
kebinekaan. Realitas menunjukkan, semangat kebersamaan dalam keberagaman yang
selalu dibanggakan itu ternyata sangat rawan oleh konflik kepentingan
antaragama, antaretnis, dan antarbudaya. Jadi, dalam kebersamaan itu masih
terus menyimpan noda yang dapat merusak keberagaman. Fenomena riil masyarakat
yang kadang-kadang mudah terprovokasi itulah yang kemudian mencuatkan
kegelisahan tentang lahirnya konflik yang bisa terjadi pada pilpres belum lama
ini, jika kondisi politik tidak bisa dikendalikan. Lihat bagaimana kampanye
hitam yang begitu mengganas pada Pilpres 2014.
Studi
dalam Islam dimaksudkan sebagai usaha memperoleh serta menyampaikan pengetahuan
sehingga memungkinkan terjadinya transmisi kebudayaan dari satu generasi ke
generasi yang lain. Transformasi budaya yang dimaksud adalah nilai-nilai
kebaikan yang terdapat dari adanya pluralitas yang hal tersebut sangat erat
kaitannya dengan nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah agama.Sejak Islam
pertama kali datang bersama Rasulullah Saw di tanah Arab, wajah Islam yang
toleran dan cinta damailah yang diperkenalkan oleh Nabi kepada umatnya. Umat
Islam sudah memiliki pengalaman untuk membangun harmonisasi kehidupan antar
penganut agama. Di tengah keragaman atau pluralitas keberagamaan pada masa
kenabian Muhammad Saw, beliau tidaklah menghalangi untuk mengembangkan
sikap-sikap toleransi antar pemeluk agama atau kepercayaan yang berbeda.
[1] M. Quraish Shihab, Wawasan
Al Quran, (Bandung: Mizan 1997), h. 375
[2] http//Pendekatan Dalam Studi Islam (Studi atas
Pemikiran Charles J. Adams), donload google.com 10 Agustus 2011
[4] Manshur, Faiz, (www
Google.com 10 Agustus 2011)
[5] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, h. 12
[6] Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia, (Jakarta:
Paramadina, 1999), h. 214
[7] Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial Agama, (Bandung: PT Remaja Rosda
Karya, 2003), h. 20
[8] Said Agil Husin, Fiqih
Hubungan Antar Agama, h. 15
[9] Amin Abdullah Dalam Abudin Nata, Studi Agama Normalitas atau Historitas,
(Yogyakarta Pustaka Pelajar, 1999), h. 150
[11] Pluralisme Agama ( www.
Google.com) diakses , 11 Agustus 2014
[12] Syamsuddin Abdullah, Agama dan Masyarakat, (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1997), h. 31
[13]Abdullah, M Amin, (www.
Google.com, diakses 11 Agustus 2014)
[16] Abdurrahman Wahid, Muslim
Di Tegah Pegumulan, ( Jakarta: Lappenas, tth), h.56
[17]Taufik Abbdullah, Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar
(Yogyakarta: Tiara Wacana , tth), h. 97
0 komentar:
Posting Komentar